spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Gadget Bisa Jadi Pemicu, Belajar dari Kasus Percobaan Bunuh Diri Siswi SMK Samarinda

SAMARINDA -Sorang siswi SMK di Samarinda melakukan percobaan bunuh diri, Kamis siang, 17 Maret 2022, sekira pukul 14.00 Wita. Perempuan berusia 17 tahun itu nekat terjun bebas dari Jembatan Mahakam I ke Sungai Mahakam. Nyawanya terselamatkan setelah sejumlah pemancing datang memberikan bantuan.

Ajun Inspektur Polisi Dua Dedik Tetra, personel Satuan Lalu Lintas, Kepolisian Resor Kota Samarinda, adalah orang yang ikut membantu menyelamatkan korban. Awalnya, pada siang itu, ia dan koleganya, Brigadir Polisi Satu Datu Noven, tengah berada di pos lalu lintas di dekat Jembatan Mahakam I.

Seorang pengendara kemudian datang ke pos dan melaporkan adanya seorang perempuan berseragam sekolah loncat dari jembatan tersebut. Aiptu Dedik Tetra dan Briptu Datu Noven bergegas mendatangi lokasi yang di maksud.

“Saat kami tiba di jembatan, perempuan yang dimaksud sudah tidak ada. Hanya ada sepasang sandal di jembatan,” kata Aiptu Dedik Tetra kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.

Aiptu Dedik Tetra dan Briptu Datu Noven kemudian mengecek permukaan Sungai Mahakam. Ia melihat beberapa pemancing dari atas perahu memberikan isyarat telah menyelamatkan seorang perempuan yang loncat dari jembatan. Aiptu Dedik meminta para pemancing segera menepikan perahunya.

“Saat di tepi sungai, kondisi anak perempuan itu sempat tak sadarkan diri. Kami bawa ke rumah sakit terdekat dengan mobil patroli,” urai Aiptu Dedik.

Ketika perempuan tersebut siuman, polisi menggali informasi. Dari keterangan yang didapatkan polisi, korban berusia 17 tahun. Ia masih sekolah di salah satu SMK di Samarinda. Ia nekat mau bunuh diri karena depresi menghadapi masalah keluarga. Namun tak dijelaskan masalah yang dihadapinya.

“Ketika orang tuanya di rumah sakit, orang tua mengatakan, anaknya ini pamit jalan menggunakan kendaraan online namun tidak membawa ponsel,” beber Aiptu Dedik.

Berdasarkan data InfoDATIN, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, jumlah kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800 ribu kematian per tahun atau satu kematian setiap 40 detik. Sebanyak 79 persen di antaranya terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah.

Organisiasi Kesehatan Dunia (WHO) Global Health Estimates mencatat, estimasi jumlah kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia adalah 793 ribu kematian pada tahun 2016. Angka tersebut setara 10,6 kematian per 100 ribu penduduk atau satu kasus bunuh diri per 40 detik. Bunuh diri merupakan penyebab dari 1,4 persen kematian di seluruh dunia dan menempati ranking ke-18 sebagai penyebab kematian terbanyak. Kasus bunuh diri tertinggi ada di Eropa dan Asia Tenggara.

Psikolog dari Samarinda, Ayunda Ramadhani, membagi dua kategori penyebab bunuh diri yakni internal dan eksternal. Internal adalah masalah kesehatan korban. Biasanya, masalah ini karena faktor biologis. Misalnya, orang tua memiliki kelainan mental. Masalah tersebut berpotensi besar menular ke anaknya.

“Contoh kasus yang paling banyak adalah depresi,” kata dosen Program Studi Psikologi, Universitas Mulawarman. Berdasarkan berbagai penelitian, beber Ayunda, faktor depresi paling banyak menimbulkan ide bunuh diri. Kelompok remaja, terutama perempuan, menjadi yang paling rentan karena emosionalnya masih labil.

“Kalau sudah stres, paling cepat muncul ide bunuh diri. Apalagi jika tidak diimbangi dengan pengetahuan memecahkan permasalahan yang menimbulkan stres,” bebernya.

Selain masalah kesehatan, tambah perempuan berhijab ini, perasaan kesepian juga paling banyak menjadi penyebab bunuh diri remaja. Kecandungan gadget bisa menjadi pemicunya. Individu yang menggunakan gadget menjadikan budaya individualistik. Hal ini membuat seseorang merasa tidak ada keterhubungan dengan orang lain sehingga merasa kesepian dan menyebabkan perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang itu seperti mengonsumsi narkotika.

Ayunda menyarankan, orang tua sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada anak-anak. Pendekatan bisa seperti mengikuti akun media sosial sang anak. Mengingat, remaja yang merasa kesepian, biasanya mencurahkan isi hati di media sosial. Tanpa pengawasan, membuat unggahan di media sosial bisa memicu masalah karena bisa dikomentari negatif.

“Orang tua sebaiknya buka dialog. Posisikan sebagai teman diskusi. Jika anak tertutup, ajak mengobrol terkait apa yang terjadi hari ini. Ciptakan iklim berdialog yang nyaman dalam keluarga,” ujarnya.

“Jika anak sudah merasa nyaman, nantinya dia akan tahu kepada siapa akan bercerita ketika punya masalah. Dari situ, anak akan merasa didengarkan, dilibatkan, dan diperhatikan.” (kk)

16.4k Pengikut
Mengikuti