spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kala Rumah Sakit Bikin Berang Wali Kota, Pasien Tak Ditangani Diduga karena Biaya, Versi RS Perlu Observasi

SAMARINDA – Sudah dua jam Syaparuddin di rumah sakit ketika putri sulungnya yang menderita perdarahan di kandungan belum juga ditangani. Mantan anggota DPRD Kaltim itu telah berkali-kali meyakinkan akan mengurus pembayaran. Yang penting, putrinya yang sedang hamil dua bulan dirawat sesegera mungkin.

Di Rumah Sakit Ibu dan Anak Aisyiyah, Jalan Pangeran Hidayatullah, Samarinda, Syaparuddin pada Minggu (16/5/2021) itu benar-benar tengah kebingungan. Rumah sakit menolak permohonannya. Ia sebenarnya bisa membayar biaya perawatan. Akan tetapi, Syaparuddin terburu-buru mengantar anaknya sehingga hanya membawa uang tunai Rp 1,5 juta. Begitulah yang Syaparuddin utarakan kepada seorang staf administrasi dan seorang dokter perempuan yang bertugas.

“Kata pihak rumah sakit, harus bayar dulu biaya keseluruhan. Pertama disebut Rp 4 juta, habis itu turun Rp 3 juta. Alasannya, itu prosedur rumah sakit,” kata Syafaruddin kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Senin (17/5/2021).

Pria yang duduk di Komisi II DPRD Kaltim periode 2008-2013 itu akhirnya menempuh jalan terakhir. Melalui WhatsApp, ia menghubungi koleganya, Wali Kota Samarinda, Andi Harun. Syaparuddin meminta Wali Kota membantu jaminan. Tak lama kemudian, sebuah pesan formal dikirim Andi Harun melalui aplikasi perpesanan tersebut. Wali Kota menggaransi seluruh pembiayaan perawatan.

Pesan Andi Harun rupanya tak mempan. Menurut Syaparuddin, rumah sakit bersikukuh putrinya baru bisa ditangani setelah uang dibayarkan. “Saya meminta nomor direktur rumah sakit saja ditolak. Bahkan, sempat disarankan ke rumah sakit negeri,” ungkapnya.

Putrinya yang berusia 24 tahun baru ditangani sementara setelah Syaparuddin mengirim pesan pribadi kepada pimpinan yayasan rumah sakit berjaringan nasional tersebut. Putrinya akhirnya dibawa ke Ruang Inap Anak Pribadi kelas III.

Itu pun, kata dia, dua jam setelah Andi Harun mengirimkan uang jaminan Rp 4 juta melalui ajudan pribadi atau pada pukul 14.00 Wita. “Saya secara pribadi tidak terima. Anak saya dibiarkan begitu lama tanpa penanganan,” keluhnya.

Hari berganti malam. Putri Syaparuddin sudah enam jam di ruang inap. Menurut diagnosis, putrinya mengalami abortus spontan atau keguguran. Syaparuddin membawa putrinya keluar dari rumah sakit pada keesokan harinya. Total biaya perawatan Rp 6,2 juta dan telah dibayar Wali Kota.

Sehari berselang, Wali Kota Andi Harun mendatangi rumah sakit. Di hadapan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Aisyiyah, dr Achlia Satijawati Dachlan; dan Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, dr Ismed Kusasih, Wali Kota meluapkan kekesalannya, Senin (17/5/2021).

“Saya marah dan kecewa. Ini menyangkut nyawa manusia. Bisa-bisanya, disarankan pindah rumah sakit padahal dalam kondisi parah,” kata Andi Harun yang gusar. “Kalau memang mau pakai prosedur, semua izin rumah sakit ini, mulai dari sanitasi dan prosedur panjar, harus diperiksa dasarnya. Bertentangan dengan UU Kesehatan atau tidak. Itu kita harus uji,” sambungnya.

Andi Harun kemudian mengutip UU 46/2009 tentang Kesehatan Pasal 32 ayat pertama. Bahwasanya, setiap fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan untuk mencegah kecacatan dan menyelamatkan nyawa pasien terlebih dahulu. Dilanjutkan dalam ayat kedua, rumah sakit tidak boleh menolak pasien atau meminta uang muka dalam keadaan darurat.

“Saya mohon, perhatikan rakyat kecil. Saya sebenarnya tidak mempermasalahkan kalau staf berkata seperti itu. Mereka ‘kan melaksanakan prosedur berdasarkan arahan pimpinan. Makanya, sebagai pimpinan, kita yang mengoreksi kalau ada prosedur yang menjauhkan kita dari masyarakat,” ingatnya.

Kepala Dinas Kesehatan Samarinda, dr Ismed Kusasih, mengatakan, akan mengumpulkan data dalam waktu dekat. Ismed mengaku, peristiwa ini baru pertama kali di Kota Tepian. Dinas Kesehatan segera memanggil seluruh perwakilan rumah sakit dalam beberapa hari ke depan. “Insyallah, akan ditindaklanjuti,” pastinya.

BANTAHAN RUMAH SAKIT
Direktur Rumah Sakit Aisyiyah, dr Achlia Satijawati Dachlan, membantah tidak memberikan penanganan pertama. Menurutnya, pasien sudah ditangani saat Syaparuddin, Andi Harun, dan pimpinan yayasan berkomunikasi. Di sisi lain, Achlia mengatakan, penanganan intensif baru bisa diberikan selepas observasi. Menurutnya, terdapat perbedaan dalam setiap kasus kehamilan.

Kondisi pasien dalam kasus ini harus dikonsultasikan kepada dokter spesialis kandungan. Kondisi janin juga perlu dilihat melalui pemeriksaan ultrasonografi. Perdarahan di trimester pertama kehamilan memiliki dua kemungkinan kondisi medis.

Pertama, abortus spontan atau keguguran, dan kedua adalah kehamilan endopik, biasa disebut kehamilan luar kandungan. “Ada kasus yang boleh dilakukan tindakan, ada kasus yang memerlukan observasi. Sementara (saat itu) yang menjaga dokter umum,” ucapnya.

Mengenai tudingan rekomendasi pasien agar pindah rumah sakit jika kekurangan biaya, Achlia mengatakan, perkataan tersebut adalah edukasi. Rumah sakit, sebutnya, selalu menyampaikan perbedaan model pembayaran kesehatan antara BPJS maupun mandiri. Rumah sakit juga tidak pernah menolak pasien.

“Bahkan kalau mau mencicil di sini, juga tidak apa-apa. Insyallah, rumah sakit kami siap menampung siapapun pasiennya,” ucapnya setelah inspeksi mendadak wali kota.

Berdasarkan informasi dari staf yang berjaga, Achlia melanjutkan, keluarga pasien tidak menyampaikan masalah biaya. Penanganan diberikan sebelum ada keluhan dari pihak eksternal rumah sakit baik pemerintah maupun yayasan. Pasien juga ditangani sebelum pembayaran. Meskipun demikian, dia enggan menanggapi klaim dari keluarga pasien lebih dalam.

“Silakan bertanya kepada yang bersangkutan. Saya tidak mau memperkeruh. Kalaupun ada kesalahan staf dalam penyampaian dan berkomunikasi, saya mohon maaf,” terangnya.

Sementara itu, Syaparuddin tidak ingin berspekulasi mengenai hubungan antara pelayanan yang lamban dan kandungan anaknya yang gugur. Dia mengaku ikhlas. Permasalahan pelayanan yang diterima anaknya tidak akan dibawa ke ranah hukum. Akan tetapi, dia tidak ingin kejadian serupa menimpa orang lain, terutama kaum papa.

“Sesuai kata Pak Wali, saya berharap, rumah sakit bisa mengedepankan penanganan kepada pasien yang mengalami kondisi kritis. Jangan sampai ada pelayanan yang tertunda karena prosedur atau biaya. Itu yang saya sayangkan,” tutupnya. (kk/red)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti