- Sejarah Seni Tempa di Nusantara
Sebelum keris tercipta, bangsa Nusantara sudah lebih dulu mengenal logam untuk membantu kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, belum ditemukan catatan yang pasti mengenai kapan manusia Nusantara mengenal besi dan bagaimana mengolahnya.
Analisis bahwa budaya logam dikenal oleh manusia Nusantara dari budaya Dongson pada abad VIII juga kurang kuat, karena jauh sebelum budaya itu masuk ke bumi Nusantara, leluhur kita sudah mengenal besi dan baja, dalam bentuk peralatan pertanian seperti cangkul dan beliung.
Fakta lain mengungkapkan, temuan-temuan bangunan batu, kubur batu, dolmen, punden berundak dan peninggalan lain menunjukkan bahwa manusia Nusantara sudah mengenal besi atau baja yang kuat sebagai perkakas untuk membentuknya. Para ahli sepakat bahwa kemungkinan masa manusia Nusantara mengenal besi dan baja adalah sekitar tahun 300 SM. Pusat-pusat kehidupan manusia Nusantara yang mengenal besi dan baja adalah di wilayah-wilayah yang tanahnya memiliki kandungan biji besi tinggi, misalnya di sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa.
Perkembangan kebudayaan selanjutnya adalah masa undagi, yaitu ketika manusia Nusantara mengenal teknologi pengolahan logam tembaga, perunggu, dan besi. Pada masa ini, terdapat sekelompok orang yang memiliki keahlian menciptakan suatu barang melalui teknik yang lebih maju, mulai teknik cetak, pandai besi sampai konstruksi.
Bidang logam mengalami banyak peningkatan, ditandai dengan terciptanya variasi produk yang lebih beragam. Mereka telah mampu membuat segala peralatan-peralatan kebutuhan hidup seperti sabit, mata bajak, cangkul dan linggis, pahat/tatah, ketam, kapak dan peraut, sedangkan untuk senjata telah diciptakan tombak, keris, pisau atau golok.
Produk mereka telah mencapai bentuk yang lebih baik dan lebih sempurna, sebagaimana disebut dalam Prasasti Rukam, yang ditemukan di Parakan, Magelang yang berangka tahun 829 Saka (907 M) sebagai berikut:
“……r mesi bras 4 wsi ikat 4 wsi wsi prakara wadun rimwas patuk patug lukai tampilan linggis 4 tatah wa(n)kyul kris gulumi kurumbagi pamajha kampit dom tamra praka
(“….berisi beras 4,, wak(ng)kyul, keris, gulumi, kurumbagi, pamajha, kampit, jarum, tamra berjenis..)
Penguasaan teknologi atas masing-masing jenis logam pada masa-masa berikutnya semakin menunjukkan tingkat keterampilan tinggi, sehingga masing-masing kelompok ahli tersebut mendapat julukan yang berbeda-beda. Sebutan Pande Tamwaga ditujukan untuk ahli pengrajin tembaga, Pande Salaka adalah sebutan ahli pengrajin perak, Pande Dadap untuk ahli pembuat perisai dan Pande Sinyan-sinyan adalah ahli pembuat kujang, keris, pedang, tombak dan senjata lainnya, yang kemudian lebih dikenal disebut Mpu.
Kemudian menurut arkeolog Siti Surti Nastiti dalam buku Pasar di Jawa Masa Mataram Kuno, pandai besi sudah ada sejak berpuluh abad yang lalu dan mereka dikenal dengan sebutan padai wsi (besi). Ada Desa Tanggung dan Desa Kedok di Jawa Tengah yang telah mengolah biji besi untuk dijadikan berbagai alat mulai dari alat pertanian, pisau, parut, Loyang, cetakan kue dan senjata tajam.
Masih menurut Siti Surti Nastiti, pandai besi di masa Mpu Sindok sekitar abad 8-9, memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Mereka sudah mendapat gelar mpu, yang artinya memiliki keahlian khusus dan berkaitan dengan spiritual. Seseorang akan mendapat gelar Mpu apabila memiliki kesaktian, kepandaian, atau kemampuan batin yang lebih dari orang kebanyakan.
Sebenarnya, sebutan Mpu tidak hanya untuk seseorang yang ahli membuat keris tetapi juga diberikan kepada seseorang yang memiliki keahlian di bidang lain, seperti bidang sastra. Kita mencatat nama Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Kanwa; Mpu Prapanca ahli di bidang ilmu pengobatan/ketabiban dan Mpu Pangrawit ahli dibidang seni karawitan.
Sementara itu sejarawan Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga mengatakan, keahlian mengolah besi dapat menjadi sarana penciptaan kekuasaan, karena yang mampu mengolah besi yang dikerjakan terlebih dahulu adalah peralatan perang (pertahanan) baru kemudian membuat kreasi berupa alat-alat pertanian.
Kisah Ken Arok di tahun 1222 tatkala mendirikan Kerajaan Singasari, dimulai dengan memesan keris kepada Mpu Gandring. Dari beberapa diskusi di kalangan pecinta tosan aji di Malang Raya, untuk melakukan kudeta tidak mungkin hanya memesan sebilah keris saja, tapi Ken Arok dipastikan memesan senjata perang di padepokan Mpu Gandring untuk satu pasukan.
Berpindah ke masa Majapahit, dalam naskah Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1287 Saka (1365 M), pupuh 14 bait 5 disebutkan Makassar, Buton, Banggawi, Kunir serta Selayar adalah saka sanusa nusa atau daerah pulau-pulau dari Kerajaan Majapahit yang Makmur pertaniannya.
Sepanjang pantai timur Pulau Sulawesi dan daerah disekitar Danau Matano adalah penghasil besi, disebut Besi Luwu sudah dikirim ke Jawa untuk bahan pembuatan keris. Keris-keris era Majapahit dapat dikatakan telah menggunakan besi luwu untuk bahan dasarnya, namun dikerjakan oleh para mpu dari tanah Madura. Kekuatan Angkatan perang masa Majapahit kala itu pasti luar biasa besarnya, karena mampu menyatukan seluruh Nusantara. (Bersambung)
Ditulis oleh: Begawan Ciptaning Mintaraga
Bidang Edukasi Senapati Nusantara (Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)