spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Fenomena Air Bangai yang Tidak Biasa di Sungai Mahakam, Tak Hanya Pingsan, Puluhan Ikan Mati Tiap Hari di Keramba 

TENGGARONG – Firasat Budiman mulai tidak enak sejak sepekan silam. Waktu itu, pemuda 24 tahun yang tinggal di Kelurahan Mangkurawang, Kecamatan Tenggarong, Kutai Kartanegara, tersebut, baru saja memeriksa keramba ikan di sebelah rumahnya. Keramba milik Budiman tidak besar, hanya 2 meter x 2,5 meter. Ia memelihara ratusan ikan nila di situ.

Kamis, 3 Juni 2021, Budiman merasa ada yang aneh dengan perilaku ikan nila yang ia budi dayakan. “Jukut-jukut (ikan-ikan) itu ndik (tidak) mau makan,” kisah Budiman kepada kaltimkece.id, Rabu, 9 Juni 2021. Setelah itu, satu per satu ikan nila itu mati, bersamaan dengan kondisi air Sungai Mahakam yang mulai bangai.

Keadaan semakin memburuk. Hari demi hari dilewati Budiman dengan menemukan ikan mati di keramba. Ia mengatakan, total 300 ikan dengan rata-rata 50 ikan mati setiap hari. Ia menghitung, merugi sekitar Rp 3 juta dengan harga jual ikan nila Rp 27 ribu per kilogram. Selain Budiman, kaltimkece.id telah menerima sejumlah laporan matinya ikan secara massal di keramba yang lain di Kukar. Diperkirakan, jumlah ikan yang mati mencapai ribuan.

Lebih ke hilir Sungai Mahakam, suasana yang berbeda ditemukan di Samarinda. Etoy adalah lelaki 30 tahun yang begitu girang mengayunkan jaring kecil dengan tangan kirinya. Dari turap di Jalan RE Martadinata, Etoy berhasil mengumpulkan 14 kilogram udang galah dan ikan patin di Sungai Mahakam. Seluruhnya diperoleh Etoy bersama empat kawannya sejak Selasa hingga Rabu.

“Kalau air bangai begini, ikan-ikan mabuk sehingga mudah ditangkap,” tutur warga Jalan Merdeka, Sungai Pinang Dalam, yang menjadi nelayan dadakan di tepi Mahakam.

FENOMENA BANGAI
Bangai diambil dari tuturan Banjar. Sementara dalam bahasa Kutai, fenomena ini disebut bangar. Keadaan bangai terbentuk ketika kadar oksigen di dalam air menyusut secara drastis. Kadar oksigen, dalam ilmu kimia, diukur melalui metode kelarutan oksigen atawa dissolved oxygen (jumlah miligram oksigen yang terlarut dalam 1 liter air). Secara fisik, air bangai biasanya berwarna cokelat kemerahan, lebih asam, dan berbau menyengat.

Akademikus dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman, Samarinda, Prof Esti Handayani Hardi, memberikan pendapatnya. Dalam kondisi normal, fenomena bangai tidak menyebabkan kematian massal ikan. Ikan di dalam perairan yang kekurangan oksigen biasanya hanya megap-megap, seperti mabuk, dan berenang tepat di bawah permukaan air.

Bangai yang “normal” seperti ini disebabkan perbedaan antara suhu permukaan dan suhu di dasar sungai. Selisih suhu tersebut biasanya dipicu perubahan iklim sungai. Perbedaan suhu ini menyebabkan kadar oksigen dalam permukaan air berkurang. Akan tetapi, Esti menduga, bangai yang melanda Sungai Mahakam sejak 7 Juni 2021 berbeda dari yang biasanya. Ikan-ikan mati secara bertahap.

“Kondisi bangai yang sampai menyebabkan ikan mati secara massal disebabkan bukan hanya penyusutan kadar oksigen, ada perubahan tingkat keasaman sungai yang ekstrem,” terang guru besar termuda di Unmul ini. Saat dihubungi kaltimkece.id, Prof Esti sedang meneliti peristiwa bangai di Kecamatan Loa Kulu, Kukar. Dari temuan sementara, Prof Esti mengatakan, kadar oksigen atau dissolved oxygen yang diukur di beberapa titik hanya 0,5 sampai 0,7 ppm (part per million atau bagian per juta). Padahal, normalnya kadar oksigen sekitar 3 ppm. “Itulah yang menyebabkan ikan megap-megap hingga mati. Bahkan, indukan pun mati,” terangnya.

Prof Esti memaparkan, tingkat keasaman atau pH sungai yang terganggu menimbulkan ketidakseimbangan kadar karbondioksida atau CO2. Normalnya, pH di perairan tawar Indonesia antara 6,0 hingga 8,5. Saat bangai, kadar pH air bisa lebih asam (di bawah 6) atau sangat basa (di atas 9). Perubahan tingkat keasaman air yang instan menyebabkan kematian massal ikan.  “Keadaan bangai ini semakin sering terjadi (di Sungai Mahakam) dan semakin parah,” sambungnya.

Dugaan tersebut bukan tanpa dasar. Prof Esti telah meneliti tambak budi daya ikan di Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Sejumlah ikan di tambak mati karena perubahan tingkat keasaman tersebut. Mati karena perubahan pH nampak dari budi daya ikan mas. Ikan tersebut sangat sensitif terhadap perubahan tingkat keasaman.

[irp posts=”16056″ name=”Bukan Bangai Biasa di Sungai Mahakam, Banyak Ikan Mati”]

BAGAIMANA BANGAI MUNCUL?
Aktivis dan pegiat sungai di Samarinda, Yustinus Sapto Hardjanto, menjelaskan proses terbentuknya air bangai dengan lebih terperinci. Bangai adalah fenomena khas di ekosistem lahan basah. Fenomena ini muncul pada masa pancaroba atau peralihan musim seperti permulaan awal musim hujan atau musim panas.

Setelah musim panas yang panjang, debit air sungai biasanya menyusut. Ketika hujan deras turun tiba-tiba saat kemarau, air hujan terperangkap di cekungan yang terpisah dari badan sungai. Air tersebut berpotensi terkontaminasi bahan organik dengan kadar asam yang tinggi. Ketika musim hujan datang, air yang bangai itu meluber ke sungai.

Bangai juga disebabkan aktivitas pembusukan material organik yang meningkat di dalam sungai. Material organik yang dimaksud Yustinus seperti rumput, tumbuhan, hingga sampah rumah tangga dan limbah industri. Bahan organik tersebut meningkat jumlahnya di dalam sungai setelah musim panas berakhir. Bisa karena terbawa aliran air hujan, bisa juga dari tetumbuhan di dekat badan sungai yang mati selama kemarau. Di aliran sungai, material organik akan mengalami pembusukan yang melibatkan mikroba dalam jumlah besar. Kehadiran mikroba tersebut akan menghabiskan oksigen.

“Bangai sebenarnya fenomena alami tetapi bisa diperparah kondisi dan sanitasi lingkungan,” kata Yustinus. Dia menambahkan, bangai juga bisa terjadi karena tingginya sedimentasi di dalam air, dikenal dengan istilah total padatan tersuspensi (total suspended solid). Tingginya sedimentasi bukan hanya mengurangi asupan sinar matahari oleh air tetapi ikut menurunkan kadar oksigen.

Ikan dan udang yang diambil dari air sungai yang bangai tidak berbahaya dikonsumsi manusia. Yustinus mengatakan, biota sungai itu mabuk bukan karena keracunan melainkan kesulitan bernapas. Akan tetapi, Yus sepakat dengan pernyataan Prof Esti. Apabila terjadi kematian biota secara massal, air bangai berpotensi mengancam keberlangsungan ekologi sungai.

Mengenal Silvofishery, Metode Menyelamatkan Delta Mahakam yang Hampir Lenyap karena Tambak Udang. “Ikan sungai memang tidak kuat (menghadapi asam). Lebih-lebih ikan di keramba yang tidak bisa lari mencari air yang lebih segar,” jelasnya. (kk)

 

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti