Oleh : Yulia Parlina S.Hut.,S.H
Koordinator Daerah Akademi Pemilu dan Demokrasi Kabupaten Kukar
Sejumput harapan besar muncul bagi kaum perempuan, terutama mereka yang akan bersaing merebut kursi dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kab/Kota) pada tahun 2024.
Harapan ini muncul setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 10 Tahun 2023 pada tanggal 29 Agustus 2023.
Peraturan ini mengatur mengenai pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota.
Keputusan MA ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadap calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) yang sebelumnya telah diumumkan pada tanggal 18 Agustus 2023.
Fokus dari permohonan uji materiil ini adalah Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. Pasal ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Majelis hakim MA menyatakan bahwa Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan dua undang-undang tersebut.
Perubahan ini akan berdampak pada komposisi calon dari beberapa daerah pemilihan (Dapil) di Kukar. Dengan data pencalonan yang telah diumumkan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) di situs KPU Kukar, putusan Mahkamah Agung ini akan berpengaruh pada komposisi pencalonan di beberapa Dapil dan beberapa Partai.
Putusan MA ini dapat dianggap sebagai bentuk dukungan Pemasyarakatan terhadap perempuan, dan hal ini patut diapresiasi. Dengan diterimanya permohonan uji materiil tersebut, keterwakilan perempuan di dalam parlemen tidak lagi hanya menjadi aspek politik keterwakilan dalam sistem demokrasi, tetapi juga menjadi wadah kedaulatan rakyat yang bersifat inklusif dan memiliki keadilan gender melalui keterwakilan perempuan.
Semakin banyak perempuan yang menduduki posisi strategis dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan, semakin banyak pula kebijakan yang akan memberdayakan perempuan dan melindungi hak-hak anak.
Sejak putusan MA ini diumumkan, PKPU Nomor 10/2023 kehilangan kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini akan memengaruhi tahapan pemilihan yang sedang berlangsung. Berdasarkan PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, tahap pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota berlangsung dari 24 April 2023 hingga 25 November 2023, sehingga masih ada waktu untuk memperhatikan keterwakilan perempuan di setiap Daerah Pemilihan (Dapil) selama KPU belum menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) pada tanggal 4 November 2023.
Sebelumnya, peraturan mengenai keterwakilan perempuan dalam PKPU 10 Tahun 2023, terutama Pasal 8 ayat (2), mengatur penghitungan 30 persen jumlah bakal calon legislatif (caleg) perempuan di setiap Daerah Pemilihan.
Apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan akan dibulatkan ke bawah. Sementara jika angka tersebut 50 atau lebih, hasil penghitungan akan dibulatkan ke atas. Aturan ini mendapatkan kritik dan dianggap merugikan kaum perempuan serta mengurangi ketentuan minimal keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam daftar bakal calon DPR dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan kemudian mengajukan permohonan uji materi PKPU No. 10/2023 ke Mahkamah Agung. Mereka meminta Mahkamah Agung untuk menyatakan bahwa PKPU No 10/2023 bertentangan dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan juga meminta agar Pasal 8 Ayat 2 PKPU No. 10/2023 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai: Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap Daerah Pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.
Putusan MA pada tanggal 29 Agustus 2023 mengabulkan permohonan uji materiil ini dan membatalkan norma tersebut karena dinilai bertentangan dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu. Dengan demikian, norma tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini diberikan oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Agung Irfan Fachruddin, serta Hakim Anggota Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.
Tuntutan untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan semakin gencar dari kalangan aktivis. Salah satu langkah yang ditekankan adalah pemberlakuan kuota atau strategi afirmatif.
Sistem kuota menjadi mekanisme penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik dan sekaligus membantu mengakhiri ketidaksetaraan gender dalam perwakilan politik. (**)
Editor: Agus Susanto