DENPASAR – Maraknya kasus persekusi yang menimpa masyarakat nasrani menjadi perhatian serius Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPHKI). Hal tersebut membuat PPHKI mendorong terjadinya keadilan hukum bagi kebebasan beragama di Indonesia.
Ketua Demisioner PPHKI Fredrick J. Pinakunary mengungkapkan, kasus persekusi yang terjadi umumnya pelarangan kegiatan beribadah bagi kalangan minoritas.
“Hingga saat ini banyak kasus yang terjadi, dan mirisnya kasus-kasus ini diketahui setelah viral melalui sosial media. Contoh terbaru seperti di Bekasi, Lampung, Indramayu dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Fredrick seusai diskusi panel Indonesia Justice Conference (IJC) yang diselenggarakan PPHKI di Menorah Hall Lembah Pujian, Denpasar, Jumat (30/6/2023).
Lebih lanjut menurutnya, Presiden Jokowi sudah menyatakan bahwa kebebasan beragama di negeri ini telah dilindungi konstitusi. Hal itu terpampang jelas dan termaktub dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) 1945, yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan warganya untuk memeluk agamanya masing-masing, dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Tetapi faktanya di sebagian daerah, pelarangan dan persekusi mengatasnamakan agama masih saja terjadi.
“Oleh sebab itu PPHKI menginginkan setiap pemuka agama terutama para pendeta dapat ‘melek’ tentang hukum. Agar kedepannya ketika terjadi pelarangan atau pembubaran ibadah, mereka dapat berbicara kepada aparat maupun masyarakat terkait hak-hak mereka yang telah dilindungi oleh negara,” jelas advokat senior pendiri FJP Law Offices ini.
Fredrick menuturkan, hingga saat ini PPHKI yang beranggotakan sekitar 200 advokat dan tersebar pada 10 kota di Indonesia intens bekerjasama dengan berbagai elemen organisasi kristiani, untuk terus mengedukasi para pendeta terkait perlindungan hukum demi terciptanya kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
“Contoh konkretnya, seperti penyiaran firman Tuhan melalui media sosial youtube, kami tekankan ke mereka harus patuhi rambu-rambunya. Jangan sampai jadi penyebar kebencian bagi agama lain,” jelas Fredrick.
Disisi lain, ia menyoroti isi KUHP Pasal 156 A serta pasal-pasal karet di Undang-Undang (UU) ITE yang bersifat sangat multitafsir. Hal ini mengakibatkan dengan mudahnya seseorang terjerat pidana dan menyuburkan tindakan persekusi keagamaan. Seperti halnya ujaran kebencian dan permusuhan harusnya parameter hukumnya diterangkan dengan jelas, jangan sampai membingungkan.
“Seharusnya pemerintah sebagai pembuat UU bisa mengantisipasi hal tersebut. Sehingga aturan ambigu itu bisa teratasi agar tidak terjadi kebingungan yang berujung disalahartikan masyarakat,” tandasnya. (dre)