SUATU malam lima tahun silam. Dengan tersedu sedan Henny, dari rumahnya di Samarinda, menelpon saya yang sedang berada di Balikpapan. Dia mengisahkan baru saja pulang dari dokter. “Ulun kena kanker payudara pak. Sudah stadium 4. Harus rutin kemo. Itu gin kadada jaminan sehat lagi,” ujarnya.
Saya katakan kepadanya, coba kita cari second oponi. Paspormu ada kan. Kita besok ke Penang Malaysia. Disana ada rumah sakit khusus kanker yang sangat terkenal. Namanya Mount Miriam Hospital. Ikam bawai kawal binian, supaya ada kawal bapandiran di jalan. Saya biasa berbahasa Banjar, setiap berkomunikasi dengan Henny. “Ada paspor ulun. Ulun akan minta Ibu Ludia mengawali,” sahut Heni.
Saya tau Henny punya paspor. Karena kami sebelumnya pernah jalan-jalan ke Turki mengawal beberapa menejer Biro Iklan Jakarta. Maka besoknya kami pun berangkat ke Penang. Terbang dari Balikpapan lewat Jakarta. Sepanjang perjalanan saya perhatikan ibu Ludia selalu menyemangati Heni. Ludia memang bagai “ibu” bagi semua kawan kerjanya di Samarinda. Meskipun sikapnya selalu tegas.
Setelah terbang kurang 3 jam, kami tiba di Penang dan menginap di hotel yang berada di tepi pantai. Kawan saya yang bekerja di salah satu bank di Penang membantu mendaftarkan Heni di RS Mt Miriam. Besoknya, pagi-pagi, kami sudah menuju ke RS itu. Disana kami bertemu beberapa pasien yang mengaku dari Indonesia.
Setelah seharian menjalani pemeriksaan, Heni tampak cerah. “Jar dokternya cukup besar peluangnya sehat lagi,” ujar Henny sambil mengembangkan senyum. Tentu peran ibu Ludia sangat besar menhidupkan semangat Henny.
Henny masih harus melanjutkan pemeriksaan besoknya. Saya harus kembali ke Surabaya ngurus gawian. Henny dan Ludia dua hari kemudian kembali ke Samarinda.
Tiga bulan kemudian saya dapat telpon lagi dari Henny. “Lapor pak. Ulun sudah sehat walafiat. Ulun dangar pian handak bajalanan ke Singapura wan kakawalan. Ulun umpat lah pak,” ujarnya. Selalu sulit menolak permintaan Henny. Karena dia pekerja yang handal, pintar dan sangat bertanggung jawab.
Maka Henny pun ikut ke Singapura. Untuk menikmati perjalanan, kami lebih banyak berjalan kaki. Tampak di aplikasi HP saya, dalam sehari kami telah berjalan kaki sebanyak 20 ribu langkah. “Begh ternyata kuat jua ulun jalan batis sejauh itu pak lah. Rasanya ini rekor ulun terjauh jalan batis,” ujar Henny bungah.
20 ribu langkah itu setara 10 Km. Kira-kira jaraknya dari kantor PWI Kaltim ke Bigmall. “Ulun akan rajin jalan batis kaina di Samarinda,” janji Heni. Sepulang dari Singapura itu Henny jadi sering ngirim selfienya di Samarinda.
Henny sudah melanjutkan perjalanannya ke alam keabadian. Itu bukan marga kanker, atau operasi kista. Memang sudah habis umur Hen. Kaitu jar urang Banjar. Semoga lapang jalan Henny menuju surga-Nya Allah SWT. Dan bila kelak kada mendapati di surga, tolong cari kami lah Hen. Bawai jua kami ke surga lah Hen…(*)