Santapan malam dengan menu sederhana baru saja habis ketika seorang remaja bernama Bohari Yusuf masuk ke kamarnya. Anak laki-laki yang masih berusia 14 tahun itu menuju meja tulis.
Ia mengambil buku berjudul Mari Berhitung Matematika untuk SMP Jilid 3C. Hanya dalam beberapa menit, remaja itu tenggelam dalam susunan angka dan logika matematika di bilik tidurnya yang berukuran 3 x 3 meter.
Sejak masih belia –sekitar 1970-an–, Bohari sudah gemar bergumul dengan ilmu hitung. Pekerjaan rumah selalu ia kerjakan sebelum guru menugasinya. Matematika, Fisika, dan Kimia merupakan tiga subjek yang paling Bohari sukai ketika beranjak SMA. Lelaki kelahiran 5 November 1965 di Bantaeng, Sulawesi Selatan, tersebut, bahkan punya cita-cita menjadi guru matematika suatu saat nanti.
Waktu melayang ke dekade 1980-an. Bohari baru saja lulus SMA ketika berdiskusi dengan beberapa guru. Ia diberi saran mengambil jurusan kimia di perguruan tinggi. Industri pengolahan memang sedang naik daun di Sulawesi Selatan waktu itu. Bohari menuruti nasihat tersebut. Ia mendaftar di Program Studi Kimia, Universitas Hasanuddin, Makassar.
“Saya anak ketiga dari enam bersaudara. Saya pula yang pertama kuliah baru diikuti adik-adik. Kedua orang tua saya bukan orang berpendidikan. Lulus sekolah dasar saja mereka tidak,” tutur Prof Bohari Yusuf, kini calon rektor Universitas Mulawarman, Samarinda, kepada kaltimkece.id jejaring mediakaltim.com.
Bohari melewati masa kuliah di Makassar dengan keras. Ia harus bekerja di berbagai lembaga kursus agar uang kuliahnya bisa lunas. Studi sarjananya selesai pada 1990. Prestasi yang cemerlang di kampus, termasuk lulusan kimia yang masih sedikit, menyebabkan Bohari ditawari banyak pekerjaan.
Empat instansi sekaligus yang menawarinya pekerjaan. Ada industri pengolahan rumput laut milik Bosowa Group, Balai Industri Pemerintah Ambon, serta menjadi dosen di Universitas Muslim Indonesia dan Universitas Mulawarman. Bohari yang dilanda bingung membawa empat surat penerimaan itu kepada orang tuanya. Ayahnya hanya menyampaikan satu kalimat, “Pergi saja ke Kalimantan.”
Walaupun tiada sanak famili, Bohari tetap berangkat ke Kaltim dan tiba di Balikpapan. Dalam perjalanan darat ke Samarinda, ketika sudah dekat Terminal Sungai Kunjang, Bohari teringat seseorang. Anak kepala dusun saat ia kuliah kerja nyata selama 3 bulan di Desa Lalliseng, Kabupaten Wajo, Sulsel, disebut tinggal di Kota Tepian. Kepala kampung mengisahkan kepada Bohari bahwa semua orang di Samarinda kenal putranya itu.
Meskipun tidak terlampau percaya, Bohari mencoba membuktikan. Ia bertanya kepada seorang tukang ojek di terminal. Yang ditanya ternyata mengetahui nama tersebut. Rupanya, anak kepala dusun itu adalah seorang yang ditakuti di Terminal Samarinda Seberang.
Pendek kisah, Bohari bertemu dengan lelaki tersebut. Ia diberi izin tinggal di terminal. Selama beberapa hari tidur di Terminal Samarinda Seberang, Bohari menyelesaikan urusan pekerjaan dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unmul.
Di sanalah ia bertemu almarhum Prof Jamaluddin, seorang dosen fisika, yang satu almamater dari Unhas. Prof Jamaluddin menawarkan tempat tinggal di kamarnya di mes Unmul, Jalan Sidomulyo, kepada Bohari.
Sah menjadi dosen Unmul, Bohari mengampu mata kuliah Kimia di FKIP. Gaji pertamanya Rp 40 ribu. Penghasilan itu disebut tidak cukup membiayai hidup sebatang kara di Samarinda. Bohari terpaksa berutang di sebuah warung di Perumahan Dosen Unmul. Ia mencari kerja sampingan sebagai guru lepas di SD Muhammadiyah dan sejumlah lembaga bimbingan belajar.
“Sementara gaji sebagai dosen, cukup untuk bayar bon di warung milik Prof Jafar Haruna saja. Banyak catatan (utang) saya di situ,” kenangnya seraya tersenyum pahit.
Bohari mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada, setahun setelah tinggal di Samarinda. Ia lulus dengan gelar master di bidang analis kimia lingkungan berkat penelitian di PT Freeport Indonesia. Ia pun kembali mengabdi di Unmul pada 1996.
Setahun berselang, sebuah program pemerintah Jepang bernama Japan International Cooperation Agency, tiba di Unmul. Program itu bertujuan mengembangkan infrastruktur yaitu Fakultas Kedokteran, Fakultas Kehutanan, dan Fakultas Matematika dan IPA.
Bohari kemudian ditunjuk untuk pembangunan FMIPA. Ia juga menerima beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menempuh program doktoral (S-3) Kimia Analitik. Beasiswa itu mengantarnya menuju Universite de Pau et Des Pays de L’Adour di Prancis.
Bohari meraih gelar doktor sekaligus analis spesialis logam berat pada 2002. Kembali ke Samarinda, ia dipercaya menjadi pembantu ketua (wakil dekan I) Bidang Akademik FMIPA, Unmul. Bohari kemudian menjabat sekretaris Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan dan menjadi ketua program hingga 2006. Di situlah, ia mengenal Bupati Kutai Timur, Awang Faroek Ishak, yang kelak menjadi gubernur Kaltim selama dua periode.
“Beliau (Awang Faroek) waktu itu punya Yayasan Bina Lingkungan Lestari. Kami mengundang beliau untuk kuliah umum. Diskusi kami sepertinya cocok sehingga beliau meminta saya menjadi staf ahli di bidang pendidikan. Termasuk merancang Dewan Pendidikan Kaltim,” kisah Bohari.
Tahun-tahun selanjutnya, Bohari diberi banyak kepercayaan dari Awang Faroek Ishak. Ia menjabat kepala Dinas Pendidikan Kutim (2007-2008), staf ahli Gubernur Kaltim Bidang Pendidikan dan Kebudayaan (2009-2014), serta ketua Tim Pengelola Beasiswa Kaltim Cemerlang (2011-2014). Bohari juga menjadi ketua Tim Fasilitasi Pemprov Kaltim dalam pembangunan dan pendirian Institut Teknologi Kalimantan termasuk Institut Seni dan Budaya Indonesia Kaltim (2012-2014).
Pada 2014, Rektor Unmul, Prof Masjaya, meminta Bohari menjadi Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerja Sama, dan Humas. Posisi ini diemban Bohari sampai sekarang. Bahu-membahu bersama rektor dan wakil rektor yang lain, Bohari membawa kampus meraih kerja sama monumental. Salah duanya adalah hibah Rp 694 miliar dari Islamic Development Bank (IDB) pada 2018 serta suntikan Rp 42 miliar pembenahan infrastruktur dari Pemprov Kaltim pada 2022.
Dari perantau yang terpaksa menginap di Terminal Samarinda Seberang, Prof Bohari kini memantapkan diri menuju kursi rektor Unmul. Akademikus yang meraih gelar guru besar pada 2022 ini mengaku, telah memahami berbagai problematika kampus. Rencana jitu disiapkan untuk mewujudkan Unmul sebagai perguruan tinggi unggul di Indonesia.
Prof Bohari mengusung visi memajukan Unmul sebagai Smart-Tropical Campus yang mandiri, unggul, berwawasan global, dan berbasis teknologi informasi dengan pelayanan publik prima. Visi ini disebut dapat digapai melalui delapan klaster misi. Konkretnya, ada tiga langkah yang ditempuh Bohari apabila dipercaya sebagai rektor Unmul.
Pertama, ia ingin menyelesaikan pembangunan sejumlah gedung fakultas yang masih mangkrak. Ada gedung Dekanat Fakultas Pertanian, Fakultas Farmasi, serta FKIP di Jalan Banggeris. Solusinya sudah di depan mata. Unmul sudah menerima pendanaan dari Pemprov Kaltim dan Kementerian PUPR.
Kedua, mengenai isu remunerasi gaji dosen dengan anggaran sekitar Rp 65 miliar. Prof Bohari menjelaskan, akan memindahkan kewenangan penilaian dan pengajuan remunerasi kepada setiap fakultas. Opsi ini diambil karena fakultas adalah unit kerja yang paling mengetahui kesejahteraan dan kemampuan dosen.
“Jadi, bendahara di rektorat cuma membayar. Urusan remunerasi, silakan fakultas yang mengurusnya. Desentralisasi ini termasuk pengadaan barang dan jasa,” tegasnya.
Ketiga, Unmul harus berpredikat PTN-Badan Hukum dalam waktu dekat. Status tersebut diperlukan agar kampus bisa cepat berkembang dan berinovasi. PTN-BH memberi kewenangan kampus mengelola rumah tangga secara mandiri. Mulai kebijakan pembukaan program studi baru, urusan keuangan, kepegawaian, hingga mencari dana dari swasta.
Ada empat syarat utama mendapatkan status PTN-BH. Pertama, kampus berpartisipasi aktif dengan pemerintah daerah maupun dunia usaha. Kedua, mahasiswa berpartisipasi di berbagai kegiatan nasional atau internasional. Ketiga, jumlah riset ditingkatkan. Terakhir dan yang paling sukar, 60 persen program studi harus meraih peringkat akreditasi unggul atau A.
Prof Bohari optimistis, Unmul sudah memenuhi beberapa persyaratan. Ia punya solusi agar 60 persen prodi terakreditasi A. Semua fakultas dan program studi di Unmul akan diberi anggaran tambahan untuk meraih akreditasi. Keunggulan kurikulum diperoleh dengan menyusun rancangan teknis terperinci (design engineering detail) serta studi kelayakan.
“Sehingga pada 2026, Unmul bisa berstatus PTN-BH. Saat ini, sudah 16 program studi terkareditasi A. Jika setiap tahun ada enam prodi saja yang terakreditasi A, syarat itu bisa terpenuhi. Memang tidak mudah, tapi saya yakin pasti ada jalan,” yakinnya.
Mengenai kedatangan IKN Nusantara, Bohari menjelaskan, Unmul harus terlibat. Kualitas sumber daya manusia di Kaltim perlu ditingkatkan. Prof Bohari mengaku, akan menggandeng berbagai kampus di Kalimantan dan Sulawesi untuk mencapainya. Contoh kecilnya, Unmul bersama Universitas Kutai Kartanegara dan Universitas Balikpapan kini telah bekerja sama dengan Badan Otorita. Universitas diminta menjawab persoalan tanah dan pemberdayaan masyarakat lokal.
“Kalau kita tidak serius, kampus-kampus dari Pulau Jawa yang akan masuk. Unmul perlu terobosan untuk membangun bangsa,” jelasnya.
Isu kekerasan seksual dan demokrasi di kampus juga menjadi perhatian. Prof Bohari berencana mengoptimalkan Satuan Tugas Anti Kekerasan Seksual serta mengeluarkan peraturan progresif. Rektorat bakal melibatkan sejumlah organisasi mahasiswa seperti badan eksekutif mahasiswa dan dewan perwakilan mahasiswa di tingkat fakultas dan universitas.
Prof Bohari turut menjamin bahwa kampus tidak akan menghalangi kebebasan berpendapat. Selama komentar dan aspirasi bisa dipertanggungjawabkan, ia menyediakan ruang bagi dosen dan mahasiswa untuk berpendapat. “Kampus adalah garda terakhir integritas publik. Kalau integritas kampus buruk, siapa lagi yang masyarakat harapkan?” (bersambung)