spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

K E R I S: Sejarah dan Asal Usulnya (2)

II   Asal-usul Keris

Pada proses penggalian kubur batu di Desa Kajardua, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Jogjakarta, ditemukan pula berbagai senjata tajam berbahan besi dalam bentuk mata kapak, mata pedang, dan cikal bakal keris. Arkeolog meyakini bahwa benda-benda purbakala ini bertahun karbon 200 SM. Temuan lain yang berkaitan dengan senjata adalah belati purba berbahan besi dan gagangnya berbahan perunggu di Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Temuan-temuan peralatan berbahan besi lainnya dalam berbagai bentuk, utamanya berbentuk mata tombak juga banyak ditemukan di berbagai daerah seperti di Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi, Kecamatan Punung Kabupaten Pacitan, Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo dan beberapa tempat lainnya diyakini sebagai masa-masa awal penggunaan alat bahan besi.

Prasasti Tuk Mas yang berarti mata air emas adalah sebuah prasasti yang dipahatkan pada batu alam di lereng Barat Gunung Merapi, tepatnya Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Prasasti Tuk Mas dipahat dengan aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta, diperkirakan ditulis sekitar abad 6 M. Di bagian atas prasasti itu ada beberapa gambar, diantaranya trisula, kapak, sabit, kudi dan belati mirip keris Nyi Sombro.

Kata Keris pertama kali ditemukan dalam lempengan perunggu yang menyebutkan bahwa untuk menyelenggarakan upacara dalam rangka menetapkan Poh sebagai daerah perdikan atau bebas pajak diperlukan sesaji diantaranya kres, wangkiul, tewek punukan dan wesi penghantap. Sesuai dengan gambarannya, kres adalah keris, wangkiul adalah tombak dan tewek punukan adalah tombak dwisula. Prasasti lainnya yang menyebutkan kata keris adalah Prasasti Humanding (797 Saka atau 875 M), Prasasti Jurungan (798 Saka atau 876 M), Prasasti Haliwangbang (798 Saka atau 876 M) dan Prasasti Taji (823 Saka atau 901 M).

Pada lukisan gambar timbul (relief) Candi Borobudur, Jawa Tengah, di sudut bawah bagian Tenggara, tergambar beberapa orang prajurit yang membawa senjata tajam serupa dengan keris yang kita kenal sekarang. Di Candi Prambanan, Jawa Tengah, juga tergambar pada reliefnya, raksasa membawa senjata tikam yang serupa dengan keris. Di Candi Sewu, dekat Candi Prambanan, juga ada arca raksasa penjaga, yang menyelipkan sebilah senjata tajam, mirip keris. Sementara itu, dalam laporan yang disusun oleh Prof. P.A. Van der Lith menyebutkan, sewaktu stupa induk Candi Borobudur, yang dibangun tahun 875 Masehi, dibongkar, ditemukan sebilah keris tua. Ukuran panjang bilah keris temuan tersebut adalah 28,3 cm dan lebarnya 4,8 cm. Bentuknya lurus, tidak memakai luk.

Banyak sekali para ahli yang mereka-reka kapan keris mulai dikenal di Nusantara, diantaranya pendapat G.B. Gardner, Griffith Wilkens, Martin Kerner dan A.J. Barnet Kampers. Teori-teori yang dikemukakan mengandung banyak kelemahan dan tidak logis. Satu hal yang tidak ditangkap dalam alam pikir para ahli barat adalah bahwa keris dibuat oleh para Mpu bukan dengan maksud untuk digunakan sebagai alat membunuh, masih banyak manfaat lainnya yang tidak terungkapkan. Pendapat dari Zoetmulder yang merupakan pakar sastra jawa dan kebudayaan Indonesia, mengatakan bahwa pulau Jawa diduga sudah mengenal keris sejak abad ke-7 atau ke-7, namun bentuknya masih belum sempurna.

Bentuk keris mulai terlihat sempurna adalah Ketika abad ke-12, Ketika Kerajaan Singasari melaksanakan Ekspedisi Pamalayu yaitu sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer oleh Raja Kertanegara di beberapa wilayah Nusantara. Keris Jawa yang menyebar ke Bali berubah bentuknya sesuai karakteristik dan budaya local setempat. Yang menyebar ke Sumatera berubah sesuai dengan muatan local setempat. Artinya, disetiap daerah keris memiliki keunikan sendiri baik dalam penampilan, fungsi, Teknik Garapan dan istilah-istilahnya.

Pangeran Hadiwidjojo Sang Maharsitama, seorang bangsawan Keraton Surakarta yang mengatakan bahwa istilah keris berasal dari Jawa Kuno yang berarti menghunus atau senjata hunus. Sedangkan menurut etimologis Jawa atau Jarwodhosoknya, keris berasal dari kata sinengker (rahasia) dan aris (bijaksana atau hati-hati). Dengan demikian keris berarti Sinengkering Aris yaitu manusia yang memiliki keris harus mampu menjaga hati, rendah hati, tidak suka menonjolkan diri, tidak sombong, bersikap bijaksana dan hati-hati.

Keris juga mempunyai nama lain yaitu Dhuwung, yang berasal dari kata udhu (sumbangan/kontribusi) dan kuwung (kehormatan/kewibawaan). Sehingga, pemilik Dhuwung memberikan kontribusi dalam meningkatkan derajat, kewibawaan dan kehormatan di mata masyarakat umum. Keris juga disebut Curiga, yang berasal dari kata curi yang artinya tajam dan raga yang artinya fisik. Sehingga pemilik keris atau Curiga akan memiliki pikiran yang tajam, cerdas dan permana.

Pandangan masyarakat Indonesia zaman dahulu (khususnya di Jawa, Bali dan Lombok), bahwa pria dewasa dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memiliki wisma (tempat tinggal), wanita (pasangan hidup), curiga (keris pusaka), turangga (kuda/kendaraan), dan kukila (burung peliharaan). Keberadaan keris dipandang sebagai sebuah “sipat kandel/piyandel” atau sesuatu yang dapat diandalkan untuk mempertebal kepercayaan diri dan senantiasa sebagai penolak bala dalam menjalani kehidupan. (Bersambung)

Ditulis oleh: Begawan Ciptaning Mintaraga
Bidang Edukasi Senapati Nusantara (Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)

 

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti