SAMARINDA – Kinerja demokrasi di Kaltim sepanjang 2019-2020 masuk kategori tinggi atau high performing democracy. Kaltim bahkan menempati posisi ketiga setelah Bali dan Jawa Barat sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada Selasa (19/10/2021), Kepala BPS Kaltim, Anggoro Dwitjahyono, menjelaskan dalam rilis bahwa kondisi demokrasi Kaltim meningkat signifikan. Dari skala 0-100, Kaltim menoreh 81,99 poin pada 2020. Angka ini menunjukkan indeks demokrasi Kaltim pada 2020 meningkat 4,32 poin dari 77,67 poin yang diperoleh pada 2019.
Ada tiga aspek yang menjadi penilaian BPS yakni kebebasan sipil (96,13), hak-hak politik (74,56), dan lembaga demokrasi (76,01). Dua aspek pertama mengalami peningkatan, sementara aspek terakhir menurun. Dari total 11 variabel, ada tiga variabel yang turun nilainya dibanding 2019. Ketiga variabel tersebut adalah kebebasan berpendapat (minus 5,53 poin), peran partai politik (minus 12,36 poin), dan peran birokrasi pemerintah daerah (minus 35,22 poin).
“BPS menggunakan metode focus group discussion, surat kabar, dan big data,” jelas Anggoro Dwitjahyono.
Beberapa indikator mendapat catatan khusus dari BPS. Ancaman terhadap kebebasan berpendapat di muka umum (minus 50 poin), rekomendasi DPRD kepada eksekutif (minus 3,57 poin), persentase perda dari hak inisiatif DPRD (nihil), dan upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah (minus 58,33 poin). Anggoro Dwitjahyono menjelaskan secara umum, indeks demokrasi mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir. Kinerja demokrasi Kaltim sedang membaik namun bukannya tanpa peringatan.
“Perlu diwaspadai munculnya hambatan pada aspek kebebasan sipil agar indeks demokrasi tidak turun ke kategori sedang sebagaimana pada 2016,” ucapnya.
Kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Kepala Bidang Politik Dalam Negeri, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kaltim, Firdaus Iwan, mengatakan, data tersebut adalah potret riil kehidupan berdemokrasi Kaltim. Dia juga membenarkan peringatan BPS. Aspek kebebasan sipil adalah yang paling memengaruhi indeks demokrasi.
Meskipun demikian, unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan diakui sulit dicegah. Apalagi, demonstrasi besar mengusung isu kebijakan pemerintah pusat. Hal itu berada di luar wewenang pemerintah daerah.
Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Jahidin mengatakan, dewan bersama eksekutif berupaya memperbaiki kekurangan. Akan tetapi, dia bersyukur dengan posisi Kaltim di indeks tersebut. Posisi Kaltim bahkan lebih tinggi dari Jawa Barat
“Kalau bisa, tahun depan kita tingkatkan menjadi posisi satu atau dua,” ungkapnya saat dihubungi via telepon.
Prestasi Kaltim sebagai daerah nomor tiga terbaik di Indonesia dalam berdemokrasi pada 2020 memang patut diapresiasi. Karena, jika menelisik data indeks perkembangan demokrasi yang dirilis BPS sejak 2009, angka 81,99 poin merupakan capaian tertinggi Bumi Etam. (Indeks Demokrasi Indonesia 2020 Provinsi Kalimantan Timur, 2021, hlm 7-14). Akan tetapi, kebenaran terhadap hal ini perlu diuji.
kaltimkece.id mewawancarai sejumlah akademikus dan penggiat gerakan sipil untuk memberikan penilaian. Ketiganya adalah akademikus Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah, akademikus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul, Budiman, serta Koordinator Kelompok Kerja 30, Buyung Marajo.
Analisis ketiganya bertumpu kepada indikator yang diberi label merah oleh BPS. Ancaman terhadap kebebasan berpendapat di muka umum, rekomendasi DPRD kepada eksekutif, perda inisiatif DPRD, dan penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah.
Herdiansyah Hamzah menjelaskan, sebagaimana laporan The Economics Intelligence Unit pada 2020, kondisi demokrasi Indonesia dikualifikasikan sebagai demokrasi cacat atau flawed democracies. Pria yang akrab disapa sebagai Castro ini mengaku heran, indeks demokrasi bisa meningkat selaras dengan kasus-kasus pembatasan kebebasan sipil untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Castro mencontohkan beberapa kasus pembatasan kebebasan sipil di Kaltim. Kasus pertama adalah kriminalisasi dua orang mahasiswa, Ucup dan Firman. Mereka ditangkap saat berunjuk rasa menolak undang-undang sapu jagat di depan gedung DPRD Kaltim pada 2020. Kedua mahasiswa itu dinyatakan bersalah karena penganiayaan serta membawa senjata tajam.
Kasus kedua adalah doxing yang dialami oleh Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional, Merah Johansyah. Akun Twitter-nya diserang akun anonim yang diduga sebagai pendengung ketika mengkritik Presiden Jokowi pada Oktober 2020. Castro menilai, kasus-kasus tersebut mengonfirmasi bahwa terjadi pembatasan kebebasan berpendapat di Kaltim.
“Rasanya sukar dipercaya jika indeks demokrasi meningkat. Saya sendiri pernah mengalaminya (doxing) pada 2019 saat revisi UU KPK,” ungkapnya.
Indikator rendahnya rekomendasi DPRD kepada eksekutif serta persentase perda dari inisiatif DPRD, Budiman selaku pengamat politik menilai sebagai bukti legislatif sebenarnya jarang menyerap aspirasi masyarakat. Dialog saat masa reses hanya untuk menggugurkan kewajiban. Jika proses penyerapan aspirasi berjalan ideal, tentu banyak perda yang dihasilkan dewan.
“Tapi rata-rata perda, kan, rekomendasi eksekutif,” ucapnya.
Budiman melihat hal ini berkaitan dengan budaya money politics di masyarakat. Ruang dialog ketika anggota dewan sudah menjabat berpindah saat pemilihan legislatif. Ketika suara sudah terbeli, sukar bagi masyarakat menagih janji dan menyampaikan aspirasi. Akan tetapi, Budiman meyakini, saat ini masih ada anggota dewan yang berhasil maju karena prestasi dan dekat dengan masyarakat. Meskipun jumlahnya sedikit.
“Di antara 400, paling cuma lima. Sehingga dalam konteks ini, indeks demokrasi Kaltim tidak sebanding dengan fungsi legislatif. Itu bisa dilihat dari angkanya, metodologi risetnya (BPS) sudah tepat,” imbuhnya.
Dalam aspek penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah, Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, memberi penjelasan. Tingkat keterbukaan informasi Kaltim terlihat dari permohonan penyelesaian kasus sengketa informasi di Komisi Informasi (KI) Kaltim. Buyung mencatat, angkanya meningkat setiap tahunnya. Pada 2019 terdapat 41 permohonan, 2020 ada 78 permohonan, sementara 2021 terdapat 13 permohonan. Totalnya pun mencapai 132 permohonan.
Padahal, Pasal 1 Ayat 3 UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah menuliskannya dengan jelas. Dokumen APBD dan APBN bersifat terbuka dan bukan informasi yang dikecualikan.
“Kondisi keterbukaan informasi Kaltim tidak sebanding dengan peningkatan indeks demokrasi Kaltim,” ucap Buyung menyimpulkan. (kk)