spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kisah Abdul Agus, Juragan Walet dari Muara Siran

TENGGARONG – Berdiri di pelataran Auditorium Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, Abdul Agus Nur Aini tampak cemas. Berulang kali, pria 50 tahun itu melirik arlojinya. Dua jam lagi, dalam sebuah acara Forum Gambut Global, ia mempresentasikan tentang lingkungan tempatnya tinggal kepada sejumlah kepala negara. Pada Kamis itu, 27 Januari 2021, adalah kali keempat Agus berkunjung ke gedung milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut.

“Sebenarnya tidak terlalu gugup seperti 2017 dulu. Cuma, saya kepikiran, di hadapan orang-orang besar ini, presentasinya nanti lancar enggak, ya?” cerita Agus kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com di rumahnya di Desa Muara Siran, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Senin, 17 Januari 2022. Meski demikian, presentasinya berakhir dengan lancar.

Agus lahir pada 1972. Sejak kecil, ia tinggal di Muara Siran, sebuah desa yang sebagian besar wilayahnya terendam air. Desa ini memiliki luas 42.201 hektare. Sekitar 80 persen di antaranya adalah hutan rawa sekunder dan sungai-sungai kecil. Jalan darat menuju Muara Siran belum tersedia. Untuk mencapainya, masyarakat perlu menyusuri sungai menggunakan perahu atau ces selama satu jam dari Muara Kaman. Sejak November 2021, rumah-rumah di desa ini telah dialiri listrik selama 24 jam. Sebagian besar penduduknya disebut khawatir dengan perkebunan sawit dalam skala besar.

Agus menjelaskan alasan kekhawatiran tersebut. Pertama, mayoritas penduduk Muara Siran berprofesi sebagai nelayan. Kemudian, jenis pertanian di Muara Siran adalah pertanian semusim yang terdiri dari persawahan dan kebun. Areal persawahan terdapat di daerah-daerah berawa di belakang kampung. Terdapat pula beberapa jenis kayu seperti bakau, miang, kahoi, dan meranti, yang dimanfaatkan sebagai bahan membangun rumah warga.

BACA JUGA :  Pesta Erau Adat Benua Tuha, Potensi Kebangkitan Ekonomi Sektor Pariwisata Kukar

Sebagian besar penduduk Muara Siran juga menjadikan sarang walet sebagai sumber utama penghasilan. Di desa yang memiliki 350 kepala keluarga ini, ada 300 unit rumah burung walet. Itu berarti, sekitar 85 persen penduduk Muara Siran merupakan pengusaha sarang burung walet. Jika ada perkebunan sawit dalam skala besar, diyakini bisa mengganggu sumber-sumber penghasilan warga itu.

“Kami tidak bisa membayangkan, jika rumah-rumah walet kami rusak. Ada asap saja di dekat sana (rumah burung walet), kami langsung padamkan,” ucap Agus.

Agus mengaku, tidak lulus sekolah dasar. Tapi, ia sempat mengikuti program penyetaraan pendidikan (paket B) pada 2000-an. Setelahnya, ia bekerja serabutan agar asap di dapur tetap bisa mengepul. “Mulai dari nelayan, petani, hingga penjahit pakaian, semua pernah saya lakukan,” bebernya.

Pada 2007, Agus bekerja sebagai kepala urusan perencanaan Desa Muara Siran. Posisi tersebut dimanfaatkannya untuk mengenal berbagai persoalan masyarakat. Agus dan beberapa warga pernah resah melihat program satu juta hektare kelapa sawit pada 2012. Ia khawatir, kehadiran perkebunan sawit bisa mengganggu keberlangsungan ekosistem hutan gambut. Hutan adalah satu-satunya sumber mata pencarian masyarakat Muara Siran.

Demi menjaga hutan, Agus mengumpulkan sejumlah warga. Ia pun bertemu dengan beberapa organisasi nirlaba yang menyarankan warga mendorong pembentukan rencana tata ruang desa. Tata ruang berfungsi untuk mengamankan hutan desa. Meski demikian, upaya tersebut tidak mudah. Agus mengatakan, pro dan kontra dari warga Muara Siran sempat muncul dalam upaya tersebut.

BACA JUGA :  Maju di Pilkada Kubar, ASN Samarinda Dapat Sanksi KASN, Bawaslu Sudah Terima Surat Tembusan

“Ada yang menolak, ada juga yang kepingin bekerja di perusahaan. Anggapannya, kalau di perusahaan bisa lebih sejahtera dan sebagainya. Padahal, menurut saya, tidak juga. Kalau hutan rusak, masyarakat tidak bisa ngapa-ngapain lagi,” terangnya.

Pada tahun itu juga, Agus membentuk Lembaga Pengelola Sumber Daya Alam (LPSDA) Muara Siran. Lembaga ini untuk memenuhi syarat formal tata ruang desa. LPSDA juga aktif mendata tapal batas kampung. Kerja keras mereka baru membuahkan hasil empat tahun kemudian. Pada 2016, Bupati Kukar, Rita Widyasari, mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) tentang RTRW Desa. Wilayah seluas 42.913 hektare di sekitar Muara Siran pun dijadikan sebagai kawasan lindung. Ada 14 zona sesuai tata ruang desa itu. Beberapa di antaranya seperti zona perlindungan inti, ekowisata gambut, kawasan pemanfaatan kayu, kehutanan masyarakat, kawasan Danau Siran, hingga pusat pendidikan gambut.

Sejak saat itu, Agus mulai dilirik beberapa kampus dan organisasi nirlaba untuk menjadi pembicara dalam acara berskala nasional hingga internasional. Dia ingat, pertama kali menjadi pembicara saat mengikuti acara yang diadakan Institut Pertanian Bogor pada 2017. Waktu itu, IPB meminta Agus menjelaskan soal alasan Muara Siran menolak sawit dan bagaimana masyarakatnya bahu-membahu membangun RTRW Desa secara partisipatif.

“Saya sampai bingung mau ngomong apa. Saya, ‘kan, tidak lulus SD,” kenang Agus sambil berkelakar.

Untungnya, beberapa organisasi nirlaba membantu Agus untuk berbicara di depan publik. Ia diberi berbagai pelatihan, dari pemahaman konservasi, peraturan desa, hingga kiat-kiat presentasi yang baik dan benar. Setelahnya, Agus diminta mengisi acara di Global Landscapes Forum (GLF) yang digagas Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 2017 di Jakarta.

BACA JUGA :  Kala Pengecatan Jembatan Kartanegara Diseret Jadi Urusan Politik

KLHK juga kerap meminta Agus mengisi materi mengenai upaya masyarakat menjaga hutan gambut pada 12 November 2021. Acara yang diadakan secara daring itu turut dihadiri Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim, Prof Daddy Ruhiyat; Bupati Berau, Sri Juniarsih; dan Gubernur Kaltim, Isran Noor. Dalam konferensi multi-pihak ke-26, Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCC), mereka membicarakan pentingnya penurunan emisi karbon bagi Kaltim.

“Saya tidak menyangka, sangat tidak menyangka, bisa sejauh ini,” tutur Agus, bersemangat.

Selain aktif sebagai penggiat lingkungan, Agus juga memiliki usaha sarang burung walet. Ia membangun rumah burung walet dengan modal Rp 97 juta. Rumah itu memiliki lima tingkat. Bangunannya terbuat dari kayu kanoi, yang didapat dari hutan. Biasanya, dalam jangka panen 50 hari, Agus memperoleh sekitar 6 kilogram sarang burung walet. Dengan nilai jual Rp 8 juta per kilogram, Agus bisa memperoleh sekitar Rp 27 juta setiap bulannya. Modalnya pun sudah balik dalam kurun dua tahun.

Agus berharap, semakin banyak anak muda desa yang aktif berwirausaha sembari menjaga lingkungan. Asal-usul seseorang dari tempat terpencil, ucapnya, tidak menjadi hambatan untuk memikirkan hal-hal yang besar.

“Daripada kita jadi anak buah, mending kita mencoba memanfaatkan alam di sekitar kita. Lebih baik menjadi bos di kampung sendiri daripada menjadi anak buah di perusahaan orang lain,” katanya. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img