spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Evaluasi Kapasitas Saluran Drainase Kota Samarinda

Sunarto Sastrowardojo, Sekretaris Forum Socio Engineering Nusantara

Samarinda merupakan bagian dari Iku Kota Nusantara yang pasti akan berkembang cepat sebagai kawasan penyangga IKN.

Dinamika aktivitas perkotaan yang terjadi di Samarinda melibatkan perubahan penggunaan lahan dari lahan alami menuju lahan terbangun. Lahan terbangun yang kedap air akan mempengaruhi siklus hidrologi yang ada. Lahan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi dan perkolasi pada tanah sehingga air lebih banyak ditransformasikan menjadi limpasan permukaan (Nagle dan Spencer, 1997).

Samarinda adalah Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur yang digebrak oleh walikotanya dan bermetamorfosa jadi Kota Pusat Peradaban, wilayah permukiman di perkotaan dengan kondisi bangunan yang sangat padat dan hampir seluruh wilayahnya merupakan lahan terbangun.

Padatnya permukiman kota ini dicirikan pula dengan banyaknya bangunan rumah dan gedung bertingkat karena keterbatasan lahan yang tersedia. Sungai Karang Mumus yang melintasi kampung besar ini bahkan sudah mengalami penyempitan tubuh sungai akibat kebutuhan akan lahan dan pemanfaatan secara liar. Drainase menuju sungai juga banyak yang telah beralih fungsi sebagai pembuangan limbah berupa sampah.

Kondisi yang demikian mengakibatkan timbulnya genangan air yang muncul ketika hujan, baik karena kapasitas drainase yang kurang memadai, maupun sebagai dampak luapan aliran sungai.   Kondisi saluran drainase yang telah mengalami dinamika dan perubahan fungsi ini menyebabkan terjadinya banjir genangan ketika hujan terjadi dengan intensitas tinggi. Masalah genangan ini harus diatasi untuk perbaikan kualitas lingkungan permukiman padat di perkotaan ini.

Ketika diskusi dengan beberapa pakar perkotaan di Samarinda, saya cukup keras mengatakan membangun Samarinda butuh niat politik. Samamrinda perlu melakukan evaluasi kapasitas saluran drainase, berdasarkan analisis curah hujan menggunakan data yang terkini. Debit banjir maksimum, dan kapasitas maksimum saluran.

Logika berfikir mudahnya begini, maksud saya. Curah hujan dengan kapasitas tertentu di beberapa kawasan Kota Peradaban Kaltim ini tidak ditampung di saluran dan kawasan resapan air yang dibuat Tuhan. Itu pertama.

Kedua drainase Samarinda tidak berfungsi dengan baik. Mahasiswa Universitas Widya Gama Samarinda tahun 2018 lalu pernah mengadakan penelitian, 67,21 persen drainase Kota Samarinda tidak berfungsi. Entah tulisan angka tidak berfungsi ini berapa kali saya ungkap dalam berbagai pertemuan bahkan artikel di media cetak tapi tidak ada yang merespon.

Penelitian anak anak UWGM empat tahun lalu itu menyimpulkan jika seluruh drainage di Kota Samarinda direvitalisasi akan mengurangi genagangan air dan meningkatkan kapasitas drainage hingga 47, 61 persen.

Persoalan banjir cukup ditangani dengan dialog politik masyarakat. Selebihnya nalar teknokrasi yang menyelesaikan persoalan krusial Samarinda dengan kerja terukut tersrtrukstur

Mengurus drainage kota sulit. Rasanya tidak. Apalagi jika memang berniat menyelesaikan banjir. Saya hampir yakin kerja sistimatis, terukut terstruktur tidak dilakukan di Samarinda, teruama dalam menjawab pertanyaan soal banjir.

Saya pernah ngulik data di instansi yang harusnya melakukan itu, faktanya tidak ada. Padahal waktu itu saya hanya ingin memperoleh data data hujan harian maksimum rata-rata dari besar ke kecil yang dibuat sebagai jawaban pemerintah jika suatu saat masyarakat cukup cerdas mempertanyakan itu.

Menentukan parameter statistik dari data yang telah diurutkan dari kecil ke besar itu akan menentukan jenis distribusi yang sesuai berdasarkan parameter statistik yang ada.

Menyelesaikan banjir adalah persoalan matematis ditambah niat politik. Bahkan menghitung  curah  hujan  rancangan  menjadi  intensitas  curah  hujan  menggunakan Mononobe  itu bukan persoalan baru di Samarinda, tapi tidak dilakukan.

Data BPS hingga BMKG bahkan gratis dan bisa diperoleh dengan mudah melalui internet. Menghitung intensitas hujan dan membandingkan dengan kapasitas drainage kota ini yang jadi teramat penting.

Kapasitas saluran sangat mudah dihitung. Penampang melintang saluran pada lokasi penampang yang ditentukan. Kapasitas saluran diukur pada setiap titik yang mewakili masing-masing daerah tangkapan air.

Kapasitas didapatkan dengan cara perkalian luas penampang saluran dengan kecepatan. Kecepatan setiap penampang dihitung  berdasarkan rumus Manning.  Kemiringan permukaan aliran Setelah didapatkan besarnya kecepatan saluran, nilai tersebut dikalikan dengan luasan penampang saluran.

Saya ingin mengulang lagi untuk, entah, yang keberapa kalinya mengataan ini: Kota Samarinda memiliki permasalahan hidrologis yang cukup serius. Disamping luapan Karang Mumus, Karang Asam Besar, Sungai Sambutan, Sungai Lempake dan Simpang Pasir yang seringkali mengalami luapan intensitas akibat curah hujan tinggi. Belum lagi genangan di jalan raya akibat buruknya infrastruktur jalan dan jembatan. Setidaknya pemerintah Kota Samarinda memiliki piranti monitoring banjir yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam. (***)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti