Dunia anak tidak selalu identik dengan bermain, pada kenyataannya kadang anak terjerumus dalam tindak pidana kriminal yang membuat mereka harus berhadapan atau berkonflik dengan hukum.
Mirisnya, anak-anak itu kerap mendapat stigmatisasi dan diskriminasi dari masyarakat setelah keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Hal inilah menyebabkan anak kecewa, frustasi, bahkan dendam, sehingga mereka terjerumus kembali melakukan tindak pidana.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kutai Timur (Kutim), dr Aisyah mengungkapkan masyarakat harus bisa mengubah persepsi negatif tersebut. “Setiap anak, baik korban maupun pelaku tindak pidana harus bisa diterima di masyarakat,” ujarnya, Sabtu (16/7/2022).
Dia mengatakan, masyarakat, dimulai dari keluarga atau orangtua, harus bisa menanamkan nilai budi pekerti, dan mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi anak, serta melindungi anak dari hal yang membahayakan dirinya dan lingkungannya.
Aisyah menambahkan anak yang berkonflik dengan hukum adalah korban dari pengasuhan yang salah oleh orangtua dan masyarakat. Selama ini, masyarakat lebih fokus pada anak sebagai korban, padahal anak yang berkonflik dengan hukum juga memerlukan perhatian yang sama.
“Saat seorang anak melakukan tindak pidana pasti ada akar masalah yang menjadi pemicunya. Inilah yang harus dicari dan diberantas bersama. Tujuannya agar anak yang berkonflik dengan hukum dapat terlindungi,” ungkap Aisyah.
Aisyah menjelaskan, DP3A Kutim mendorong LPKA dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) untuk memberikan pembinaan pada anak yang berkonflik dengan hukum secara optimal agar anak tidak kembali melakukan tindak pidana.
Hal itu katanya, sesuai apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang tegas mengatur bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
Aisyah kembali menekankan pentingnya upaya masyarakat dalam memberantas segala bentuk stigmatisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Masyarakat harus bisa menerima kehadiran mereka dengan baik, serta ikut mengawasi, membimbing, membina anak dengan pemahaman agama dan moral yang kuat.
“Upaya pencegahan dari seluruh pihak sangatlah penting dalam melindungi anak agar tidak kembali berkonflik dengan hukum, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, media massa hingga masyarakat, termasuk orangtua,” tutup Aisyah. (ref)