DI tengah proses pembelajaran secara daring, muncullah fenomena learning loss dalam pendidikan. The Education and Development Forum (2020) mengatakan bahwa fenomena learning loss adalah situasi di mana peserta didik kehilangan pengetahuan dan keterampilan baik umum atau khusus atau kemunduran secara akademis. Yang terjadi karena kesenjangan yang berkepanjangan atau ketidakberlangsungannya proses pendidikan.
Sedangkan menurut Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menjelaskan learning loss merupakan fenomena dalam pembelajaran yang tidak mencapai hasil optimal sehingga menyebabkan hilangnya kompetensi dasar yang seharusnya. Dalam konferensi pers yang di akun YouTube Kemendikbud pada Jumat (7/8/2020) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, fenomena learning loss akan mudah terjadi pada anak-anak usia dini, karena anak-anak membutuhkan pembelajaran secara langsung.
Yap, saat ini learning loss menjadi isu yang hangat dibicarakan dewasa ini. Penurunan kemampuan belajar adalah definisi yang bisa kita sematkan ke dalam istilah tersebut. Seluruh dunia yang terdampak pandemi Covid-19 menutup sekolahnya dan melakukan aktivitas kegiatan belajar mengajarnya melalui kelas maya.
Beragam persoalan yang mendera dunia pendidikan kita, terutama setelah munculnya pandemi Covid-19. Wabah yang menjalar di seluruh dunia ini, berdampak hebat bagi proses berlangsungnya pendidikan.
Bahkan menurut Reszky Fajarmahendra Riadi MPd dalam buku terbarunya Learning Loss di Indonesia; Serta Alternatif Solusi Pemecahannya (Penerbit Irfani, 2021), menyebutkan bahwa terdapat 1,6 miliar anak-anak yang harus bersekolah melalui kelas maya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut dia, penutupan sekolah dan mengalihkan sekolah berbasis jaringan internet telah memaksa seluruh komponen pendidikan berlari untuk menjawab tantangan pendidikan dalam menggunakan teknologi informasi. Inilah yang tampak dialami dunia pendidikan kita dewasa ini.
Tak hanya semangat belajar yang menurun, tingkat stres pada peserta didik naik, dan angka putus sekolah yang meningkat. Hal ini, tentunya menjadi masalah serius dalam keberlangsungan pembelajaran, terutama dalam pelaksanaan PJJ alias pembelajaran jarak jauh.
Dengan realitas pendidikan yang demikian muram, perlu kiranya ada upaya-upaya metodologis, strategis, dan taktis dalam mengurai persoalan tersebut. Tentu saja, dalam hal ini segenap elemen bangsa, mulai dari masyarakat, tenaga kependidikan, guru, hingga Kemendikbud (sekarang Kemendikburistek) untuk bisa membuka mata melihat kenyataan ini. Tidak hanya melek, tapi juga berusaha menghadirkan solusinya.
Lalu bagaimanakah dengan pendidikan usia dini ? Yap, pendidikan usai dini sejatinya tidak ada kata libur. Stimulasi terhadap anak usia dini harus tetap dilakukan. Meskipun di tengah pandemi Covid-19. Karena bila anak usia dini alami learning loss, mereka juga akan mengalami loss stimulating. Jadi ada tahapan yang tidak terpenuhi. Ini yang jadi pijakan pada perkembangan selanjutnya.
PERAN STRATEGIS ORANGTUA/KELUARGA
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) di bawah bimbingan guru PAUD kemudian dilanjutkan oleh orang tua di rumah dilakukan daring atau online. Sehingga anak usia dini haruslah tetap mendapat stimulasi yang bermakna. Orang tua dan keluarga perannya 60 persen dalam mendidik anak. Sementara, lingkungan dan sekolah masing-masing 20 persen, memang idealnya terus bersinergi, kemitraan antara orang tua dan sekolah harus kian erat. Karena tujuannya sama, berupaya mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Membentuk generasi unggul, berkualitas, dan berkarakter baik yang tak hanya dibebankan kepada sekolah tapi pada peran keluarga yang menjadi sangat urgen di masa pandemic seperti sekarang ini.
Menururt Kepala Bidang PAUD dan Dikmas, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Surakarta Galuh Murya Widawati, menegaskan perlunya pendidik juga orangtua harus tahu golden time anak usia dini. Yakni antara pukul 07.00-10.00 dan 15.00-17.00. inilah saat yang tepat untuk membentuk karakter dan perilaku, meski pandemi terus berlangsung.
Sehingga bila anak tidak terdidik hal bermakna di masa golden time, sangatlah merugi. Semisal dibiarkan tidur pada jam efektif tersebut. Mungkin saat ini belum ada dampaknya. Tapi akan dirasakan saat dewasa nanti.
Fenomena learning loss tentu bisa saja terjadi, namun bisa juga kita hindari. Salah satu ajaran yang terkenal dari sang bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara adalah “Setiap orang menjadi guru setiap rumah menjadi sekolah”.
Seharusnya, ketika pendidikan yang biasanya berlangsung secara tatap muka kemudian berubah menjadi daring, sudah tidak menjadikan kekhawatiran bagi orang tua. Karena sejatinya pendidikan yang pertama adalah dalam keluarga. Namun, banyak orang tua yang mengeluh dengan adanya pembelajaran daring saat ini. Seperti Tanoto Foundation ungkapkan terkait pembelajaran daring dalam surveinya. Terdapat tiga masalah utama orang tua mendampingi anak belajar daring.
Pertama, orang tua kurang sabar dan jenuh menangani kemampuan dan konsentrasi anak. Kedua, orang tua kesulitan menjelaskan materi pelajaran ke anak. Ketiga, orang tua kesulitan memahami materi pelajaran anak.
Ketiga masalah di atas sudah cukup mewakili perasaan para orang tua ketika mendampingi anak-anaknya. Kendati peran serta orang tua dalam pembelajaran di era saat ini sangatlah penting. Terutama ketika pembelajaran daring agar tidak terjadi learning loss.
Seyogyanya, keluarga memang haruslah sebagai lingkungan terkecil mestinya mengupayakan lingkungan rumah yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi anak, terkhusus anak usia dini. Ayah dan Ibu harus memahami tahap-tahap perkembangan anak dan cara-cara menstimulasinya, meski pandemi terus berlangsung peran ini sangat penting sekali, dan akan menjadi ringan apabila bersinergi dengan sekolah anak usia dini. (**)
Catatan oleh : Muthi’ Masfu’ah, A.Md, CN. NLP
(Direktur Pelaksana Harian Yayasan RK Salsabila, Penulis dan Koordinator Abi Literasi Kaltim)