spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kisah Para Pemimpin Perubahan untuk Meraih Universitas Berkelas Dunia

JAKARTA – Transformasi pada pendidikan tinggi di Tanah Air tidak hanya dilakukan dalam waktu semalam saja. Transformasi yang diraih saat ini merupakan buah perjuangan serta kerja keras pemimpin perubahan yang dilakukan dalam jangka panjang.

Kondisi itu tergambar dalam buku berjudul Kepemimpinan Menuju Universitas Berkelas Dunia. Buku setebal 374 halaman tersebut terbitan Universitas Indonesia Publishing diluncurkan di Tangerang pada Jumat (9/6/2023).

Buku tersebut merupakan bunga rampai tentang betapa pentingnya peran pemimpin perubahan di perguruan tinggi. Buku tersebut ditulis oleh 23 penulis seperti Prof Nizam yang saat ini menjabat sebagai Plt Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek, Wamendiknas periode 2010-2011 Prof Fasli Jalal, Dirjen Dikti periode 2010-2014 Prof Djoko Santoso, hingga Guru Besar Teknik Fisika ITB, Prof Ir Hermawan Kresno Dipojono.

Buku tersebut disunting oleh Guru Besar Teknik Elektro Universitas Indonesia yang juga pendiri UI GreenMetric World University, Prof Riri Fitri Sari, dan Guru Besar FMIPA IPB University, Prof Daniel Murdiyarso.

Tanpa adanya kepemimpinan yang memiliki visi yang jelas, cita-cita untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia akan sulit tercapai. Prof Nizam dalam buku itu menekankan bahwa seorang rektor memiliki peran ganda sebagai pemimpin akademik dan juga pimpinan universitas.

Sebagai pemimpin akademik, seorang rektor mempunyai tugas menggerakkan para civitas akademika untuk mencapai visi akademik perguruan tinggi melalui strategi yang tepat. Sebagai pimpinan tertinggi di kampus, rektor juga perlu mengenali potensi perguruan tingginya, serta memotivasi para pendidik untuk melakukan yang terbaik dalam pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi.

Sementara, sebagai pimpinan universitas atau Chief Executive Officer, seorang rektor harus dapat menggerakkan organisasi untuk berlari mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.

Dalam tulisannya, Nizam menjelaskan bahwa universitas terbaik di dunia pada umumnya memiliki dana abadi yang besar untuk mendukung pendanaan pendidikan dan risetnya secara berkelanjutan. Di Amerika Serikat, rata-rata dana abadi yang dimiliki perguruan tinggi negeri sekitar 35 juta dolar AS, sementara perguruan tinggi swasta sebesar 37 juta dolar AS. Sekitar lima persen dari kampus-kampus tersebut memiliki dana abadi lebih dari 1 miliar dolar AS.

Oleh karena itu, Nizam mendorong kampus-kampus di Tanah Air khususnya PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) dan PTS memiliki dana abadi yang berguna untuk menopang peningkatan mutu pendidikan dan riset berkelanjutan. Peringkat bukanlah tujuan,  tapi kualitas, relevansi dan daya saing universitas sangat penting untuk meningkatkan daya saing bangsa.

Saat ini, lima universitas di Indonesia telah masuk dalam 500 besar QS World University Rankings (WUR) yakni Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan IPB University.

Wacana menjadikan perguruan tinggi di Tanah Air sendiri diinisiasi oleh Prof Fasli Jalal yang saat itu menjabat sebagai Dirjen Dikti. Sejumlah program dilakukan agar kampus-kampus di Indonesia memiliki “DNA” universitas berkelas dunia.

Dalam buku tersebut, Fasli menjabarkan bagaimana pemerintah mengundang dua pakar pendidikan tinggi dunia yakni Prof Kai Ming Cheng dan Jamil Salmi. Kebijakan terkait universitas berkelas dunia mulai dibicarakan secara masif dalam forum rembuk nasional pada 2008.

Dikti juga menyediakan beasiswa, yang untuk pertama kali diambilkan dari rupiah murni untuk 1.200 calon master dan doktor ke berbagai perguruan tinggi terbaik dunia.  Selain itu, memberikan pula dana untuk program sandwich bagi peserta S3 di dalam negeri untuk melakukan penelitian, analisis data, atau menyiapkan penulisan artikel di jurnal ilmiah dari hasil penelitian mereka dengan magang di kampus ternama di luar negeri selama satu semester.

Dikti juga memberikan hibah kepada ratusan dosen senior yang sudah lama tidak keep up dengan perkembangan terbaru di bidang ilmunya dengan Academic Recharging ke berbagai perguruan terbaik dunia selama satu semester.

Salah satu hambatan terbesar penelitian di Indonesia pada masa itu adalah mahalnya akses pada jurnal bereputasi internasional dan buku referensi. Dikti kemudian mengeluarkan kebijakan melanggengkan buku -buku teks elektronik dan jurnal elektronik yang dibutuhkan sebesar 2,5 juta dolar AS sehingga semua perguruan tinggi di Indonesia mendapatkan langganan gratis untuk semua buku teks dan jurnal elektronik.

Kampus berkelas dunia akan terwujud jika persyaratan eksternal dan internal terpenuhi. Persyaratan eksternal dari dukungan pemerintah dan persyaratan internal dengan adanya perubahan dari perguruan tinggi untuk mewujudkan universitas berkelas dunia.

Dari dalam kampus

Cita-cita mewujudkan perguruan tinggi berkelas dunia tak akan terwujud jika hanya berasal dari dorongan pemerintah saja. Perlu adanya keinginan yang kuat dari segenap civitas akademika untuk mewujudkannya.

Tanpa adanya kepemimpinan yang kuat, yang mampu menggerakkan perubahan, cita-cita menjadikan kampus berkelas dunia hanya ada di angan saja.

Perjalanan ITB menjadi perguruan tinggi berkelas dunia misalnya, tak lepas dari kepemimpinan para rektornya. Di bawah kepemimpinan Dr Kusmayanto Kadiman pada 2001-2004, ITB fokus pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan SDM. Pembenahan tata kelola menjadi universitas riset dilakukan pada periode Prof Djoko Santoso pada era 2005-2010.

Kemudian, pada era Prof Akhmaloka pada periode 2010-2015 fokus pada penguatan internasionalisasi. Selanjutnya,  pada era Prof Kadarsah Suryadi pada periode 2015-2020, fokus pada transformasi ITB menjadi Entreneurial University.

Untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia, ITB memiliki strategi utama yakni kepemimpinan, pengelolaan universitas yang baik, penelitian, akademik, dan sumber daya manusia.

Sebelum adanya perbaikan tata kelola, menurut  Prof Akhmaloka, dana-dana penelitian masuk ke berbagai akun (account) di ITB dan akuntabilitasnya dipertanyakan. Namun, kemudian dilakukan perbaikan yang mana semua dana penelitian masuk ke satu akun yakni miliki perguruan tinggi. Meski sempat mengalami penolakan, tapi perbaikan tata kelola tersebut membuahkan hasil saat ini dengan meraih opini wajar tanpa pengecualian.

Selain ITB, banyak praktik kepemimpinan yang disampaikan para pemimpin perubahan dalam buku ini. Rektor UI periode 2007-2012, Prof Gumilar Rusliwa Somantri, menekankan bahwa budaya akademik menentukan produktivitas dari reputasi perguruan tinggi. Untuk mewujudkan budaya akademik yang kuat maka harus dibuat secara sistematik.

Kemudian IPB, di bawah kepemimpinan Prof Herry Suhardiyanto periode 2007-2012 dan 2012-2017, melakukan banyak kemajuan dan pembangunan pada bidang agromaritim yang dilanjutkan Prof Arif Satria yang merupakan Rektor IPB University saat ini.

Penyusunan buku yang memotret perjalanan panjang menuju universitas berkelas dunia ini sangat tepat. Buku ini seakan menjadi pengingat bahwa apa yang diraih pada saat ini bukanlah buah dari kerja keras satu orang saja, melainkan kerja keras berkelanjutan yang dengan melibatkan banyak pihak. Tentu saja, mereka itu memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, tak diragukan lagi. (antara/MK)

Pewarta : Indriani
Editor : Slamet Hadi Purnomo

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti