SAMARINDA – Perut Haji Suriansyah mulai keroncongan selepas menunaikan salat asar. Mengenakan kaus biru lengan panjang dan peci putih, pengusaha Samarinda berusia 47 tahun tersebut mampir di sebuah rombong bakso di tepi Jalan Merdeka, Sungai Pinang Dalam. Mangkuk pesanannya sedang disiapkan ketika Haji Suriansyah menatap wajah penjual yang murung. Ia pun menanyakan gerangan masalah apa yang menyebabkan pedagang kaki lima itu bermuram durja.
Pada Kamis, 5 Agustus 2021, pukul empat sore, Haji Suriansyah mendengarkan keluh-kesah pedagang dengan sabar. Kepadanya, penjual bakso itu bercerita bahwa sejak kebijakan PPKM level IV diterapkan di Samarinda, pembeli makin sepi.
“Saya berjualan dari pukul sembilan pagi, masih banyak yang tersisa. Padahal, cuma boleh berjualan sampai jam sembilan malam,” kata si penjual seperti ditirukan Haji Sasa, panggilan pendek Suriansyah, kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.
Haji Sasa masih mendengarkan penuturan penjual ketika bakso di depannya ludes. Setelah menghabiskan minuman dingin, ia mengambil seikat uang di kantong belakang celana hitamnya. Haji Sasa kemudian menanyakan total dagangan yang biasa dijual dalam satu hari. Penjual bakso itu menjawab, “Sekitar Rp 2 jutaan.”
Tanpa basa-basi, Haji Sasa membayar bakso yang disantapnya, plus Rp 2 juta untuk membeli seluruh dagangan. Haji Sasa kemudian mendatangi 49 penjual makanan yang lain di Jalan Merdeka, Jalan Biawan, Jalan Arief Rahman Hakim, dan Jalan Ahmad Dahlan. Dagangan para penjual itu diborong semua. Tidak sampai dua jam pada Kamis sore itu, Haji Sasa menghabiskan sekitar Rp 50 juta. Rata-rata penjual mengaku harga seluruh dagangan Rp 1 juta.
“Saya hanya ingin berbagi kepada sesama. Masa PPKM ini, banyak yang kesulitan terutama para pedagang makanan,” tuturnya ketika diwawancara kaltimkece.id di kediamannya di Jalan Damanhuri, Kecamatan Sungai Pinang Dalam.
Memborong jualan pedagang kecil sudah rutin dilakukan Haji Sasa tiga bulan belakangan. Ia tak pernah menghitung jumlah uang yang sudah dikeluarkan. Akan tetapi, jika dikira-kira, Haji Sasa mengaku sekitar Rp 1 miliar.
“Sekitar segitu, lah. Itu tidak ada ruginya. Justru kita harus berbagi kepada mereka yang kesulitan,” sambungnya.
Haji Sasa besar dari keluarga sederhana. Ayahnya, Mansyur bin Taman, seorang tukang yang bekerja mendirikan rumah. Ibunya, Tuah binti Kastawi, bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Masa kecil Haji Sasa dilewati dalam kehidupan yang pas-pasan, bahkan kekurangan. Ia harus putus sekolah di bangku SMP pada 1980-an. Ketika berusia 16 tahun, ibunya meminta ia bekerja sebagai kuli bangunan untuk membantu paman. Empat tahun kemudian, pada 1994, ia sudah menjadi tukang sebelum akhirnya menjadi pemborong bangunan (kontraktor skala kecil) pada 1997.
Kehidupan susah terus menggelayuti perjalanan Haji Sasa. Dunia properti yang ia geluti selama 11 tahun ternyata gagal. Haji Sasa terlilit utang ratusan juta rupiah. Hartanya habis. Jangankan rumah, sepeda motor pun tak punya. Ia pun hidup menggembel di kawasan Citra Niaga. Orang-orang yang dia kenal, kenang Haji Sasa, satu per satu meninggalkannya.
“Saya didatangi preman yang menagih utang. Waktu itu, saya sudah tidak punya apa-apa. Tidak punya siapa-siapa,” tuturnya. Saking putus asa, ia sempat berpikir untuk bunuh diri dari lantai atas sebuah hotel di Samarinda.
Awal titik balik kehidupan Haji Sasa terjadi 12 tahun silam di Pelabuhan Samarinda. Ia bertemu seorang pria yang baru dikenalnya. Haji Sasa kemudian menceritakan semua kesusahan hidupnya.
“Orang itu meminta saya pulang, cuci kaki kedua orangtua, dan minta ampun. Saya juga diminta mengubah perilaku dan kata-kata,” ungkapnya. Suriansyah yang sudah putus harapan mengikuti perintah lelaki itu. Setelah bertemu kedua orangtua, Haji Sasa mengaku, kehidupannya mulai berubah.
Pada awal 2010, Haji Sasa mendapatkan sejumlah uang dari bisnis jual-beli tanah. Uang itu ia pakai sebagai modal untuk kembali berusaha di bidang properti. Pelan tapi pasti, Haji Sasa membangun rumah demi rumah kemudian menjualnya. Begitu modal yang terkumpul makin banyak, ia memutuskan membangun perumahan.
Haji Sasa membangun tiga perumahan di Jalan PM Noor, di Kecamatan Palaran, dan di dekat Perumahan Bengkuring. Ketiganya selesai dibangun pada 2012. Keberhasilan di bisnis properti ini membuatnya merambah ke bisnis yang lain; pertambangan batu bara. Haji Sasa membangun beberapa perusahaan pertambangan.
Hari ini, 12 tahun sejak ia berniat bunuh diri, Haji Sasa bukan hanya mampu melunasi utang-utangnya. Ia telah menjadi saudagar yang sukses di Kota Tepian. “Mukjizat itu nyata. Allah memiliki cara-cara indah atas hidup yang saya jalani ini,” tuturnya.
Kekayaan yang diperoleh Haji Sasa tidak membuatnya lupa daratan. Pada 2020, ia membangun Yayasan Peduli Sesama Mansyur Tuah. Nama yayasan itu diambil dari nama kedua orangtuanya. Lembaga amal ini digunakan untuk berbagi kepada kaum dhuafa. Yayasan ini disebut menyekolahkan anak yatim piatu serta membangun masjid dan pondok pesantren di Kaltim dan Jawa.
“Alhamdulillah, saya diberi kesempatan membantu di banyak tempat. Mulai membangun masjid hingga turun langsung memberi bantuan bencana gempa di Palu dan banjir di Banjarmasin kemarin,” ucapnya.
Yayasan ini berdiri di Gang Ogok, Jalan Damanhuri, tak jauh dari kediamannya. Yayasan Mansyur Tuah juga menjadi tempat penampungan lansia dan orang-orang terlantar. Haji Sasa mengatakan, ada 30 orang yang tinggal di sana. Sebelumnya, rumah penampungan itu adalah milik almarhum ibunya.
“Rumah ini dulu saya bangun untuk beliau. Baru ditempati delapan bulan, ibu saya wafat,” imbuhnya.
Haji Sasa menambahkan, lembaga amal didirikan sebagai wujud kerinduan kepada sang ibu yang meninggal pada akhir 2019. Yayasan tersebut adalah pengingat bagi dirinya untuk selalu rendah hati dan berbagi kepada sesama. (kk)