Virus Corona terus menebar duka di Kaltim. Djailani, dokter spesialis THT RSUD Kanujoso Djatiwibowo, Balikpapan, meninggal setelah dirawat selama 26 hari di ICU. Dia menjadi dokter keempat yang berpulang akibat keganasan Covid-19.
Dokter Djailani dinyatakan positif pada 3 Oktober, beberapa hari setelah ikut terlibat medical check up calon Wali Kota Balikpapan. Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher itu kemudian menjalani perawatan di ICU RSUKD hingga meninggal Kamis (29/10/2020) malam.
Sudah 3 bulan berturut-turut, kabar duka dokter meninggal disebabkan Covid-19 terus terdengar di Benua Etam. Kamis (3/9/2020), Direktur RS Hermina Samarinda dr Endah Malahayati yang baru dipindah dari RS Hermina Galaxi Bekasi, Jawa Barat, juga meninggal karena Corona.
Endah menyusul mantan Direktur RSUD Inche Abdoel Moeis Samarinda, dr Edisyahputra Nasution, yang tutup usia di umur 66 tahun, pada pada Kamis (27/8/2020), saat menjalani perawatan di RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS).
Mereka menyusul gugurnya Sriyono, dokter umum yang juga Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat dan Plt Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Balikpapan. Sriyono gugur pada Rabu (19/8/2020) saat dirawat secara intensif selama seminggu lebih di RSUD Kanujoso Djatiwibowo.
Kepergian Sriyono, Edisyahputra, Endah, dan terbaru Djailani, menambah panjang daftar dokter yang meninggal dunia dipicu Corona. Mengacu data yang dikeluarkan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), hingga 25 Oktober 2020, jumlah tenaga medis dan tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19 sudah menyentuh angka 253 orang.
Rinciannya, 141 dokter, 9 dokter gigi, dan 103 perawat. Angka ini dipastikan bertambah sebab, Djailani belum termasuk. Jumlah kematian paramedis melonjak dibanding data IDI sampai akhir Agustus. Kala itu total tenaga medis dan tenaga kesehatan yang meninggal mencapai 171 orang. Dengan kata lain, hanya dalam waktu 2 bulan saja terjadi penambahan kematian lebih dari 80 orang.
Per 31 Oktober 2020, hampir 8 bulan sejak diumumkan masuk Indonesia pada awal Maret, total ditemukan 410.088 kasus Corona, dengan kematian mencapai 13.869 kasus. Seiring perjalanan waktu, semakin hari jumlah kasus positif dan kematian terus bertambah. Angka kematian masyarakat (non-tenaga medis), tentu jauh lebih banyak dibanding 253 orang dari tenaga medis/kesehatan.
Tapi harus diingat, mereka merupakan garda terdepan dalam penanganan pandemi. Artinya, bila korban dari tenaga kesehatan –terutama dokter– bertambah banyak, dikhawatirkan tak hanya memengaruhi penanganan pasien Covid-19, tapi hingga penanganan kesehatan secara umum.
Bila kondisi tersebut berlanjut, Corona terus bermutasi serta vaksin juga belum jelas keampuhannya, ditambah masyarakat tetap abai menerapkan protokol kesehatan (3M), dikhawatirkan populasi tenaga kesehatan makin menyusut. Kehilangan dokter berarti kehilangan sumber daya manusia yang sangat andal, dimana regenerasinya tergolong sulit dibanding cabang keilmuan lain.
Mencetak dokter sama sekali bukan pekerjaan enteng. Tak cukup bermodal otak encer dan kuat mental, mereka juga harus mampu secara ekonomi. Ambil contoh calon mahasiswa kedokteran (jalur mandiri) yang diterima di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung tahun 2020.
Setelah dinyatakan diterima, mereka harus menyetorkan dana pengembangan Rp 250 juta serta wajib membayar Rp 15 juta tiap semester. Sementara mahasiswa baru kedokteran gigi dikutip dana pengembangan Rp 225 juta dan per semester Rp 13 juta. Itu biaya yang harus dikeluarkan sebatas mendapat gelar sarjana kedokteran, dengan masa kuliah paling cepat 4 tahun. Mereka belum bisa praktik karena harus menjalani pendidikan profesi dokter selama 1,5 tahun.
Jangan tanya berapa biaya jadi mahasiswa kedokteran di perguruan tinggi swasta sebab pada umumnya angkanya lebih besar dari angka-angka yang disebutkan di atas.
Menariknya, animo anak muda Indonesia untuk mendapat titel dokter ternyata cukup tinggi. Data Konsil Kedokteran Indonesia (terus berkembang) hingga April 2020, di Tanah Air ada 186.105 dokter. Lumayan banyak, cuma masalahnya di tingkat sebaran.
Menurut Sekjen IDI Moh Adib Khumaidi, para dokter tersebut menumpuk di perkotaan terutama Pulau Jawa. Untuk wilayah Indonesia Timur termasuk Kalimantan, rasio ideal 1 dokter melayani 1.400 pasien sulit terwujud. Masalah utamanya, lanjut Adib, adalah cakupan wilayah layanan yang luas, penduduk terpencar, dan daerahnya sulit dijangkau tenaga kesehatan.
Kondisi ini diperparah, dari 9.731 puskesmas yang ada ternyata 5 persen atau 480 puskesmas diantaranya, tak memiliki dokter sama sekali. Sebanyak 9 persen atau 875 puskesmas, memiliki dokter tapi tempat tinggalnya jauh dari layanan kesehatan, disebabkan lokasi puskesmas terpencil. Dalam kondisi normal saja sudah jadi problem apalagi saat pandemi Covid-19 seperti sekarang!
Secara otomatis tingkat pelayanan kesehatan tiap daerah bakal berbeda satu sama lain. Oleh karenanya, kata Adib, pemerintah daerah perlu melakukan pemetaan kemampuan kesehatan di tiap wilayah masing-masing. Riilnya, berapa banyak fasilitas kesehatan yang ada, berapa jumlah SDM-nya, sarana-prasarana, dan ketersediaan obat.
Dengan begitu, bila potensi wabah muncul bisa segera dilakukan langkah untuk membantu wilayah yang minim layanan tersebut.
Sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, puskesmas menjadi tempat awal pemeriksaan kesehatan masyarakat. Konsekuensinya, menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim, Nataniel Tandirogang, para tenaga medis di puskesmas sangat rentan terkena Corona. Apalagi tidak semua puskesmas dilengkapi alat pelindung diri atau APD.
Untuk Kaltim, hingga 30 Oktober 2020, paling tidak ada 5 daerah zona merah dengan jumlah pasien positif di atas 1.000 orang. Pertama, Samarinda dengan pasien positif 4.344 kasus, sembuh 3.615 kasus, dan meninggal 156 orang. Kedua, Balikpapan dimana positif 3.825 kasus, sembuh 3.157 dan meninggal 207.
Menyusul kemudian Kutai Kartanegara dengan 2.365 positif, sembuh 1.423 dan meninggal 42 kasus. Kutai Timur menempati urutan 4 dengan pasien positif Covid-19 berjumlah 1.213, sembuh 839 dan meninggal 17 orang. Terakhir Kota Bontang, sebanyak 101 warga dinyatakan positif, sembuh 683 dan meninggal 22 orang.
Zona oranye di Kaltim adalah Kabupaten Berau (positif 359, sembuh 329 dan meninggal 4 orang), dan Kabupaten Paser (positif 504, sembuh 430, dan meninggal 13 kasus). Tiga daerah zona kuning: Kabupaten Penajam Paser Utara (positif 137, sembuh 112, meninggal 6 orang), Kutai Barat (positif 207, sembuh 190, meninggal 4 orang), dan Mahakam Ulu (positif 20, sembuh 18, meninggal 1 kasus).
Dari data di atas terlihat seluruh kabupaten/kota di Kaltim yang berjumlah 10 daerah tak satupun bebas dari Covid-19. Kondisi ini memaksa Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim menyusun langkah terburuk yakni menyiapkan sakit karantina Corona. Ini merespons sejumlah rumah sakit di Kaltim yang mulai menjerit kekurangan ruang isolasi atau harus membangun ruang perawatan tambahan.
Sementara dari sisi tenaga kesehatan menurut Nataniel, sampai awal April 2020, Kaltim memiliki 2.812 dokter. Rinciannya, 2.084 orang dokter umum, 24 dokter spesialis paru, 74 dokter spesialis penyakit dalam, 70 dokter spesialis anak, dan 55 dokter spesialis anestesi. Dari 10 kabupaten/kota yang ada, sebaran dokter spesialisnya tak merata di tiap daerah.
Contohnya Kabupaten Mahakam Ulu. Di kabupaten termuda di Kaltim ini tak ada dokter spesialis paru. Padahal, dokter jenis ini paling diandalkan untuk menangani pandemi Covid-19. Mereka yang pertama menerima pasien terduga Corona. Sebab, gejala awal pasien yang mengidap Covid-19 biasanya berupa gangguan pernafasan.
Untuk mengantisipasi ketiadaan dokter spesialis paru di suatu daerah, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan gerakan “Dokter Semesta”. IDI memberikan pelatihan pada dokter agar bisa menjadi penanggung jawab pasien untuk Covid-19. Dengan asumsi satu dokter menangani 10 pasien maka jumlah pasien yang bisa ditangani mencapai 28 ribu orang.
Menurut Nataniel, asumsi tersebut tak memperhitungkan hari libur, shift kerja, dan dokter yang tak bisa bekerja karena terpapar Corona. Asumsi ini juga tak menghilangkan penanganan terhadap pasien di luar pengidap Covid-19. Hal yang tak kalah penting dalam penanganan Corona, kata Nataniel, adalah fasilitas kesehatan, ruang isolasi, peralatan medis, dan alat pelindung diri (APD).
“Pemerintah bisa membangun rumah sakit darurat ketika pandemi semakin luas. Namun dengan APD, PCR (laboratorium untuk uji Covid-19), hingga media transfer virus untuk mengambil sampel, nyatanya masih terbatas sampai hari ini,” lanjut Nataniel seperti ditulis kaltimkece.
Selama tak didukung keterlibatan aktif semua pihak dan didukung kebijakan menyeluruh, Indonesia tak mungkin memutus mata rantai penyebaran Corona. Paling tidak masyarakat peduli dengan kesehatan diri sendiri dan orang-orang terdekatnya. Memakai masker saat keluar rumah, rajin cuci tangan dengan sabun, mengatur jarak (3M), untuk sementara jadi senjata ampuh melawan Corona. (red2)