SAMARINDA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diterapkan di SDN 003 Samarinda Utara mengalami sejumlah kendala yang mengganggu kegiatan belajar mengajar (KBM). Menurut Kepala Sekolah SDN 003 Samarinda Utara, Utami, program ini berpotensi mengurangi fokus siswa selama proses pembelajaran.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN 003 Samarinda Utara mengalami beberapa kendala yang menjadi catatan oleh para guru di sekolah sebagai tenaga pendidik sekaligus fasilitator murid. Tantangan datang dari siswa yang fokus belajarnya menjadi runyam, sehingga menyebabkan terganggunya kegiatan belajar mengajar (KBM).
Secara sikap dan tingkah laku, siswa sekolah dasar yang masih dalam tahap pengembangan secara emosional ini, menjadikan pembagian makanan sebagai kegiatan yang ditunggu-tunggu. Akibatnya, proses epenyampaian materi oleh guru menjadi terganggu.
Kepala Sekolah SDN 003 Samarinda Utara, Utami mengungkapkan, pihaknya menghadapi tantangan baru dengan adanya implementasi program MBG. Ia menilai, pelaksanaan program MBG perlu untuk dilakukan pengkajian ulang.
“Kalau untuk tingkat SD, saya justru melihat anak-anak malah kurang fokus. Mereka cenderung menunggu waktu pembagian makanan dan ingin cepat-cepat istirahat atau pulang,” ujar Utami.
Adapun hal-hal yang perlu dikaji dan dievaluasi terkait pelaksanaan MBG menurut Utami yakni, efektivitas jam belajar menjadi berkurang. Pembagian makanan berupa takjil saja memerlukan waktu sekitar 10 menit, apalagi jika sudah diterapkan menu makan berat, pastinya membuat durasi pembelajaran sedikit berkurang.
“Kalau hanya takjil mungkin masih cepat, tetapi kalau nanti berupa makanan berat, pasti memakan waktu yang lebih lama karena anak-anak harus makan ditempat,” terangnya.
Selain itu, guru sebagai tenaga pendidik sekaligus fasilitator murid dalam pelaksanaan program MBG, mendapatkan tugas tambahan dengan membagikan serta mengumpulkan kembali tempat makan, sehingga guru harus meluangkan waktu lebih akibat progam MBG.
“Ini cukup merepotkan bagi guru, karena mereka harus menyisihkan waktu antara jam mengajarnya dengan pembagian makanan,” jelasnya.
Terlebih, menurut Utami, penerima manfaat harusnya mempertimbangkan kondisi ekonomi. Ia berpendapat, akan lebih baik jika ada skema penyesuaian pemberian terhadap kebutuhan murid.
“Semua siswa mendapatkan makanan, baik dari keluarga mampu maupun kurang mampu. Mungkin akan lebih baik jika ada skema seleksi berdasarkan kebutuhan,” imbuhnya.
Di lain sisi, penerapan program tersebut menjadi mimpi gelap terhadap pelaku bisnis di kantin sekolah. Pasalnya, omzet kantin berkurang drastis imbas dari murid-murid yang enggan membeli makanan.
“Anak-anak jadi berkurang belanjanya. Akibatnya, pendapatan kantin berkurang, padahal mereka tetap harus membayar sewa dan pajak,” tutup Utami.
Penulis: Hadi Winata
Editor: Nicha R