JAKARTA – Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan atau transisi energi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memitigasi dampak dari transisi energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan pentingnya definisi dan indikator transisi energi berkeadilan.
Melalui Just Transition Dialogue II: Menyelaraskan Pandangan dan Strategi Intervensi Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia, IESR berusaha memberikan kejelasan konsep dan cakupan transisi energi berkeadilan agar sesuai dengan konteks Indonesia. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir risiko sosial, ekonomi, dan teknologi dari proses transisi energi.
IESR mendefinisikan transisi energi berkeadilan sebagai proses peralihan dari sistem sosial-ekonomi intensif karbon menuju sistem sosial-ekonomi rendah karbon. Tujuannya adalah untuk mengatasi permasalahan ekonomi, sosial, energi, dan lingkungan yang ada, serta melakukan mitigasi dari permasalahan yang berpotensi muncul akibat transisi. Sistem rendah karbon diharapkan dapat bermanfaat tanpa merugikan secara signifikan bagi pihak-pihak terkait melalui pendekatan multisektoral dan multipihak di berbagai tingkatan.
Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A. Swadana, mengungkapkan bahwa untuk mencapai tujuan transisi berkeadilan diperlukan beberapa pendekatan, yaitu transformasi ekonomi, transformasi sosial-politik, dan pelestarian lingkungan.
Dalam transformasi ekonomi, terdapat empat komponen utama yang perlu diperhatikan: pengentasan kemiskinan, kemajuan ekonomi berkelanjutan, pekerjaan hijau, dan resiliensi ekonomi. Setiap komponen memerlukan indikator yang relevan.
“Misalnya, untuk komponen kemajuan ekonomi berkelanjutan, indikatornya dapat berupa Produk Domestik Bruto (PDB), pertumbuhan investasi, pendapatan nasional bruto per kapita, bauran energi terbarukan, dan proporsi kelas menengah,” ujar Wira pada Kamis (25/7/2024).
Wira juga menyatakan bahwa transformasi sosial-politik diperlukan untuk mendukung kebijakan dan regulasi yang mendorong transisi berkeadilan. Komponen transformasi ini mencakup pembangunan manusia dan inklusivitas masyarakat.
Selain itu, pelestarian lingkungan hidup harus menjadi prioritas utama dalam setiap langkah transisi energi, termasuk perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan pengurangan emisi karbon.
“Dengan adanya kejelasan definisi dan cakupan transisi berkeadilan, harapannya Indonesia memiliki acuan untuk perencanaan dan pelaksanaan transisi berkeadilan sesuai konteks Indonesia,” lanjut Wira.
Tentu saja, hal ini membutuhkan komitmen yang kuat dan kolaborasi dari semua pihak agar Indonesia dapat berhasil dalam transisi berkeadilan. Sehingga tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Di sisi lain, Ketua Umum Forum Serikat Pekerja (FSP) Kerah Biru, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Royanto Purba, menegaskan pentingnya mitigasi dampak negatif dari hilangnya pekerjaan di sektor energi fosil seiring dengan pelaksanaan transisi energi berkeadilan.
Mitigasi ini dapat dilakukan melalui pengembangan program pelatihan dan keterampilan, penyediaan jaring pengaman bagi pekerja yang terdampak, peningkatan dialog sosial, serta keterlibatan pekerja dan komunitas dalam prosesnya.
“Dalam mewujudkan transisi energi berkeadilan ini diperlukan koherensi dan harmonisasi kebijakan, serta pembentukan dewan tripartit transisi energi berkeadilan antara pemerintah, pengusaha, dan tenaga kerja,” jelas Royanto.
Saat ini, terdapat NDC (Nationally Determined Contribution) dengan berbagai target penurunan emisi yang dapat berdampak pada pengurangan jumlah pekerjaan di sektor energi fosil. Hal ini harus diinformasikan kepada serikat pekerja untuk antisipasi dampaknya. “Untuk itu, perlu adanya peta jalan ketenagakerjaan yang jelas untuk memberi arah bagi pekerja menghadapi transisi energi,” tutup Royanto. (rls)
Editor: Agus S