spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Jamur Itu Bernama PKL, Tak Bosan Ditertibkan Satpol PP Samarinda Muncul Kembali

SAMARINDA – Sambil mencuri-curi pandang ke jalan raya, Budi Wahono (41), sibuk menuangkan gula aren cair ke plastik es. Pria tambun yang berjualan es cendol itu melayani pembelinya dengan perasaan waswas. Sudah tiga hari, ia kucing-kucingan dengan petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Budi memang berjualan di Jalan Gajah Mada, Samarinda, kawasan yang terlarang bagi pedagang kaki lima.

Pada Selasa (18/5/2021), Budi yang memarkirkan “kios sepeda motor” di atas trotoar, mengaku sudah empat kali ditertibkan Satpol PP. Kendaraan dan alat dagangannya pernah disita. Pengalaman pahit itu tak membuatnya kapok. Masalahnya, ia tak punya pekerjaan lagi setelah berhenti sebagai satpam di sebuah perusahaan distributor sepeda motor. Sementara itu, kompor di dapur harus tetap menyala.

“Modal saya Rp 100 ribu sehari. Jika hasil jualan sudah sampai setengahnya, sudah untung. Bisa makan saja sudah syukur,” terang lelaki asal Pasuruan, Jawa Timur, tersebut, kepada reporter kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.

Budi merantau ke Samarinda tujuh tahun silam. Ia datang ke Bumi Etam untuk bekerja di sebuah perusahaan tambang emas. Ternyata, tambang tersebut bubar karena kehabisan biji logam emas. Budi lantas bekerja apa saja hingga terpaksa menjadi PKL. Uang yang diperolehnya pun tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan istri dan seorang anaknya yang baru lulus SMK. Untuk sewa rumah saja, katanya, perlu Rp 1,5 juta sebulan. Belum termasuk biaya anak sekolah dan makan-minum.

“Saya hidup seadanya. Saya pernah menangis karena hanya dapat Rp 20 ribu sehari. Ya, saya tahu, berjualan di sini dilarang. Tapi mau bagaimana lagi?”

PENYEBAB PKL MENJAMUR
Sebutan PKL berasal dari zaman Belanda. Sebermula dari Jakarta pada zaman Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Pada waktu itu, Raffles memerintahkan beberapa pemilik gedung di jalanan utama Batavia menyediakan trotoar selebar lima kaki (five foot way). Akan tetapi, terjadi kesalahan penerjemahan. Five foot yang seharusnya berarti ‘lima kaki’ menjadi ‘kaki lima’ dalam bahasa Melayu. Ketika trotoar sering dipakai untuk berjualan, para penjualnya kemudian disebut pedagang kaki lima.

Dalam berbagai studi, PKL yang menjamur di suatu kota adalah muara dari permasalahan perkotaan. Penyebabnya ada di hilir. Akademikus bidang ekonomi dari Institut Agama Islam Negeri Samarinda, Maisyarah Rahmi Hasan, menyebutkan beberapa faktornya. Pertama, lapangan kerja terbatas. Ketiadaan lapangan kerja memaksa seseorang menjadi PKL. Berdagang di kaki lima dipilih karena tidak terikat jam kerja, tidak perlu modal besar dan perizinan, serta bisa berpindah-pindah.

Sesaknya lapangan kerja di Samarinda tergambar dari data Dinas Ketenagakerjaan. Menurut Disnaker, pada 2021 ini, hanya tersedia 1.065 lowongan pekerjaan. Padahal, menurut Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran terbuka Samarinda mencapai 35.423 orang pada tahun yang sama.

“PKL juga jadi pilihan karena tidak mensyaratkan tingkat pendidikan. Faktanya, sarjana pun kesulitan mencari kerja,” tutur Maisyarah.

Penyebab kedua juga masih berkaitan, yakni faktor pendatang atau perantau. Sebagai ibu kota provinsi, Samarinda sering dipilih sebagai tempat untuk merantau. Akan tetapi, lapangan pekerjaan yang terbatas lagi-lagi menjadi kendala. “Sementara semua orang perlu penghasilan untuk hidup. Akhirnya, cara apapun dipakai salah satunya PKL,” ungkapnya.

Jumlah PKL yang bak cendawan di musim hujan diperparah oleh penyebab ketiga; kesadaran mematuhi aturan yang rendah. Menurut Maisyarah, hal ini disebabkan latar belakang pendidikan dan keterdesakan ekonomi. Pemerintah perlu intens menyosialisasikan aturan kepada PKL. “Bahkan, jika mungkin, memberikan bantuan permodalan,” sarannya.

Akademikus Ilmu Pemerintahan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Budiman, turut menyampaikan analisisnya. Budiman melihat pangkal dari persoalan ini adalah kebijakan pemerintah yang seharusnya menyediakan lapangan kerja. Ditambah lagi, ketaatan masyarakat terhadap peraturan daerah yang rendah karena terdesak secara ekonomi. “Implikasi negatifnya, kota kita terlihat tidak layak huni,” ucap Budiman.

Budiman mengatakan, pemerintah perlu mencari solusi. Contohnya dengan menyediakan tempat bagi PKL. Pusat Jajanan Selera Rakyat di Bontang dan Pasar Klithikan Notoharjo di Solo bisa dijadikan amsal. Dengan demikian, pemerintah tidak sekadar menyalahkan masyarakat yang tidak mematuhi perda, tetapi menghadirkan solusi pula.

Ketua Komisi IV Bidang Kesejahteraan Rakyat, DPRD Samarinda, Puji Astuti, setuju dengan pendapat dua akademikus tersebut. Dia mengatakan, persoalan PKL di Samarinda sangat kompleks. Di satu sisi, kebutuhan ekonomi sehari-hari pedagang. Di sisi lain, pedagang kerap tidak taat peraturan.

Puji mengambil contoh di Samarinda Ulu, daerah pemilihannya. Satu kelompok PKL protes karena hendak ditertibkan. Mereka meminta dicarikan solusi. Akhirnya, diperoleh kesepakatan. PKL bisa berdagang dengan syarat tidak boleh membuang sampah sembarangan dan tidak tidur di tempat berjualan.

“Sebulan dua bulan saja, setelah itu kembali seperti semula. Solusi yang dihadirkan tidak ditaati, akhirnya sekarang dibongkar,” ungkapnya.

Menurutnya, persoalan ini tidak akan selesai dalam waktu singkat. Pemerintah perlu menyediakan tempat atau lokasi bagi PKL untuk berjualan sembari menertibkan.

PELAN-PELAN DISELESAIKAN
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menjelaskan bahwa pemkot menempuh cara lunak untuk menyelesaikan persoalan PKL. Ia setuju bahwa persoalan lapangan pekerjaan menjadi pangkalnya. Akan tetapi, menciptakan lapangan kerja tidak bisa cepat. Andi Harun menguraikan, perlu pemetaan terhadap persoalan ketenagakerjaan.

“Begamatan (pelan-pelan) dulu. Satu-satu,” ucapnya, Senin (17/5/2021). Mengenai penindakan PKL, Wali Kota menilai, penggusuran dan penyitaan alat dagang adalah ultimum remidium atau cara terakhir menindak PKL. Jika memungkinkan, dia ingin cara ini kelak tidak digunakan. Cara-cara yang manusiawi, sebutnya, harus dikedepankan.

“Mau bagaimanapun, kita bisa merasakan bagaimana jika jadi pedagang. Mungkin selama ini belum diedukasi. Pemimpin tidak hanya bisa tegas tapi juga manusiawi. Kecuali semua cara sudah ditempuh dan tidak bisa, baru penegakan. Tapi kalau memungkinkan, tidak usah,” tegasnya.

Di tempat terpisah, Kepala Dinas Perdagangan Samarinda, Marnabas, mengatakan bahwa implementasi peraturan daerah dan kewenangan pihaknya hanya di pasar tradisional dan modern. “Di luar pasar itu melanggar Perda, artinya ditertibkan,” ucapnya.

Marnabas mengatakan, pemkot sudah berupaya menyediakan tempat bagi PKL seperti di Pasar Sungai Dama. Meskipun demikian, masih banyak yang berjualan di luar pasar. Dia mencontohkan fenomena ramainya penjual di Tepian Mahakam yang jelas melanggar Perda.

“Itu harusnya ditertibkan. Bayangkan kalau ada keadaan darurat seperti ambulans sementara jalan itu terganggu,” imbuhnya.

Kepala Satpol PP Samarinda, HM Darham, menambahkan, pemkot intens mengawasi maraknya PKL di Kota Tepian. Hal ini diperkuat Instruksi Ketua Satgas Covid Nomor 360/1880/300.07 yang memutuskan bahwa kawasan Tepian Mahakam harus steril pada malam hari. “Kami tegakkan. Sosialisasi selalu kami lakukan. Tetapi, rata-rata mereka sendiri yang melanggar meskipun sudah tahu,” tutupnya. (kk)

 

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti