JAKARTA – Sebulan konflik Israel-Palestina mendidih, sejumlah gerakan ditunjukkan dunia sebagai respons rasa peduli mereka di Gaza.
Sebagai pendukung Palestina, mereka secara nyata melakukan boikot pada produk Israel atau gerakannya dikenal secara global sebagai BDS (Boikot, Divestasi, Sanksi).
Gerakan itu sempat dipertanyakan apakah berpengaruh bagi agresi Israel zionis di tanah konflik, namun yang jelas ekonomi mereka ambruk gegara dunia kompak tak membeli produk-produk yang masuk dalam list boikot.
Di Indonesia sendiri, produk dan jenama yang diduga terafiliasi dengan Israel memang sepi pengunjung. Meski beberapa brand itu sudah menegaskan tak lagi ada hubungan dengan Israel dan dibeli putus oleh perusahaan induk di Indonesia, nyatanya publik kebanyakan teguh memblok membeli di sana.
Melansir Al Jazeera, ada dugaan laporan nilai kerugian terbaru yang diderita negeri Yahudi. Merujuk pada laporan Al Jazeera pada 2018 lalu saja mengungkapkan bahwa gerakan boikot berpotensi menimbulkan kerugian hingga US$ 11,5 miliar atau sekitar Rp 180,48 triliun (asumsi kurs Rp15.694/US$) per tahun bagi Israel.
Dengan kematian warga sipil Palestina yang mencapai puluhan ribu di 2023 ini sejak serangan milisi Hamas pada 7 Oktober lalu, maka bisa dipastikan bahwa Israel semakin buntung. Apalagi aksi boikot ini secara global dilakukan secara masif di penjuru dunia.
Meski otoritas Israel mengancam bahwa gerakan boikot ini malah juga akan merugikan Palestina, publik sepertinya masih akan terus kompak melakukan hal ini.
Di sisi lain, melansir CNBC yang mengutip The Jerussalem Post, organisasi non-profit berbasis di Washington, AS Brookings Institution, mengatakan gerakan BDS tidak akan secara drastis mempengaruhi perekonomian Israel.
Sebab, sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediet” atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor.
Kurang-lebih 50% dari ekspor Israel adalah barang ‘diferensiasi’ atau barang yang tidak dapat digantikan, macam chip komputer.
Namun, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa ekspor barang-barang “intermediet” mengalami penurunan tajam dari 2014 hingga 2016 sehingga menimbulkan kerugian sekitar US$ 6 miliar atau sekitar Rp 94,16 triliun.
Sebagai perbandingan di tahun 2018, 2016, dan 2014 itu, maka 2023 ini bisa dipastikan memang ekonomi Israel cukup kena pengaruh dari aksi dunia. (kmb/MK)