spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Eksoteri dan Isoteri pada Keris (3)

III. Kesimpulan

Sisi Eksoteris dan Isoteri pada Keris melekat erat pada masing-masing bilahnya, dan tidak dapat tertukar karena masing-masing keris tersebut dibuat oleh mpu dengan ritual dan doa serta sentuhan yang berbeda-beda. Kemudian pemilik sebelumnya dari keris-keris yang ada di kita, kemungkinan juga berbeda-beda. Beberapa narasumber mengatakan bahwa keris isian dari pemilik sebelumnya di era masa lalu, kemudian jatuh ke tangan kita di era masa kini, isiannya dipastikan akan hilang dengan sendirinya karena sudah tidak cocok dengan pemilik saat ini.

Kita sebagai pewaris Keris Indonesia harus mampu menerangkan maupun menjelaskan baik makna Eksoteris maupun Isoteris kepada dunia, dengan argumentasi yang logis dan rasional sesuai alam pikir masyarakat Nusantara. Demikian pula ketika ada pihak-pihak yang ingin membelokkan makna keris ke hal-hal yang klenik, kita juga harus mampu mempertahankan keteguhan kita, karena keris adalah hasil Cipta, Rasa, Karsa dan Karya Manusia yang diberi anugrah oleh Tuhan YME.

Dalam Keris Indonesia ada kompleksitas dan kedalaman kebudayaan masyarakat Nusantara, mulai dari filosofi, nilai-nilai, etik dan juga makna simbolis-simbolis yang sengaja dititipkan di bilah keris melalui ricikan berupa nasehat hidup. Ekspresi Seni dan Estetika juga tampak nyata dari wujud keris beserta warangkanya yang merupakan lambang Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga, Jumbuhing Kawula lan Gusti. Sehingga keris telah menjadi symbol spiritualisme bukan sekedar senjata tajam belaka.

Menurut Kanjeng Haryono Haryoguritno, aspek Intangible dan Tangible adalah satu kesatuan pemahaman yang utuh. Bahkan pada sisi paling permukaan sekalipun yakni tentang seni estetika keris (tangible), kalau bicara soal desain motif pamor, misalnya itu tak bakal termaknai utuh seandainya aspek intangiblenya dihilangkan. Sebagai contoh pamor Pedharingan Kebak harus teraplikasi dalam bilah keris secara tangible, kemudian kita ambil makna intangiblenya bahwa pamor tersebut dapat memberikan rejeki yang turah-turah, dengan syarat harus bekerja keras.

Dahulu Kaweruh Padhuwungan (Ilmu Perkerisan) juga masih dianggap Sinengker sehingga seorang bapak masih enggan menjelaskan perihal ilmu keris kepada anak-anaknya. Keris pada masa lalu tumbuh dan berkembang diatas tradisi lisan (cerita turun temurun) bukan berdasarkan tulisan. Akhirnya berdampak pada regenerasi yang terhambat karena tidak ada bukti otentik tentang makna keris secara tertulis. Apalagi transfer knowledge antar generasi juga diwarnai dengan diskontinuitas dan aneka distorsi yang membuat keris semakin tenggelam dalam keluhurannya.

Kerisologi adalah jawaban atas kegelisahan generasi abad 21 ini menghadapi masuknya budaya global yang dapat berpotensi mengikis habis budaya local. Perpektif Keilmuan dalam meninjau dunia keris dengan metode ilmiah ini akan menjadi kebanggaan generasi berikutnya untuk mempelajari keris yang memang merupakan budaya asli Nusantara ini. Kerisologi harus didukung oleh cabang-cabang ilmu lainnya seperti antropologi, arkeologi, sosiologi, dan lain-lain. Sehingga antara cabang ilmu tersebut dapat saling menguatkan satu sama lain.

Makna filosofis yang terkandung dalam sebuah keris sebenarnya bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya. Seiring berjalannya waktu dan modernisasi, kita sadari bahwa perlu dilakukan pelestarian terhadap warisan leluhur ini agar tidak terkikis akan perkembangan jaman. Keris atau dalam bahasa Jawa disebut tosan aji, yang secara harfiah berasal dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti dihormati, merupakan perwujudan berupa besi dan diyakini bahwa kandungannya mempunyai makna yang harus dihormati, bukan berarti harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi.

Bila kita merunut dari pembuatnya atau yang disebut ‎Mpu, penciptaan dan pembuatan keris melalui proses panjang, sehingga mempunyai nilai estetika yang tinggi. Mpu menciptakan keris bukan untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri. Membuat keris adalah pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan sebuah keuletan, ketekunan, dan mental yang kuat, sehingga para pembuat harus meminta petunjuk dari Tuhan melalui laku/berpuasa, tapa/bersemadi dan sesaji untuk mendapatkan bahan baku.

Posisi keris sebagai pusaka mendapat perlakuan khusus mulai dari proses menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya. Hal ini sudah merupakan tradisi turun temurun yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa yang masih menjunjung tinggi dan meyakini kepercayaan leluhur. Kekuatan spiritual dalam keris diyakini dapat menimbulkan satu perbawa atau sugesti kepada pemiliknya. Cara menyerahkan keris dari orang tua kepada anak muda atau dari anak muda kepada orang tua, memiliki tata aturan kaidah kesopanan yang menunjukkan rasa hormat menghormati.

Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan. Jadi tergantung kepada kadhewasaning Jiwa Jawi yakni kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana.

Semakin orang itu kaya pengalaman rohani, semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris. Semakin tinggi tataran dalam memahami Tata Paugering Urip, maka perkerisan adalah Anugerah terindah yang diberikan Gusti Allah kepada manusia Indonesia karena bermanfaat untuk manusia dan alam semesta. (Habis)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img