SAMARINDA – Dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi Indonesia minus. Pada kuartal II (April-Juni) 2020, ekonomi negara turun 5,32 persen. Sementara itu, pada kuartal III (Juli-September) 2020, produk domestik bruto (PDB) minus 3,49 persen. Dengan demikian, Indonesia telah resmi menyandang status resesi ekonomi.
Negatifnya ekonomi nasional selaras dengan kondisi Kaltim. Pada kuartal III 2020, sebagaimana siaran resmi Badan Pusat Statistik Kaltim, ekonomi Bumi Etam turun 4,61 persen dibanding kuartal III 2019 (year on year/yoy). Ekonomi provinsi pada triwulan III tidak banyak membaik jika dibanding kuartal II 2020 yang minus 5,46 persen. Secara quarter to quarter (q to q), produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim hanya tumbuh 2,39 persen.
Apabila ditelaah lebih dalam, sektor pertambangan batu bara masih memegang peranan besar dalam pembentukan PDRB Kaltim. Sektor pertambangan dan penggalian punya andil 38,90 persen dalam membentuk PDRB Kaltim. Pada kuartal II 2020, lapangan usaha ini terjungkal amat dalam karena turun 6,31 persen dibanding kuartal I (q to q). Sektor tersebut masih jauh dari kata bangkit pada kuartal III karena hanya tumbuh 1,53 persen dibanding kuartal II (q to q).
Itulah sebabnya, ekonomi Kaltim yang turun 4,61 persen (yoy) tadi paling banyak disumbang sektor pertambangan dan penggalian. Andil lapangan usaha itu negatif 3,22 persen atau setara 69 persen dari total penurunan PDRB (yoy). PDRB dari sektor ini pada triwulan II 2020 sebesar Rp 54,23 triliun dan hanya naik menjadi Rp 55,06 triliun pada kuartal III 2020 (q to q). Angka tersebut masih sangat jauh dibanding kuartal II 2019 sebesar Rp 59,01 triliun.
Dari angka-angka yang disiarkan BPS, akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar, pesimistis ekonomi Kaltim segera terkerek. Menurutnya, pertumbuhan 2,39 persen (q to q) terlihat lebih menyerupai kurva “W” ketimbang “U”. Ekonomi Kaltim mulai naik akan tetapi bukan awal kebangkitan karena masih berpeluang jatuh lagi. Berbeda dengan kurva “U” ketika kenaikan kecil setelah melorot tajam adalah tanda-tanda perekonomian akan terus membaik.
“Masalahnya sudah jelas. Fondasi ekonomi Kaltim lemah karena sangat bergantung ekspor batu bara,” terangnya. Gerak Kaltim sebagai pemilik sumber daya alam justru ditentukan harga batu bara global. Dengan kata lain, kata dosen yang akrab disapa Codi ini, daerah penghasil batu bara sama sekali tidak lincah. “Kondisi serupa juga berlaku untuk sawit yang harganya ditentukan secara global,” sambung dia.
Codi menilai, kelesuan ekonomi ini bisa menjadi kronis. Situasi pasar dunia, jika masih mengandalkan ekspor batu bara, tidak akan membaik setidaknya sampai semester I 2021. Negara tujuan utama ekspor seperti Tiongkok dan India masih akan sibuk menyudahi pandemi Covid-19. Di samping itu, kedua negara tersebut sudah mulai mengurangi impor dengan meningkatkan produksi batu bara dalam negeri. “Tanpa menciptakan fondasi ekonomi baru selain batu bara, mustahil menyembuhkan ekonomi Kaltim yang kronis itu,” terangnya.
Kekronisan yang dimaksud Codi bisa berdampak buruk. Resesi jelas akan mengurangi lapangan kerja, investasi, sekaligus keuntungan perusahaan. Apabila berkepanjangan, resesi bisa melahirkan depresi ekonomi. Negara yang menderita depresi ekonomi akan mengalami kebangkrutan ekonomi sebagaimana Indonesia pada 1998 (Ekonomi Makro, 2020, hlm 90).
Untuk mengenyahkan kondisi terburuk itu, Codi menyarankan, Kaltim segera berbenah. Inilah waktu yang tepat untuk menghentikan persepsi bahwa Kaltim adalah daerah kaya sumber daya alam. Faktanya, kata dia, kekayaan tersebut justru menyebabkan ekonomi provinsi rapuh. Kebergantungan tinggi Kaltim terhadap industri ekstraktif menimbulkan banyak perkara.
“Artinya, ‘pembualan’ –dalam tanda kutip– kita sebagai daerah kaya SDA sudah tidak laku lagi. Waktunya menyamakan persepsi. Kaltim memerlukan aktivitas ekonomi yang mampu memberi nilai tambah dari SDA-nya,” ingat alumnus Georgia State University, Amerika Serikat, tersebut.
Krisis sekarang yang menimpa Kaltim, kata Codi, adalah sebuah keniscayaan. Bagaimanapun, SDA tak terbarukan suatu saat akan habis. Pandemi Covid-19-lah yang membawa kondisi itu lebih cepat dari seharusnya.
“Jadi, tidak ada lagi teriakan aktivis lingkungan yang tidak dihiraukan. Tidak ada lagi teriakan dari para akademikus yang memberi masukan untuk kebergantungan SDA yang tidak dipedulikan. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan transformasi ekonomi,” imbuhnya.
Pemerintah daerah sebagai regulator di wilayah masing-masing punya peran besar dalam transformasi ekonomi. Transformasi yang sudah dirancang Kaltim sejak 10 tahun lalu harus diselesaikan. Hilirisasi industri untuk SDA Kaltim adalah tujuan jangka menengah yang mesti dikerjakan sedari sekarang.
Sementara untuk meningkatkan roda ekonomi jangka pendek, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah pilihan yang paling masuk akal. Codi mengatakan, kondisi riil sekarang ini adalah roda produksi di Kaltim sudah turun sampai 60 persen termasuk UMKM. Padahal, sektor informal ini paling banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan industri besar seperti pertambangan batu bara.
Banyak yang bisa pemerintah perbuat. Sebagai contoh, memfasilitasi UMKM agar punya akses ke perbankan. Pelaku UMKM juga tidak perlu menunggu upaya pemerintah. Codi menyarankan, UMKM bisa mengambil strategi integrasi seperti ke sektor pertanian. Industri hilir dari sektor pertanian oleh UMKM akan memberi nilai tambah dengan melihat kebutuhan pasar antar-pulau.
“Di sinilah pemerintah harus berperan seperti melindungi petani dari tengkulak dan membantu mencarikan pasar bagi produk-produk UMKM,” tambahnya.
Perdagangan antar-pulau adalah potensi besar pada masa pandemi. Perdagangan di dalam negara ini, menurut konsepnya, disebut deglobalisasi. Antonim dari globalisasi ini adalah upaya mengorientasi-ulang perekonomian dari yang menekankan produksi untuk ekspor kepada produksi pasar lokal (Deglobalization: Ideas for a New World Economy, 2002). Strategi degloblalisasi telah dipakai Amerika Serikat, Tiongkok, dan India selama pandemi. Strategi yang terbukti berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut.
“Pemerintah punya kemampuan untuk itu. Bupati, misalnya, punya pemerintahan desa yang terhubung langsung dengan petani dan UMKM,” terangnya. Sementara itu, para pelaku UMKM bisa menerapkan strategi sosial kolektif. Strategi tersebut berupa kerja sama antar-UMKM yang bertujuan mengurangi tekanan modal serta memperkecil risiko kegagalan bisnis.
“Tanpa menyelesaikan transformasi dan mendorong produksi UMKM, kelesuan ekonomi Kaltim akan semakin kronis,” tutupnya. (fel/kk)