spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kelasku

(Bagian 3, Novel Bocah Bintan, Menggugah Harapan dan Jiwa)

Akhirnya hari pertama aku lalui dengan baik, kemudian hari demi hari aku lewati proses belajar mengajar di kelas itu. Satu demi satu aku bisa mengenal lebih jauh teman kelasku semuanya. Perlahan-lahan juga logatku sudah mulai bisa beradaptasi dengan logat Melayu sehingga tidak menjadi bahan ledekan teman-temanku lagi.

Kelasku seperti pelangi, karena kami semua terdiri dari latar belakang yang sangat berbeda-beda. Aku memiliki dua orang teman keturunan tionghoa dikelas itu. Namanya Herdi , nama aslinya  Kong Kuan-Yin, yang sehari-hari  setelah pulang sekolah dia membantu  di toko bangunan ayahnya, satunya lagi namanya Jing Lina, ayahnya memiliki kios kecil yang berjualan disekitar lapangan bola PT Antam, terkadang jika kami habis main bola, tak lupa beli es cincau atau es buah leci di warungnya, apalagi jika Lina yang sedang menjaga warungnya, sudah pasti dikasih harga teman dan bahkan bisa hutang.

Muhammad Anhar, panggilannya Anhar adalah sosok temanku  yang bersahaja dan pintar, dia selalu menjadi juara kelas sejak di kelas satu, cara bicara dan berpikirnya selalu membuka cakrawala  berpikir kami, lebih dewasa dari umurnya mungkin itulah sebabnya teman-teman menetapkannya sebagai ketua kelas abadi.

Bambang, anak seorang pensiunan polisi termasuk temanku yang selalu berambut cepak, mungkin sudah tradisi keluarganya berambut cepak, kakak tertuanya juga seorang polisi, dia juga anak yang diatas rata-rata kelas, kendati dia selalu dibawah Anhar rangking kelasnya, yang membedakannya dengan Anhar adalah pada cerewetnya dan suka usil dengan yang lain, apalagi dalam hal mengganggu murid perempuan, dia jagonya. Pernah pakaian kaos olahraga yang digantung di kursi belajar masing-masing, saat keluar main dia tukar semuanya, walhasil anak-anak perempuan jadi gaduh karenanya.

Mereka duduk paling depan bertiga dengan Sumihar Napitupulu, teman kami yang paling kecil, dia orang Batak tulen. Namun tradisi orang Batak yang  terkenal memiliki pita suara yang merdu ternyata tidak mengalir ke darahnya, pernah saat menyanyi satu persatu ke depan kelas, guru kesenian kami Ibu Sri akhirnya menyuruhnya berhenti sebelum lagu berakhir, entah mungkin Bu Sri mual mendengarnya bernyanyi, saat itu yang kami dengar dia menyanyikan sebuah lirik lagu entah apa judulnya, namun  penuh percaya diri dengan ekspresi wajah tanpa dosanya ,”kuurr,,,,,kurrrr,,kurr, marilah Ayamku !, kesinilah Ayamku!”. Mihar begitu kami memanggilnya,  menjadi langganan menangis kalau sudah bermain bola gebok di halaman sekolah kami, yaitu permainan dengan menggunakan bola tenis lapangan kemudian bola itu diarahkan sekuat kuat dan tepat di badan siapa saja yang main. Karena dialah yang paling kecil diantara kami, menjadi sasaran empuk terutama jika sudah Paito yang memegang bolanya.

BACA JUGA :  Petani Serambi Nusantara Harus Mandiri

Arga Suparta, teman kami yang memiliki keunikan khusus terutama dikedua gigi depannya,  dari kejauhanpun kami sudah bisa mengenalinya, dua gigi mancungnya selalu memantulkan sinar dan pernah giginya memakan korban kepala temanku, saat main bola gebo tanpa sengaja Anto melompat merebut bola namun saying kepalanya  mendarat di giginya Arga, walhasil darah mengucur dan sampai sekarang stempel luka kedua gigi Arga masih ada dikepalanya Anto . Bakat seninya sangat tinggi, melukis keahliannya, termasuk menggambar Ibu Syafariah jika mengajar. Penampilannya selalu membuat sensasional dengan gaya yang kadang norak saat itu. Celana jeans biru belang-belang  yang lagi trend saat itu tak luput di kreatifitasnya, ditambal sana sini, diberikan rantai kecil. Motor Honda Astrea 800 jaman dulu ayahnya pun tak luput di pretelinya, namun kelas kami jadi hambar kalau dirinya tidak ada.

Kelas itu benar-benar seperti pelangi, temanku berikutnya adalah Dawam, lengkapnya Muhammad Dawam, orang madura. Orangnya tinggi dan warna kulitnya yang rada hitam,  ayahnya adalah agen  Koran di Kijang. Tak ayal Dawam sering ikut kebagian tugas  mengantar koran di sore hari, itulah sebabnya kami sering menyebutnya pembalap di senja hari, karena Honda Win yang selalu dia gunakan mengantar koran, dia kendarai layaknya pembalap formula satu.

Agus Malombassi, teman sebangku denganku peranakan jawa bugis, ayahnya juga pegawai PT Antam, pendek sama denganku, namun dia pendekar, maksudnya pendek dan kekar. Senyumannya yang khas karena ada gingsul membuatnya semakin imut-imut, suaranya yang merdu, apalagi kalau sudah menyanyikan lirik lagu-lagu Malaisya saat itu, dia pernah menjuarai lomba menyanyi se-Kijang untuk tingkat anak-anak saat itu.

Ismail, kami lebih sering memanggilnya Mail, teman kami yang satu ini terkenal dengan penampilanya yang kocak dan sembrono, pakainnya yang kadang tidak rapi sering ditegur oleh ibu Asma, namun jika masalah tipu muslihat dia pakarnya, beberapa penjual mainan depan sekolah  sering menjadi korban muslihatnya, namanya the best dalam daftar hutang di warungnya babah sompret, tak terhitung sudah sumpah serapah kata sompret dari ko awi kepada Mail.

BACA JUGA :  Kami dan Pramuka

Roni, alias si jabrik kami memanggilnya, lelaki termodis di kelas kami. Minyak rambut tanchonya sudah jelas cepat habis, karena rambutnya sejak awal masuk sampai pulang jam sekolah tidak pernah berubah, pokoknya licin  dan mengkilap, mungkin cicak saja bisa terpeleset kalau jatuh di rambutnya, idolanya saat itu penyanyi Gito Rollies dan Ikang Fauzi kebetulan suaranya juga serak-serak basah, namun selalu sumbang jika dia menyanyi. Roni Paling jago dalam ilmu rayu merayu, tahi lalat diatas bibirnya membuat banyak yang gemas dengannya.

Wicaksono teman kami yang paling pembersih, pendiam, kalau bicara seperlunya, disebangku dengan ismail sehingga sangat kontras antara keduanya. saat naik kelas 4 dia juga murid baru, namun kami yang sekelas dengannya mendapat suatu kehormatan, karena ayahnya adalah Sekretaris Perusahaan (Sekper) orang nomor dua di jajaran UPN Bauksit PT Antam Kijang. Pernah kami beberapa orang main kerumahnya, seakan-akan kami mendatangi istana yang besar dan megah, sebuah rumah di atas bukit dekat masjid Nurul Iman Kijang peninggalan  jaman Belanda, kendati ayahnya adalah pejabat di perusahaan.

Mason, temanku yang tinggalnya paling jauh dari sekolah. Kami sering dibuat iba olehnya, dia anak yatim dan tinggal di daerah kebun karet  kampung jati. Mason sering bekerja sambilan membantu pamannya sebagai  pengambil getah karet di area perkebunan karet itu, ibunya berjualan kue di pasar termasuk beberapa kuenya dititipkan di warungnya ko’ Awie. Semangat belajarnya tetap ada, nasibnya tidak jauh beda dengan teman kami Paito. Mason sering melihatkan otot bisepnya yang besar itu kepada kami yang kecil-kecil, dikamarnya penuh dengan gambar binaragawan, entah mungkin dia ingin jadi atlit binaragawan.

Ada si Anto yang kocak yang duduk dibarisan depanku bersama Mulyono S dan Mulyono J, walaupun namanya kembar, tetap saja itu orang jarang akur, Mulyono S jago dalam bermain kelereng dan bersyukur kami memiliki teman yang jago dalam mengaji dengan suara indah seperti Mulyono J.  Ada teman kami yang juga mereka sepupu sekali yaitu Rauf dan Syamsul yang ada tompel di pipi kanannya, namun keduanya paling jago dalam keterampilan dalam kegiatan Pramuka, khusunya kalau sudah memainkan semaphore dan semua jenis sandi yang di pelajari dalam Pramuka.

Tak kalah juga murid perempuan di kelas itu, pokoknya sangat berwarna-warni sepertipelangi,  ada yang namanya Sri Wahyuningsih, ayahnya penjual pisang goreng ternama di Kijang, gerobak jualannya gampang dijumpai dipojok gedung pertemuan Antam, dia sering membantu ayahnya berjualan di malam hari. Saimah kendati anaknya sangat pendiam namun termasuk jajaran juara kelas, ayahnya kerja di pabrik pembuatan tahu tempe di  kampung pisang.  Halidah anaknya pak Abdullah seorang mantri atau perawat gigi di poliklinik gigi dan mulut RS Antam, kami sering dapat bocoran darinya jika sudah waktunya tim kesehatan memeriksa ke sekolah kami, sehingga temanku Arga selalu lolos dari pemeriksaan gigi kala itu, jika kami cabut gigi akan berhadapan dengan ayahnya. Si Rina yang selalu ingin jadi mayoret drum band, ada si Tuty siswi tergemuk di kelas kami yang jago dalam masak, sehingga setiap akhir tahun ajaran banyak murid laki-laki ingin bergabung di kelompoknya karena pelajaran masak-memasak dimana jurinya adalah seluruh guru di SDN 006, namun dari seluruh murid perempuan ada duet Nur dewi dan Tri  dewi yang menonjol dan menjadi idola di kelas itu.

BACA JUGA :  Iran Dalam Pusaran Konflik Palestina-Israel

Dengan teman-teman yang baik, aku tidak terlalu lama membutuhkan waktu untuk beradaptasi, kami semua akrab saling membantu satu dengan yang lain, aku sering menyebutnya dengan kelas pelangi, kelas dengan beragam latar belakang sosialnya,  namun tetap saja kehidupan sosial warga Kijang  sangat dipengaruhi oleh corak dominan  melayu yang terkenal lembut dan santun,  hal ini menjadikan karakter sosial warganya sangat menjunjung nilai-nilai agama dan tradisi yang kental, pepatah dan pantun kerap menjadi sarana menasihati antar sesama. Sebagaimana Gurindam dua belas karya Raja Ali haji dari  Pulau penyengat, Tanjung Pinang. Seperti beberapa syairnya yang kuhapal :

Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang ma’rifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terpedaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat.

Sebagaimana kebanyakan anak-anak sebayaku di Kijang, pagi menuntut ilmu di sekolah dan malam lepas maghrib aku harus ikut memperbaiki bacaan Qur’an di Langgar dan masjid, aku belajar mengaji pada Bang Amat  seorang pemuda yang juga penjaga Masjid Istiqomah samping rumahku.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
Html code here! Replace this with any non empty raw html code and that's it.