Bumm… Dua ledakan keras terdengar jelang magrib itu. Suara cukup memekakkan telinga itu bukan berasal dari bom yang meledak, atau suara dinamit untuk membuat lubang tambang. Tapi dari suara leduman, begitu warga Kecamatan Muara Muntai menyebutnya.
Leduman sejenis meriam yang dibuat menggunakan batang pohon kayu, yang biasa dibuat warga Desa Jantur, Desa Jantur Baru dan Desa Jantur Selatan. Leduman menandakan bulan suci Ramadan sudah di depan mata. Gunanya, bukan untuk membuat kegaduhan. Tapi penanda memasuki waktu maghrib dan saatnya untuk berbuka puasa.
“Leduman itu dibuat setiap tahun,” ujar Abdul Aziz, Kades Jantur bercerita. Tak heran warga desa antusias membuat “Meriam” leduman. Jauh-jauh hari mereka mulai mencari-cari bahan yang diperlukan, untuk membuat dua unit leduman. Bahan utamanya, batang pohon kayu berukuran besar dan kuat. Pemilihan kayu jenis itu bertujuan agar suara ledakan yang muncul lebih garang.
Cara pembuatannya pun tergolong sederhana. Pohon kayu dibelah menjadi dua, kemudian disatukan kembali menggunakan drum besi. Dengan bergotong-royong sekitar 15 orang, dalam waktu sepekan, dua unit leduman siap menunjukkan pesonanya. Dengan bantuan patungan dana yang diperoleh secara sukarela dari masyarakat.
“Leduman dibunyikan lima menit sebelum azan maghrib, bahan meledakannya menggunakan karbit dan disulut api,” jelas Abdul Azis.
Merunut kebelakang, rupanya tradisi membuat leduman sebagai penanda waktu buka puasa sudah ada sejak tahun 1950. Saat ketiga desa itu masih menjadi satu, atau sebelum dimekarkan. Saat itu dipimpin Muhammad Samran sebagai kepala kampung.
Soal suara leduman, Aziz berani memastikan bukan kaleng-kaleng. Suara leduman yang diletakkan di pelataran Masjid Jami Jantur Selatan, diklaim terdengar tidak hanya oleh warga tiga desa itu saja, tapi hingga ke Desa Penyinggahan di Kutai Barat (Kubar).
“Satu (leduman) menghadap hulu, satunya menghadap hilir, jadi ada dua leduman,” jelasnya.
Salah satu penyuluh agama di Desa Jantur Selatan, Muhriadi mengatakan, paling bagus menggunakan batang pohon kayu nangka air. Karena kayunya sangat kuat dan bagus untuk dijadikan leduman.
Batang kayu awalnya dibelah dua, untuk diukir kemudian disatukan lagi menggunakan plat besi dari drum bekas. Dengan masing-masing panjang leduman, sekitar 9 meter dengan lebar rata-rata 50-60 sentimeter.
“Dinyalakan sampir akhir ramadan, sejauh tidak pecah. Tapi selama ini selalu sampai akhir ramadan,” kata Muhriadi.
Masing-masing leduman dikatakan Muhriadi hanya dinyalakan sekali. Karena tujuannya hanya untuk mengingatkan waktu berbuka puasa. “Dinyalakan ketika azan, 5 menit sebelumnya disiapkan untuk mengisi karbit ke dalam leduman,” tutup Muhriadi. (afi)