Beban berat harus dipikul Kaltim. Ekspor provinsi ini semakin tersegmentasi ke lokomotif perekonomian global yakni poros Tiongkok, India, dan Jepang. Ketiga negara tersebut tidak lain produsen dari berbagai produk yang memenuhi pasar Amerika Serikat dan Eropa. Sebagai produsen, India, Tiongkok, dan Jepang, memerlukan energi dalam jumlah yang besar. Ketiga negara ini lantas menjadi importir batu bara terbesar di dunia.
Ketika Covid-19 berubah menjadi pandemi, pola konsumsi di tanah Eropa dan Amerika cenderung berkurang. Tiongkok, India, dan Jepang, terpaksa menurunkan produksi. Turunnya aktivitas produksi tersebut menyebabkan konsumsi energi di ketiga negara turut berkurang.
“Pada saat ketiga negara itu (Tiongkok, India, dan Jepang) jatuh, Kaltim secara langsung ikut jatuh,” demikian Hairul Anwar, akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda.
BACA JUGA:
Ekspor Batu Bara ke India Melorot, Mengancam Industri Pertambangan di Kaltim
Manager PT Berau Coal: Bisnis Batu Bara Penuh dengan Tekanan
Badai Batu Bara India, Ancaman PHK di Kaltim Menanti
Codi, panggilan pendek Hairul Anwar, menilai bahwa kebijakan India memprioritaskan batu bara domestik sebenarnya sudah dilakukan Tiongkok. Dua negara ini memang memiliki cadangan batu bara yang besar. Pemangkasan impor batu bara oleh India disebut bertujuan memperbaiki neraca ekspor-impor yang terpukul sepanjang pandemi. Menurut teorinya, kata Codi, negara yang mampu memproduksi dan mengonsumsi komoditas sendiri lebih kebal terhadap kelesuan ekonomi global seperti sekarang.
Kaltim adalah kebalikan dari India. Perekonomian Bumi Etam begitu bergantung kepada ekspor sumber daya alam. Pada waktu negara tujuan ekspor tidak mengonsumsi batu bara dalam jumlah besar, Kaltim kehilangan pembeli. Situasi ini diperparah ketika konsumsi batu bara dalam negeri tidak sebesar ekspor. Keadaan seperti saat ini sebenarnya bisa dihindari andaikata transformasi ekonomi yang digaungkan sejak 10 tahun silam berhasil Kaltim lakukan. Sayangnya, lanjut Codi, transformasi itu tak kunjung kelihatan.
“Pemegang izin pertambangan di Kaltim memang tidak banyak tetapi mereka punya ratusan kontraktor. Ratusan kontraktor ini punya ribuan subkontraktor mulai jasa transportasi, makanan, sampai tempat tinggal karyawan. Begitu sektor ini terpukul, semua (sektor) kena. Yang terburuk adalah ekonomi Kaltim lumpuh,” sambung alumnus Georgia State University, Amerika Serikat, tersebut.
Kebijakan perusahaan tambang mengurangi volume produksi dinilai selaras dengan hukum ekonomi. Pada saat stok batu bara sudah over di pasar sementara permintaan sedikit, produsen harus menahan produksi. Pemangkasan ini diyakini diikuti kebijakan efisiensi besar-besaran oleh perusahaan. Skema mengurangi karyawan pun menjadi keniscayaan.
“Situasi yang Kaltim hadapi saat ini lebih berat dibanding periode 2016 silam. Dengan kata lain, PHK massal seperti 2016 lalu sukar dihindari lagi,” sebutnya.
Pada 2016, Kaltim melewati masa-masa sulit itu. Harga batu bara yang anjlok diikuti produksi yang rendah menyebabkan 10 ribu karyawan sektor pertambangan di-PHK. Tanda-tanda krisis seperti itulah yang nampak pada masa sekarang. (fel/red)