SAMARINDA Harga batu bara sempat melambung tinggi. Kenaikan ini menyebabkan ekspor emas hitam dari Kaltim melonjak tajam. Di samping itu, situasi ini juga membuat lingkungan dilaporkan rusak dan angka konflik masyarakat dengan pertambangan meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, nilai ekspor semua jenis komoditas dari Bumi Etam pada November 2021 mencapai USD 2,96 miliar. Jumlah tersebut naik 1,17 persen dari ekspor pada Oktober 2021.
“Dibandingkan dengan November 2020, naik 144,55 persen,” kata Koordinator Fungsi Statistik Distribusi dari BPS Kaltim, Wembri Suska, Senin, 3 Januari 2022.
Secara kumulatif, sepanjang Januari sampai November 2021, nilai ekspor komoditas Kaltim berkisar USD 21,45 miliar. Angka itu juga naik 85 persen bila dibandingkan periode yang sama pada 2020. Dari USD 21,45 miliar itu, disokong dari sektor migas sebesar 6,62 persen dan nonmigas 93,38 persen.
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa sektor nonmigas memiliki peran yang sangat besar dalam menyokong ekonomi Kaltim. Mereka menjadi pengekspor tertinggi. Struktur ekonomi ini nyaris tak pernah berubah selama satu dekade belakangan.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kaltim, Tutuk SH Cahyono menyebutkan, salah satu komoditas yang paling banyak diekspor adalah batu bara. Penyebabnya karena harga emas hitam pada 2021 melambung tinggi. Selain itu karena kebijakan pemerintah memberikan pajak 0 persen terhadap komoditas ini.
“Sudah diketahui, ekonomi Kaltim ditopang batu bara karena ekspornya tinggi,” kata Tutuk kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Selasa, 4 Januari 2022.
Sebagaimana tercatat di bursa ICE Newcastle, harga batu bara selalu naik dari Juni sampai Oktober 2021. Persisnya, Juni senilai USD 115,25 per ton, Juli USD 143 per ton, Agustus USD 152 per ton, September USD 181 per ton, dan Oktober USD 221 per ton. Harga pada Oktober itu disebut menjadi rekor tertinggi. Harga batu bara mulai turun pada November 2021 yakni USD 153,98 per ton.
“Harga batu bara itu terdongkrak karena terjadi pemulihan ekonomi dunia. Kemudian karena industri Cina membutuhkan stok batu bara,” jelas Tutuk.
Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Samarinda, Eko Priyatno, tak menampik bahwa batu bara lebih banyak dikirim ke luar negeri ketimbang memenuhi kebutuhan domestik. Alasannya karena harga batu bara di luar negeri lebih tinggi dibandingkan harga dalam negeri.
“Utamanya, (pengekspor batu bara terbesar adalah) perusahaan besar dengan kontrak panjang. Kalau yang (perusahaan) kecil, biasanya menyuplai dalam negeri,” terang Eko Priyatno kepada media ini.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim, Pradarma Rupang, menyebut, selain karena harga tinggi dan kebijakan pajak 0 persen, UU Mineral dan Batubara yang disahkan pada 2020 turut memberi andil terjadinya ekspor batu bara besar-besaran. Beleid itu disebut mempermudah penjualan batu bara ke negeri orang. Akan tetapi, Jatam punya catatan hitam di balik semua kemudahan ini.
“Harga tinggi, regulasi dipermudah, pajak nol persen, jelas, lubang tambang semakin banyak. Lingkungan pun rusak,” ungkap Rupang.
Selain itu, angka konflik masyarakat dengan pertambangan juga dilaporkan naik. Rupang menyebutkan dua jenis konflik yang paling umum terjadi. Pertama, perebutan lahan masyarakat dengan perusahaan tambang atau industri. Yang kedua, maraknya kasus tambang ilegal. “Tambang ilegal menjadi listing konflik tertinggi tahun lalu,” sebutnya.
Jatam Kaltim telah melaporkan sedikitnya 4 kasus tambang ilegal ke penegak hukum. Dua kasus di antaranya berada di Kukar, satu di Berau, dan sisanya di Muang Dalam (Samarinda). Jumlah ini disebut meningkat dibandingkan 2020. Saat itu, hanya ada dua kasus tambangan ilegal.
“Itu baru tambang ilegal. Belum lagi perusakan lingkungan seperti di Sungai Santan,” beber Rupang.
Oleh karenanya, dia menyayangkan, peningkatan harga yang membuat ekspor batu bara meningkat tapi tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang maksimal. Kasus tambang ilegal di Muang Dalam, contohnya, pelakunya hingga saat ini dikabarkan belum ditangkap. Kasus tambang ilegal di Balikpapan hampir sama, hanya menangkap pekerjanya saja, tapi aktor utama seperti pemilik modal tidak diproses.
“Ini membuktikan, konflik ini dirawat, dan penegak hukum tidak serius menanganinya,” jelas Rupang.
Dikonfirmasi kaltimkece.id secara terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat, Kepolisian Daerah Kaltim, Komisaris Besar Polisi Yusuf Sutejo, membantah jika polisi disebut tidak menindak tambang ilegal. Sampai saat ini, kepolisian dipastikan masih berupaya menangani penambangan tanpa izin atau peti di Kaltim. Hanya saja, dia mengakui, tidak mudah menindak peti.
“Kalau dibilang lambat, itu karena semua butuh proses. Kendalanya terkait barang bukti seperti berkas perkara,” jelas Yusuf Sutejo. Kendala lainnya, tambah dia, karena Polda Kaltim tidak hanya memproses peti tapi juga kasus kriminal yang lain seperti narkoba. Ia pun memastikan, Polda Kaltim tetap berkomitmen menindak tambang ilegal. (kk)