Catatan Rizal Effendi
GUBERNUR Kaltim Dr H Isran Noor, MSi sering dalam setiap sambutan selalu membuka kata dengan masalah stunting (orang pendek atau kerdil) yang dihubungkan dengan ketinggian dirinya. Waktu meresmikan unit pelayanan kanker terpadu Rumah Sakit dr Kanujoso Djatibowo (RSKD) Balikpapan, akhir Maret lalu, sambil bercanda Gubernur menyinggung soal itu lagi.
“Nasib, namanya orang stunting,” katanya sambil menurunkan ketinggian mikrofon di depan wajahnya. “Beda dengan Direktur RSKD Pak Edy (dr Edy Iskandar) yang lebih tinggi,” tambahnya lagi mengundang senyum undangan.
Tapi, kata Pak Isran, hati-hati dengan orang stunting sambil menggambarkan jarak kepala dengan bagian tubuh yang lain, yang relatif dekat. Pak Isran mengaku dia lebih tinggi dibanding Napoleon Bonaparte yang tingginya hanya 1,58 cm dan kalah sedikit dari Vladimir Putin, yang tingginya 1,68 cm. Napoleon adalah Kaisar Prancis yang menguasai benua Eropa pada tahun 1803, sedang Vladimir Putin adalah presiden Rusia yang saat ini gencar-gencarnya menggempur negara pecahannya, Ukraina.
Tentu bukan Pak Isran saja yang tidak terlalu tinggi. Banyak pemimpin dunia termasuk Indonesia seperti itu. Misalnya ada Pak Adam Malik (Wakil Presiden RI 1978-1983) di era Presiden Soeharto atau juga Prof Dr BJ Habibie, presiden kita ke-3 yang masa jabatannya sangat pendek (1998-1999).
Tapi Pak Isran dan para pemimpin besar itu pasti bukan stunting yang saat ini jadi masalah dunia termasuk Indonesia. Sebab Pak Isran itu doktor lulusan terbaik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dengan Indeks Prestasi (IP) 3,95. Ayah 3 anak kelahiran Sangkulirang, Kutim 64 tahun silam itu, S1-nya di Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda dan S2-nya di Universitas Dr Soetomo Surabaya. Ketika menjadi bupati Kutai Timur, dia sempat menjadi ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan digadang-gadang jadi calon presiden.
Stunting yang menjadi masalah kita sekarang tentu sesuatu yang sangat mengkhawatirkan kita karena akan mengganggu tingkat kecerdasan dan keunggulan sumber daya manusia (SDM). Padahal kemajuan zaman sangat membutuhkan SDM unggul dan andal. Oleh karena itu Organisasi Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggalang semua negara termasuk Indonesia untuk mengatasi masalah stunting, meski kita juga tengah menghadapi pandemi Covid-19.
Stunting adalah masalah tumbuh kembang anak yang ditandai dengan tinggi badan anak yang rendah, sementara berat badannya mungkin normal sesuai dengan usianya. Anak dikatakan stunting bila tinggi badannya tidak bertambah signifikan sesuai dengan usianya atau bila dibandingkan dengan tinggi badan yang anak itu dapatkan saat baru lahir.
Sementara anak di bawah 5 tahun yang memiliki berat badan rendah atau sangat kurus dari usianya, itu disebut wasting. Anak menderita stunting dan wasting bila anak memiliki tubuh yang pendek/kerdil dan badannya juga sangat kurus disertai adanya gangguan perkembangan otak dan keterlambatan kemampuan anak.
Gangguan tumbuh kembang anak tersebut biasanya diakibatkan oleh gizi buruk (malnutrisi), infeksi berulang dan stimulasi atau perawatan psikososial yang tidak memadai pada anak dari 1.000 hari pertama sejak pembuahan sampai usia dua tahun.
WHO memperkirakan ada sekitar 149 juta balita yang mengalami stunting di seluruh dunia pada tahun 2020, sementara 45 juta anak lainnya diperkirakan memiliki tubuh terlalu kurus atau berat badan rendah. Sementara itu hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, angka stunting nasional mengalami penurunan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018. Sedang menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019 menjadi 27,7 persen.
KALTIM MULAI TURUN
Baris berita (news ticker) di salah satu televisi Sabtu kemarin menyebutkan Kaltim berupaya keras menurunkan angka stunting. Itu sebabnya saya jadi teringat ucapan Gubernur Isran, yang sering menggambarkan dirinya termasuk kelompok stunting.
Anggota DPR RI Komisi IX Hasnah Syam ketika berkunjung ke Kaltim, Oktober tahun lalu mengingatkan bahwa angka stunting di Kaltim masih kelewat tinggi, yaitu 26 persen. Padahal WHO menetapkan standar maksimal 20 persen. WHO menyatakan standar level indeks keparahan stunting disebut krisis jika angkanya lebih atau sama dengan 15 persen. Karena itu, Kementerian Kesehatan menargetkan angka stunting di Kaltim bisa diturunkan sampai 14 persen di tahun 2024.
Wagub Kaltim Hadi Mulyadi selaku ketua Tim Percepatan Penurunan Stunting Kaltim mengakui angka yang disorot wakil rakyat tersebut. “Tapi saya optimis tahun 2022 bisa turun sepanjang kita semua dari berbagai lintas sektor dan masyarakat mau bahu membahu mengatasi masalah ini dengan berbagai aksi dan program,” katanya.
Dalam penanggulangan stunting, kata Hadi, peran sektor kesehatan hanya 30 persen, sedangkan 70 persennya harus melibatkan sektor pangan, pertanian, permukiman, agama, pendidikan serta sektor lainnya. Itu semua saling terkait dan harus bekerja keras dan saling sinerji.
Menurut Hadi, kasus stunting di Kaltim tahun 2021 sudah turun menjadi 22,8 persen dibanding tahun 2019 yang tercatat 28,09. Ini artinya sudah lebih bagus karena di bawah angka nasional. Ada empat kabupaten/kota yang memiliki rerata lebih rendah dari rata-rata provinsi, yaitu Kabupaten Kutai Barat, Kota Balikpapan, Kabupaten Mahakam Ulu, dan Kota Samarinda. Sementara 6 kabupaten/kota lainnya, Kutai Timur, PPU, Kukar, Paser, Bontang, dan Berau belum memberikan kontribusi positif atas persentase stunting di Kaltim.
Yang perlu diperhatikan juga, angka stunting di masa pandemi Covid-19 ada kecenderungan meningkat. Itu diakui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan dr Andi Sri Juliarty yang akrab disapa dr Dio. Dikatakan, jumlah anak berusia 0 – 5 tahun yang terindikasi stunting mencapai 13 persen dari 56 ribu orang. Jumlah itu lebih tinggi dari angka sebelum Covid yang hanya berkisar 4-5 persen.
Angka stunting naik di masa pandemi memang sangat beralasan. Hampir semua orang termasuk petugas kesehatan fokus mengatasi wabah tersebut selain adanya pembatasan. Sehingga beberapa kegiatan yang bisa menurunkan kasus stunting jadi terbatas, seperti Germas serta layanan kesehatan dan gizi di Posyandu.
Guru besar Fisip Unmul Prof Dr Harihanto, MS mengingatkan agar kasus stunting di Kaltim segera dituntaskan sebelum pelaksanaan pemindahan IKN ke daerah ini. “Kalau tidak SDM kita tidak bisa bersaing dengan pendatang yang juga mengincar peluang di IKN,” kata Harihanto, yang juga ketua Koalisi Kependudukan Kaltim dalam seminar 100 Profesor Bicara Stunting, beberapa waktu lalu.
Seorang ibu yang anaknya berusia 3 tahun terindikasi stunting mengakui sejak hamil asupan gizinya memang terbatas. “Suami saya kena PHK gara-gara Covid,” kata warga Balikpapan Barat ini. Belum lagi dapat pekerjaan tetap, kondisi ekonominya makin parah dengan kenaikan harga bahan pokok pada saat ini. “Saya pusing bagaimana memperbaiki gizi anak saya,” katanya mengeluh. (**)