Paling tidak setahun atau dua tahun lalu, PT. Indominco Mandiri mencetak paving block dari abu hasil pembakaran batu bara di pembangkit listriknya. Banyak lembaga sosial yang mendapatkan paving block tersebut dan digunakan untuk berbagai keperluan, terutama untuk pembuatan lapangan parkir, jalan lingkungan dan lain sebagainya.
Belakangan, masyarakat yang membutuhkan tidak bisa lagi memperoleh karena perusahaan batu bara yang berlokasi di kabupaten Kutai Timur ini telah menghentikan produksi dari bahan limbah tersebut. Pasalnya, Fly Ash dan Botton Ash (FABA) yang berasal dari hasil pembakaran batu bara di PLTU, boiler, dianggap berbahaya karena limbah tersebut mengandung berbagai bahan berbahaya dan beracun.
Sekarang, FABA telah dihapus oleh pemerintah dari daftar bahan berbahaya atau B3 melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai turunan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Kebijakan ini telah menimbulkan berbagai keritikan dari berbagai kalangan, utamanya dari lembaga pemerhati lingkungan.
PERLU PENGAWASAN
Salah satu alasan dicoretnya FABA dari daftar B3 karena bahan kimia yang terkandung di dalam batu bara khususnya karbon telah mengalami pembakaran pada suhu tinggi yang menggunakan “pulverize coal” sehingga menurut kementerian KLHK, karbon yang tidak terbakar menjadi minimum dan lebih stabil.
Tentu tidak bisa digeneralisasi, terutama jika industri PLTU berada di sekitar wilayah pemukiman. Pada kasus ini bukan bahan kimianya yang dikhawatirkan, namun partikel debunya yang terbang ke wilayah domisili penduduk, berbahaya jika terhisap kedalam saluran pernapasan dan mengensi organ tubuh lainnya.
Kita yakin, pemerintah akan cermat menerapkan aturan ini sehingga tidak begitu saja memberikan keleluasaan kepada perusahaan tambang batubara untuk melepas limbah FABA-nya dimanfaatkan oleh masyarakat semisal untuk timbunan jalan, conblock dan lain sebagainya. Secara berkala limbah tersebut tetap perlu di periksa di laboratorium untuk menjamin bahwa limbah tersebut tetap aman.
MERINGANKAN PENGUSAHA
Dicabutnya FABA dari daftar limbah B3 pasti lebih meringankan beban pengusaha yang selama ini harus mengangkut dan mengolah limbah FABA-nya. Data dari Assosiasi Pengusaha Batubara menunjukkan bahwa industri batubara mengeluarkan dana Rp 50 miliar hingga Rp 2 trilun per tahun, sehingga terbitnya PP 22 tahun 2021 dianggap sebagai keberhasilan pengusaha batu bara mendekati pemerintah. Sebagai pembanding, mereka gunakan beberapa negara di luar Indonesia seperti Inggeris yang juga sudah lebih longgar menelola limbah batu bara-nya.
MANFAATKAN UNTUK MASYARAKAT
Sekali lagi, kita berprasangka baik kepada pemerintah yang melakukan kebijakan ini tidak sekadar menguntungkan pengusaha, namun setidaknya jangan menimbulkan mudharat untuk masyarakat.
Hasil pemeriksaan limbah FABA hendaknya bisa di akses oleh masyarakat sehingga mereka akan merasa lebih aman dan tenang jika mendapatkan bantuan limbah FABA baik dalam bentuk mentah maupun dalam bentuk olahan. Yang jelas, dengan dibolehkannya limbah hasil pembakaran batu bara pada pembangkit listrik, masyarakat pasti terbantu karena bisa memanfaatkan limbah tersebut untuk berbagai keperluan.
Sekali lagi, pengawasan tetap diprioritaskan sehingga deteksi dini bisa dilakukan jika terjadi hal yang tidak diinginkan, karena kata pakar lingkungan, dampak buruk pencemaran, tidak seperti orang makan cabai yang begitu di makan langsung terasa pedasnya, namun dampak pencemaran lingkungan bisa terjadi beberapa tahun kemudian. (**)
Oleh: dr H Andi Sofyan Hasdam SpS