spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Emak-Emak Mandi Minyak Goreng

Catatan Rizal Effendi

BEBERAPA hari lagi emak-emak tak perlu antre minyak goreng (migor). Migor bakal berlimpah ruah. Ibaratnya emak-emak mau mandi migor juga bisa. Bayangkan atas keputusan Presiden Jokowi yang diucapkan di Istana tak lebih satu menit atau tepatnya 42 detik, Jumat (22/4) lalu, maka seluruh produksi CPO (crude palm oil) Indonesia tidak boleh lagi ada yang diekspor, semuanya diolah untuk kebutuhan dalam negeri. Artinya, bahan baku pabrik migor itu sungguh berlimpah-limpah. Keputusan ini mulai berlaku Kamis nanti, 28 April 2022 dengan masa berlaku yang belum ditentukan.

Selama ini produksi CPO kita sekitar 50 juta ton per tahun. Sebanyak 18 juta dipakai untuk kebutuhan domestik yang terbagi 10 juta untuk campuran BBM dalam rangka program biodiesel, satu juta untuk keperluan berbagai industri turunan (downstreamproducts) dan 7 jutanya lagi untuk bahan baku minyak goreng. Jadi sisanya sekitar 32 juta ton dijual ke luar alias ekspor ke luar negeri.

Nah, gara-gara emak-emak antre berbulan-bulan dan bahkan sampai ada 2 orang yang meninggal dunia di Kaltim, kemudian ada 1 dirjen dan 3 pengusaha migor jadi tersangka, Presiden Jokowi gusar dan akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas yang disebut Pak Dahlan Iskan “keputusan sapujagat” dengan menyetop sama sekali ekspor CPO dan migor ke negara lain dengan durasi waktu yang belum ditentukan lamanya.

Dengan keputusan yang luar biasa itu, ada beberapa catatan yang kita bisa ikuti dari beragam ulasan dan komentar di berbagai media. Sebagian memang memuji keberanian Jokowi mengeluarkan jurus maut ini. Karena Presiden bosan melihat sendiri keluhan emak-emak di lapangan. Sudah diberi BLT Migor juga tidak menyelesaikan masalah.

Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) tidak jalan. Pak Menteri Perdagangan juga sudah keok dan jadi bulan-bulanan, ya sudah potong kompas habisi ekspor CPO kita. Niscaya tak ada lagi alasan kekurangan bahan baku. Bayangkan kalau 32 juta ton itu semuanya digelontor ke dalam negeri, sampai di pelosok mana pun ada migor berlimpah ruah. Harganya pun dapat dikendalikan lagi sesuai dengan harapan rakyat.

Antrean warga membeli minyak goreng beberapa waktu lalu di Sangatta Kutai Timur. (Ramlah/Media Kaltim)

Sementara itu ada juga yang mencermati dan masih menyimpan tanda tanya besar bagaimana kesudahan episode ini. Ada kesan “keputusan sapujagat” itu, ibarat membunuh seekor tikus, tapi seluruh gudang yang dibakar. Jadi tidak sepenuhnya efektif. Seperti memencet balon. Sebab ada dampak lain yang juga bisa terjadi sangat luar biasa, yang bisa sangat merugikan berbagai pihak termasuk Negara.
Catatannya sebagai berikut :

Pertama, tidak mungkin yang 32 juta ton itu dipakai semuanya untuk kebutuhan dalam negeri, karena demand yang ada tidak sebanyak itu. Nah, kalau tidak dipakai sebanyak itu, maka produsen dipastikan menurunkan produksi. Dampak lanjutannya kemungkinan ada pabrik yang tutup atau dikurangi produksinya, maka ada kemungkinan lagi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) atau setidak-tidaknya merumahkan sementara pekerjanya.

Kedua, karena ada penurunan produksi, maka juga berimbas pada suplai kebutuhan sawitnya. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2020, luas total perkebunan kelapa sawit kita mencapai 16,38 juta hektare. Sekitar 53% dikelola oleh perusahaan perkebunan besar, 6% dikelola oleh perusahaan perkebunan negara (BUMN) dan sisanya 41% milik petani kelapa sawit termasuk petani sawit swadaya.

Sedangkan jumlah petani kelapa sawit Indonesia diperkirakan 2,67 juta kepala keluarga (KK). Berkaitan dengan penurunan produksi CPO, bisa jadi pengusaha migor sementara ini hanya memakai produksi sawit dari kebun sendiri. Kecuali pabrik migor yang tidak punya kebun, baru menyerap milik petani.

Kalau ini yang terjadi, maka akan muncul pemandangan yang paradoks. Sementara emak-emak sudah bisa tersenyum karena banjir migor, akan tetapi petani kelapa sawit menangis menjerit-jerit. Harapan Lebaran tahun ini adalah Lebaran yang paling ceria bakal berubah menjadi duka nestapa. Petani dihadapkan pada situasi yang serba salah, buah sawit harus dipanen kalau sudah waktunya. Kalau tidak akan merusak kebun dan buah busuk. Padahal kalau dipanen, harganya lagi terjun bebas. Itu pun belum tentu ada yang mau membeli. Karena produsen migor cukup menggunakan bahan bakunya dari kebun sendiri. Jadi sawit dari petani bakal merana dan bergelimpangan.

Ketiga, penderitaan petani akan datang bertubi-tubi. Biasanya mereka sudah terutang harga pupuk dan upah tenaga pemelihara atau pemetik. Belum lagi kalau sudah mengambil atau ngutang barang-barang konsumtif menjelang Lebaran karena tadinya membayangkan uang berlimpah didapat karena harga sawit dunia lagi naik-naiknya luar biasa. Tapi faktanya mereka kecele.

Keempat, keuangan negara juga terpukul. Negara bisa kehilangan devisa yang nilainya tidak tanggung-tanggung. Pada tahun 2021, devisa yang dihasilkan ekspor CPO mencapai 30 miliar US dolar atau setara Rp 430 triliun. Data GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) menunjukkan dari devisa bisa mencapai Rp 510 triliun, pajak ekspor Kemenkeu Rp 85 triliun dan pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Rp 71 triliun. “Indonesia bisa kehilangan pendapatan sekitar 3 miliar dolar atau Rp 42,9 triliun sebulan, selain Rp 4 triliun dari pendapatan pajak ekspor,” ujar Putera Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas.

Kelima, upaya penyelundupan kelapa sawit ke negara tetangga Malaysia bakal meningkat terutama dari perkebunan kelapa sawit di kawasan dekat perbatasan. Malaysia bakal bersorak luar biasa. Dia produsen minyak sawit terbesar kedua setelah Indonesia, menikmati harga CPO dunia makin melambung karena tidak adanya pasokan dari Indonesia. Padahal pasokan Indonesia untuk dunia sekitar 58% dari ekspor dunia. Kemudian dia dapat tambahan lagi bahan baku murah hasil penyelundupan dari Indonesia. Apa Malaysia tidak bersorak- sorai, Hore, Hore…!

Moratorium larangan ekspor sudah memberi reaksi negatif. Kabarnya harga buah sawit langsung melorot dari Rp 3.500 per kg TBS (Tandan Buah Segar) jadi Rp 2.400 per kg TBS di pabrik kelapa sawit (PKS). Bahkan dari catatan Wayan Supadmo, salah seorang petani pengepul, harga sudah terjun ke Rp 1.300 per kg. Untuk sementara dia juga memutuskan untuk tidak membeli meski petani merengek-rengek. “Sama saja saya memegang bara panas. Mau jual ke mana, jadi pasti rugi,” katanya.

Sementara itu pasar dunia juga sudah bergolak. India sebagai pembeli utama sangat menyayangkan dan sama sekali tidak menduga terbitnya keputusan Presiden Jokowi. Sementara produksi minyak nabati dari bahan baku lain seperti minyak kedelai dan bunga matahari juga terguncang akibat invasi Rusia ke Ukraina. Akibatnya harga melambung tinggi. Indonesia bisa berhadapan dengan perang dagang. Indonesia bisa dibalas oleh negara yang dirugikan.

Dr Ir Harris Turino, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan menilai, sebagai shock therapy ia memahami keputusan Presiden Jokowi itu. Tapi ia mengingatkan jika terlalu lama akan membunuh semua industri termasuk terjadi gelombang PHK yang besar-besaran. Wayan Supadmo mengusulkan agar Pemerintah mengkaji ulang keputusan itu.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengapresiasi langkah Presiden. Tapi, menurut Sekjen SPKS, Mansuetus Darto, harus ada pencatatan nama-nama petani yang menyuplai ke pabrik. Juga alokasikan dana sawit di BPDPKS dalam program subsidi pupuk. Sebab, kalau harga turun petani tidak bisa membeli pupuk. Apalagi harga pupuk sudah naik dua kali lipat. “Jika kebijakan ini membawa dampak negatif kepada keberlanjutan usaha sektor kelapa sawit, kami akan memohon kepada pemerintah untuk mengevaluasi,” kata Ketua Bidang Komunikasi GAPKI Tofan Mahdi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai keputusan itu tidak menyelesaikan masalah. Malah mengulang kesalahan pemerintah ketika memberhentikan ekspor komoditas batu bara pada Januari lalu. Harusnya, kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, pemerintah cukup membatasi dan bukan melarang ekspor.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga menilai kebijakan ini cenderung mubazir. Lebih banyak dampak negatif daripada positifnya. “Sebenarnya larangan ekspor 20 persen saja sudah cukup, yang penting pengawasan,” katanya.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF Jakarta, Andre Vincent Wenas melihat kebijakan ini dalam rangka Jokowi memerangi mafia migor. “Jokowi lagi membakar semak agar ular beludak yang mengkhianati Presiden keluar. Jokowi sedang gantian ‘menggoreng’ mereka pelan-pelan,” kata Vincent dalam tulisannya.

Lalu berapa lama moratorium ini berjalan? Presiden belum memberi isyarat. “Pokoknya saya akan mengawasi dan mengevaluasi sampai ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau,” katanya tegas. Ada yang bilang belajar dari moratorium batubara yang tadinya dibilang sebulan, tahu-tahunya bisa lebih cepat dicabut.

Pak Dahlan Iskan berharap sebelum gong larangan dipukul hari Kamis (28/4), kebijakan itu tak jadi dilaksanakan. ”Jangan-jangan dalam tiga hari ke depan ketersediaan minyak goreng tiba-tiba melimpah,” katanya. Kalau melimpah harga sangat memungkinkan normal kembali. “Kalau itu yang terjadi, Ramadan kita tahun ini memang berkah,” kata seorang emak tersenyum. (**)

 

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti