BONTANG – Sejumlah Dosen Universitas Trunaja (Unijaya) Bontang yang tergabung dalam Tim Penyelesaian Hak Dosen (TPHD), buka suara soal permasalahan honor yang tak kunjung dibayarkan sejak tahun 2019. Menurut mereka, tunggakan gaji yang belum dibayar mencapai Rp 1,4 miliar.
Hal tersebut dibeberkan saat menggelar konferensi pers di Pendopo Rumah Jabatan Wali Kota Bontang, Jalan Awang Long, Bontang Baru, Bontang Utara, Jumat (1/10/2021). Dosen yang juga juru bicara TPHD, Lilik Rukitasari mengungkapkan, terjadinya tunggakan honor dosen diduga akibat tata kelola manajemen Yayasan Pendidikan Miliana yang berantakan.
“Kita harus tahu hulunya darimana. Persoalan honor tertunggak hanya hilir. Kami hanya meminta untuk memperbaiki tata kelola keuangan yang selama ini berantakan dan tidak transparan,” ungkap Lilik Rukitasari.
Dalam kesempatan tersebut, Lilik membenarkan adanya perjanjian kesepakatan antara pihak yayasan dan dosen tertangga 5 Juni 2021. Didalamnya menyebutkan, pihak yayasan harus membayar/menyicil honor yang tertunggak sampai 30 September 2021. Namun hanya sebagian kecil dosen yang menerima haknya. “Beberapa dosen ada yang sudah dicicil honornya. Namun tidak semua merasakan cicilan tersebut,” sambung Sekretaris TPHD Unijaya Cintya Ayu Rishanty.
Karena dinilai tak ada itikad baik dari pihak kampus untuk menyelesaikan persoalan ini, akhirnya berimbas terhadap honor yang tertunggak dan nasib perkuliahan para mahasiswa. “Kami sudah menunggu itikad baik kampus, tapi kami tidak kunjung dihubungi. Dan untuk soal mogok mengajar, kami belum terpikirkan untuk melakukan hal tersebut. Karena itu kehendak dari masing-masing dosen,” lanjut Cintya Ayu Rishanty.
Para dosen yang tergabung dalam TPHD, lanjut Cintya, sangat menyayangkan sikap oknum dosen Fakultas Ekonomi terhadap mahasiswa yang belakangan ini tengah viral di media sosial. Hal tersebut dikatakan tak patut dilakukan terhadap mahasiswa sendiri dan sangat mencoreng nama kampus. “Sikapnya terhadap mahasiswa yang kini viral di medsos itu salah satu hal yang membuat nama kampus bisa tercoreng,” katanya.
Terlebih universitas adalah laboratorium ilmu pengetahuan. Tempat para kaum intelektual, terdidik. “Tindakan arogansi dan kekerasan tidak sepantasnya ada di lingkungan pendidikan Unijaya,” tegas dosen Fakultas Hukum ini.
Atas dasar kejadian ini, para dosen mengeluarkan petisi agar rektorat dan yayasan memecat dosen HV, yang diketahui menjabat dekan Fakultas Ekonomi. Baik dari posisinya sebagai dekan, maupun dosen.
Sebelumnya, Rektor Unijaya Bilher Hutahaen telah mengklarifikasi terkait aksi mahasiswa yang tengah viral di media sosial. Menurut Bilher, tuntutan yang diajukan mahasiswa telah sepenuhnya dijawab dalam surat nomor 238/UNIJAYA-Btg/IX/2021 tertanggal 20 September 2021.
“Sudah dijawab beserta alasannya kemarin dalam surat. Tapi malah mahasiswa demo dan meminta saya untuk menandatangani surat perjanjian. Jelas saya menolak dan mengajak untuk diskusi bersama,” kata Bilher saat ditemui awak media di Kampus Trunajaya Bontang, Rabu (29/9/2021).
Sementara Pembina Yayasan Miliana Chelly Amalia Shianifar menyebut, pihaknya tetap akan bertanggung jawab atas persoalan honor dosen. “Dosen adalah aset buat kami. Saya tetap bertanggung jawab atas pembayaran honornya karena itu memang hak mereka (dosen),” kata Chelly, Jumat (01/10/2021) sore dikutip dari kitamudamedia.
Disebutkan, walau baru separuh, pihaknya terus berupaya untuk membayar tunggakan. “Selama ini kami tidak diam. Membayar dengan mencicil, sembari berjalan. Jika mahasiswa membayar SPP, kami akan bagi (bayar) dosen. Kondisi seperti ini (Covid-19) ‘kan memang sulit,” ungkapnya.
Terkait kemungkinan pemberhentian HV sebagai dosen atau dekan, Chelly belum bisa berkomentar karena harus dibicarakan dengan seluruh anggota yayasan. “Kami harus kumpulkan dulu orang-orang di yayasan, tidak bisa satu pihak,” tegasnya.
Namun Chelly mengatakan, reaksi HV dalam menghadapi aksi demo BEM berlebihan. Sebagai pembina yayasan, dia memastikan siap menghadapi persoalan yang tengah membelit Unijaya. “Semua masalah pasti ada jalannya, saya akan hadapi,” pungkasnya. (ahr/red2)