spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kepala ATR/BPN Jawab Protes Warga: Sertifikasi Tanah di PPU Akan Diintegrasikan ke IKN

PPU – Kepala Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Penajam Paser Utara (PPU), Ade Chandra, menyebut masyarakat PPU baru menyadari pentingnya administrasi surat kepemilikan tanah setelah Ibu Kota Nusantara (IKN) ditetapkan di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Hal ini diungkapkan usai menghadapi massa aksi yang melakukan protes terkait kejelasan status kepemilikan yang masih dirasa menggantung di beberapa kecamatan, di antaranya Kelurahan Riko, Kelurahan Pemaluan, Kelurahan Telemow, dan Kelurahan Maridan, pada Selasa (28/05/2024).

Ade Chandra mengatakan warga baru menyadari pentingnya administrasi kepemilikan setelah IKN berada di PPU. Sejak tahun 2020, ia menjelaskan bahwa dirinya sangat kesulitan mengimbau warga untuk meningkatkan Surat Kuasa Tanah (SKT) menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).

“Begitu ada IKN, baru masyarakat sadar. Kami sejak tahun 2023 akan melakukan sertifikasi lahan secara menyeluruh di Penajam, terlepas masuk IKN atau tidak,” terangnya.

Ia menjelaskan bahwa saat ini, pihaknya hanya dapat melakukan sertifikasi lahan melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), sehingga tidak ada lagi yang mengurus di luar jalur tersebut. Pihaknya mengatakan seluruh data yang masuk dalam pengurusan PTSL otomatis akan dipetakan terlebih dahulu dan nantinya akan diintegrasikan ke IKN.

“Tapi kami berharap seluruh masyarakat memiliki sertifikat sebagaimana yang ditugaskan langsung oleh kementerian bahwa Indonesia Lengkap,” tegasnya.

Ade menegaskan bahwa di Wilayah Ibu Kota Nusantara tidak ada Hak Guna Usaha (HGU). Jika pun ada perusahaan sawit yang memakai lahan tersebut, belum sampai pada legalitas HGU.

“Saat IKN ditetapkan, sementara kita hold untuk sementara waktu. Tapi untuk HGU tidak ada diterbitkan,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa permasalahan dengan masyarakat berkaitan dengan konsesi kawasan hutan. Hal tersebut di luar kewenangan ATR/BPN, karena pihaknya hanya mengurusi wilayah di luar kawasan hutan.

“Masyarakat yang berunjuk rasa selama dua hari pada prinsipnya hanya meminta kejelasan mengapa tidak dapat menerbitkan SHM. Kami harus berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan, karena lokasi yang dimanfaatkan masyarakat masuk ke dalam HPL (Hak Pengelolaan atau kewenangan kepemilikan yang dikelola negara),” terangnya.

Ade menambahkan bahwa kawasan HPL tersebut ditumpangi oleh Hutan Tanaman Industri (HTI). Pihaknya juga telah mengetahui terdapat HTI di atas HPL tersebut dan telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berkebun atau bermukim.

“Ini akan menjadi evaluasi bagi kami,” ungkapnya.

Terkait upaya sosialisasi terkait surat kepemilikan lahan, Ade menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan sosialisasi kepada perangkat desa dan kelurahan setempat. Hal ini berkaitan dengan PTSL dan pembuatan sertifikat.

“Terkait jenis-jenis sertifikat ini, kami juga sampaikan, hak milik seperti apa, HGB (Hak Guna Bangunan) seperti apa. Kepada masyarakat pun kami sampaikan secara masif, berulang dan berulang. Setiap kami masuk wilayah yang mau di-PTSL-kan, ya kami ulang kembali,” tambahnya.

Salah satunya terkait dengan pemberian hak atas tanah yang tidak bisa ujug-ujug menjadi hak milik. Ia menjelaskan bahwa lahan tersebut harus dimanfaatkan oleh masyarakat terlebih dahulu, setelahnya juga harus sesuai dengan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten PPU. Jika belum, pihaknya akan memberikan Sertifikat Hak Pakai (SHP).

“Bisa disertifikatkan, tapi harus sesuai RTRW. Hak Pakai itu benar seperti yang dikatakan demonstran, yaitu memungut hasil. Maka harus dimanfaatkan itu tanah, kalau tidak dimanfaatkan, muncullah mafia tanah itu, jadi potensi konflik berikutnya,” jelasnya.

Ia memahami warga belum secara utuh mengerti terkait dengan prosedural hak dan kewajibannya. Hanya terjebak pada pengertian harfiah, padahal prinsipnya tidak ada perbedaan antara SHP dan SHM.

“Kan kami sejak dua minggu lalu sudah kumpulkan perbankan terkait dengan agunan. Saat bertemu, prinsipnya mereka terima SHP sebagai agunan. Tidak ada perbedaan. Cuma masyarakat masih terkungkung bahwa SHP itu tidak bisa dipakai sebagai agunan, tapi sudah clear semua lah. Kami sudah sosialisasikan semua ke perangkat kecamatan, desa, juga kelurahan secara masif,” tandasnya.

Penulis: Nelly Agustina
Editor: Agus S

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti