spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kebijakan Revitalisasi Pasar Pagi Dinilai Arogan, Fathul: HAM Bukan Alat, Tapi Perspektif!

SAMARINDA – Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menyebut bahwa untuk kepentingan umum, hak asasi manusia pun bisa dirampas oleh negara jika hukum menghendaki.

Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap pertemuan yang dilakukan oleh 48 Pedagang Pasar Pagi yang memiliki hak atas tanah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda beberapa hari lalu.

Andi Harun menyampaikan pernyataannya ini dalam acara peluncuran buku karya Syafruddin S. Pernyata, yang berlangsung di Balai Kota Samarinda pada Kamis, 11 Januari 2023.

Menurutnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda terlihat membaca aturan sepotong-sepotong. Ia menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, mengatur tentang pemberian hak milik bukan hanya sampai pada kesepakatan antara pihak-pihak terkait, namun juga mencakup kepentingan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Direktur LBH Samarinda, Fathul Huda (ist)

“Meskipun aturannya menyebutkan bahwa harus mencapai kesepakatan, namun bukan berarti hanya sampai di situ. Terutama ketika menyangkut pengadaan tanah untuk kepentingan umum,” terangnya.

Ia juga menjelaskan bahwa tidak hanya hak atas tanah yang dapat diambil oleh negara demi kepentingan umum, tetapi hak asasi manusia juga dapat dirampas jika hukum mengharuskan. Jika pemilik lahan menolak, proses pengambilan akan tetap berlanjut dan uang ganti rugi akan ditempatkan di pengadilan.

Bahkan jika pengadilan menetapkan harga yang lebih tinggi, pihaknya akan tetap membayar sesuai dengan nilai yang ditentukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.

BACA JUGA :  Pemprov-Polda Kaltim Tak Datang, Pemberantasan Tambang Ilegal Disebut Makin Suram

“Jika demi kepentingan publik, bukan hanya hak atas tanah, bahkan hak asasi manusia pun dapat dirampas negara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Firman Ariefiansyah Singagerda, yang ditemui setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Pemkot Samarinda dan 48 pemilik hak atas tanah di Ruko Pasar Pagi pada tanggal 9 Januari 2023, mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki oleh pemilik ruko.

Berdasarkan data yang dikumpulkannya, terdapat SHM yang dikeluarkan mulai dari tahun 1990an hingga 2010. Terkait solusi, ia menyampaikan bahwa keputusan akhir akan diserahkan kembali kepada Pemkot Samarinda untuk mencapai kesepakatan dengan pemilik ruko.

“Keputusan akhirnya ada di tangan Pemkot Samarinda, apakah mereka ingin melanjutkan dengan tukar guling atau mencari solusi lain, semuanya tergantung pada bagaimana mereka memutuskannya,” jelasnya.

Terkait pernyataan Andi Harun, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, Fathul Huda, mengatakan bahwa pernyataan tersebut sangat arogan untuk seorang pejabat publik.

Menurutnya, pernyataan tersebut mencerminkan kesalahan perspektif terkait perampasan hak asasi manusia. Ia menekankan bahwa hak asasi manusia tidak bisa dirampas, melainkan dibatasi oleh hukum. Menggunakan istilah perampasan hak asasi manusia berarti menghilangkan hak seseorang sebagai manusia.

BACA JUGA :  Terhindar dari Jantung Koroner, Hikmah di Balik Langkanya Minyak Goreng

Ia juga menjelaskan bahwa seharusnya Pemerintah Kota Samarinda mengadopsi pendekatan partisipatif dalam kebijakannya, terutama dalam perencanaan pembangunan seperti Revitalisasi Pasar Pagi. Ia mengkritik bahwa pernyataan tersebut sangat tidak manusiawi karena menciptakan posisi Pemkot Samarinda sebagai “Super Power” atau penyalahgunaan kekuasaan.

“Peraturan ini memudahkan pemerintah untuk merebut hak atas tanah dari warga negara,” tegasnya.

Fathul telah menggarisbawahi sejak awal bahwa kebijakan ini tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terkena dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bagaimanapun, partisipasi publik dalam politik dan kebijakan telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, pemenuhan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab Pemerintah dan tidak dapat diabaikan.

“Jika kita berbicara tentang pengadaan tanah, hak asasi manusia harus dianggap sebagai perspektif, bukan hanya sebagai alat. Oleh karena itu, keliru jika hak asasi manusia dijadikan sebagai alat,” tambahnya.

Ia mengungkapkan bahwa proyek ini terlihat sebagai proyek yang ambisius dan seharusnya melibatkan semua pihak yang terdampak. Menurutnya, tidak boleh sembarangan merampas hak atas tanah seseorang. Kebijakan yang tidak partisipatif ini akhirnya menimbulkan penderitaan bagi warga negara. Seharusnya pendekatan ini seimbang, tidak hanya mempertimbangkan peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tetapi juga memperhitungkan peraturan yang mengatur pemenuhan hak asasi manusia.

BACA JUGA :  Koalisi Dosen Unmul Minta Polisi Segera Usut Tambang Ilegal

“Pertanyaannya adalah, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek senilai ratusan miliar ini? Apakah warga yang digusur? Apakah nasib pemilik ruko sudah dipertimbangkan dengan baik?” jelasnya.

Terlebih lagi, menurut Fathul, mengubah Hak Guna Bangunan yang ditawarkan oleh Pemkot Samarinda bukanlah hal yang mudah. Ia menekankan bahwa Pemkot Samarinda tidak boleh sembarangan jika menghadapi kendala dalam proses tersebut, karena tawaran Hak Guna Bangunan bukanlah solusi yang sesuai.

Menurut Fathul, solusi seharusnya adalah melibatkan partisipasi publik sejak awal dalam pengambilan keputusan. Kebijakan ini seharusnya bersifat “bottom up” atau melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan, bukan sebaliknya.

Ia menyatakan bahwa proyek ini terlihat sangat ambisius dan tergesa-gesa, dengan pihak-pihak kontraktor yang mungkin akan mendapat keuntungan dari situasi ini. Bahkan, menurutnya, mungkin ada motif terselubung dalam pelaksanaan proyek-proyek yang dilaksanakan di bawah pemerintahan saat ini.

“Kita harus mendukung 48 Pedagang yang memiliki hak atas tanah ini. Jika Pemkot Samarinda tetap melanjutkan dengan proses konsinyasi, itu menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sangat arogan. Seharusnya tidak harus melewati proses konsinyasi, terutama jika tujuan pengambilan lahan yang besar ini tidak transparan,” pungkasnya. (NAH)

 

Pewarta: Nelly Agustina

Editor: Agus S

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img