SAMARINDA – Tren membaiknya harga batu bara dunia dimulai sejak awal November 2020. Setelah sebelumnya berkutat di angka USD 60-an per ton, harga emas hitam telah menyentuh USD 91 per ton pada 13 Januari 2021. Sampai Maret ini, harga batu bara tetap prima dengan USD 87 per ton.
Meskipun telah berjalan lima bulan, harga batu bara yang tinggi diperkirakan tidak bertahan lama. Sejumlah analisis memperkirakan, nilai komoditas tersebut masih amat rentan di pasar dunia. Ketidakstabilan tersebut menyebabkan perusahaan pertambangan batu bara di Kaltim berhati-hati meningkatkan kapasitas produksi.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, menjelaskan penyebab fenomena ini. Kenaikan harga batu bara dunia dalam lima bulan terakhir disebabkan sejumlah faktor. Pertama, negara tujuan ekspor terbesar batu bara Indonesia adalah Tiongkok. Permintaan batu bara pada akhir tahun meningkat karena musim dingin di Tiongkok sangat ekstrem. Sebagaimana tahun-tahun terdahulu, konsumsi energi termasuk batu bara meningkat pada musim dingin. Listrik diperlukan buat menyalakan penghangat ruangan.
Di samping itu, Tiongkok baru saja merayakan Imlek. Sama seperti Idulfitri di Indonesia, Tahun Baru China berarti libur panjang. Sejumlah tambang di Tiongkok yang tidak beroperasi menyebabkan stok batu bara mereka berkurang. Pasokan tersebut ditutupi melalui impor dari Indonesia.
“Maka berlakulah hukum penawaran dan permintaan. Ketika permintaan batu bara tinggi, sementara stok terbatas, harga pasti naik,” kata Tutuk kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.
Dari kedua faktor penyebab kenaikan harga batu bara tersebut, Tutuk menilai bahwa tingginya permintaan sekarang tidak bertahan lama. Setelah musim dingin (biasanya pada Desember hingga Maret) berakhir dan tambang Tiongkok kembali aktif, pasokan emas hitam dunia kembali normal. Harganya pun bisa kembali ke titik yang lebih rendah.
“Sifatnya temporary. Hanya sementara,” terang Tutuk. Lagi pula, komoditas mentah seperti batu bara dan minyak bumi cenderung fluktuatif di pasar dunia. Dalam waktu singkat harga naik tiba-tiba, di waktu yang lain juga terjun bebas dengan cepat.
Akademikus dari Fakultas Ekonomi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Hairul Anwar, berpendapat bahwa kenaikan harga batu bara adalah siklus alami. Sejak keterpurukan industri ini pada 2016, harga batu bara cenderung naik pada musim dingin. Tidak ada yang luar biasa dari fenomena ini.
Berdasarkan catatan ICE Newcastle Coal, satu di antara bursa yang menentukan harga batu bara dunia, kecenderungan tersebut bisa dilihat. Pada musim dingin 2020-2021, rerata harga emas hitam adalah USD 79,8 per ton. Sementara itu, pada 2019-2020 rata-ratanya USD 72,33; pada 2018-2019 sebesar USD 88,44 dan pada 2017-2018 seesar USD 81,47. Rerata harga tersebut lebih tinggi dibanding sepanjang musim panas yang jatuh Juni hingga Agustus.
Pada musim panas 2020, harga rata-rata batu bara hanya USD 60,97 per ton, pada 2019 adalah USD 79,28, pada 2018 sebesar USD 88,94, dan pada musim panas 2017 hanya USD 69,05. Musim panas 2018 yang tinggi dapat dikecualikan karena harga batu bara sepanjang tahun itu memang tinggi.
“Harga yang sedang baik sekarang hanya sementara karena belum ada sentimen positif pasar untuk jangka panjang,” ulas Hairul dari Unmul. Sentimen positif yang dimaksud adalah perbaikan ekonomi global yang babak belur dihajar pandemi Covid-19. Bahwa harapan mulai nampak setelah program vaksinasi, Hairul menilai, belum ada kepastian waktu pandemi usai.
Corporate Communication Manager PT Berau Coal, Arif Hadianto, setuju dengan analisis di atas. Menurutnya, harga batu bara pada awal 2021 memang membaik dibanding tahun lalu karena didorong musim dingin di negara tujuan ekspor. Akan tetapi, perusahaan melihat bahwa harga tersebut masih fluktuatif.
“Untuk itu, perusahaan tambang tetap mengambil langkah tepat dan efektif agar mendapat manfaat dari kenaikan harga sekarang,” terangnya.
Menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono, Tiongkok telah membuat perencanaan energinya untuk lima tahun mendatang. Sepanjang itu, impor batu bara Tiongkok cenderung turun. Faktor ini bisa menyebabkan permintaan batu bara dunia berkurang yang berarti harga sukar terdongkrak.
“Perusahaan besar seperti PKP2B tentu melihat jangka panjang. Mereka tidak akan mengambil risiko menambah kapasitas produksi. Contohnya, tidak menambah manpower (tenaga kerja), alat berat, maupun angkutan batu bara di tengah kenaikan harga yang sementara ini,” jelas Tutuk.
Berbeda dengan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), pertambangan skala izin usaha pertambangan (IUP) yang lebih kecil bisa mengambil strategi berbeda. Kenaikan harga batu bara saat ini bisa dimanfaatkan dengan menambah kapasitas produksi. Menurut Tutuk, kemungkinan itu muncul karena produksi perusahaan pemegang IUP lebih kecil. Sumber daya untuk operasi juga tidak sebesar PKP2B.
“IUP jadi lebih fleksibel. Bisa meningkatkan produksi dalam waktu cepat untuk merespons perbaikan harga dunia,” terangnya.
Pengamat ekonomi yang lain, masih dari Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi, setuju jika perusahaan PKP2B di Kaltim masih berhati-hati. Menurutnya, menaikkan kapasitas produksi di perusahaan besar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Produksi PKP2B di Kaltim saat ini disebut hanya berfokus untuk memenuhi kontrak. Pasokan “eceran” yang mengikuti harga dunia masih sulit diikuti karena penuh ketidakpastian.
“Musim dingin adalah ‘peak season’ permintaan batu bara. Jika harga membaik, itu siklus biasa,” terangnya. Kehati-hatian perusahaan besar dalam merekrut tenaga kerja maupun menambah peralatan produksi juga dipengaruhi business plan masing-masing. Rencana bisnis ini disusun berdasarkan analisis panjang, termasuk pengaruh krisis 2016 dan pandemi 2020. Kedua peristiwa tersebut meninggalkan trauma di bisnis pertambangan. “Makanya, tidak semudah membalikkan telapak tangan,” kuncinya. (kk)
Artikel kaltimkece.id, jejaring mediaklatim.com