TENGGARONG – Terang sudah status Edi Damansyah sebagai calon Bupati Kutai Kartanegara (Kukar). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kukar telah memutuskan, tidak mengikuti rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Sebelumnya, Bawaslu mengeluarkan rekomendasi pembatalan pencalonan atas nama Edi Damansyah. Bupati petahana itu disebut melakukan pelanggaran administrasi pemilihan berdasarkan pasal 71 ayat (3) Undang-Undang 1/2015 sebagaimana terakhir kali diubah UU 6/2020.
KPU Kukar, dalam konferensi pers di Tenggarong, Senin, 24 November 2020, menyatakan tak terjadi pelanggaran yang dimaksud. Edi Damansyah tetap maju berpasangan dengan Rendi Solihin melawan kolom kosong di Kukar.
Lolosnya Edi Damansyah dari lubang jarum bernama diskualifikasi diprediksi semakin mengunggulkan posisinya. “Bisa diibaratkan, satu kaki Edi Damansyah sudah ada di Pendopo Kukar (memenangkan pilkada),” kata Lutfi Wahyudi, pengamat politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda.
Menurut Lutfi, tanpa efek dari lolosnya Edi Damansyah dari kasus rekomendasi Bawaslu, calon bupati itu sebenarnya sudah memenangkan pilkada. Bagaimanapun, Edi Damansyah adalah bupati petahana meskipun hanya memerintah setengah jalan melanjutkan kepemimpinan Rita Widyasari. Namun demikian, pengaruh petahana di Kukar cukup besar. Dengan latar belakang birokrat, Edi Damansyah juga memiliki pengaruh kuat di dalam birokrasi.
“Untuk memahami kesimpulan bahwa Edi Damansyah akan terpilih kembali, kita harus melihat tiga hal,” terang Lutfi, mengawali analisisnya. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang sedang menyelesaikan studi doktor di Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan faktor yang pertama. Budaya politik di Kukar lebih kental dengan budaya politik parokial dan kawula. Parokial adalah kelompok-kelompok kecil sementara kawula adalah golongan yang lebih besar tetapi tidak terlalu memedulikan proses politik.
“Sementara lapisan masyarakat dengan budaya politik partisipan di Kukar belum setebal Samarinda dan Balikpapan,” jelasnya. Politik partisipan adalah suatu keadaan di mana masyarakat lebih peduli terhadap proses pemilihan, kompetensi pemimpin, hingga dampak setelah pemilu. Lapisan seperti ini biasanya ditemukan di pemilih menengah ke atas, baik dari sisi pendapatan maupun tingkat pendidikan.
Kukar dengan budaya politik parokial dan kawula itu disebut menguntungkan Edi Damansyah. Sosoknya dikenal tidak membuat masyarakat Kukar khawatir sebagaimana episode-episode sebelumnya. Edi Damansyah memang tidak berkarakter super-baik sebagaimana almarhum Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kukar. “Akan tetapi, bukan berarti Edi Damansyah juga jelek. Dia sosok yang dianggap baik-baik saja,” terang Lutfi.
Faktor kedua adalah Edi Damansyah memiliki pengaruh kuat di dalam birokrasi. Di Kukar, pengaruh birokrasi yang solid cukup dominan dalam memengaruhi pilihan masyarakat. Berbeda dengan Balikpapan dan Samarinda, pengaruh birokrat tidak sekuat di Kukar.
“Faktor ketiga adalah keputusan KPU Kukar yang tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu. Keputusan itu berdampak kepada pihak Edi dan Rendi yang semakin solid. Ibarat sepak bola, Edi Damansyah sekarang on fire (sedang semangat-semangatnya),” kata Lutfi. Menurutnya, setelah kasus ini, bisa jadi tercipta narasi bahwa Edi Damansyah dizalimi. Narasi demikian dapat muncul mengingat posisi Edi Damansyah yang sangat diunggulkan dalam Pilkada Kukar. Kasus ini juga menyebabkan nama Edi Damansyah terus disebut dalam banyak pemberitaan. Hal itu secara tidak langsung menaikkan popularitasnya.
“Seperti saya katakan, tanpa efek dari kasus rekomendasi Bawaslu, Edi Damansyah sebenarnya sudah menang,” sambung Lutfi.
Dari kesimpulan tersebut, Edi Damansyah sudah sangat sukar dikalahkan secara politik. Seterpeleset-pelesetnya elektabilitas sampai hari pemungutan suara, Edi Damansyah tetap memenangkan pilkada. Satu-satunya yang bisa menjegal adalah faktor di luar politik yaitu faktor hukum seperti rekomendasi Bawaslu terdahulu. Dan itu sudah dilewati Edi Damansyah.
“Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada yang harus dikhawatirkan lagi. Keputusan KPU Kukar, di sisi lain, bisa membawa resistensi yang lebih besar terutama dari pihak yang berseberangan,” ingat Lutfi.
Landasan Hukum KPU
Senin, 24 November 2020, KPU Kukar mengumumkan untuk tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu RI. Anggota KPU Kukar Divisi Teknis, Nofan Surya Gafilah, menjelaskan landasan hukum KPU mengambil keputusan. KPU Kukar telah mengklarifikasi 14 pihak dibarengi konsultasi dengan KPU RI. Proses klarifikasi berlangsung selama 18-20 November 2020. Setelah itu, KPU membuat kajian sebagai bahan pleno.
Hasil pleno lantas dikonsultasikan dengan KPU RI pada 22 November 2020 dengan tetap mendapat pendampingan KPU Kaltim. KPU RI meminta KPU Kukar mengadakan pleno dengan agenda utama memutuskan sikap, menerima atau menolak rekomendasi Bawaslu RI.
“KPU (RI) ingatkan agar objek dalam memutuskan sesuai fakta selama klarifikasi,” sambung Nofan.
Yang menjadi kunci bagi KPU memeriksa ulang sejumlah pihak adalah pasal 18 Peraturan KPU 25/2013 sebagaimana diubah PKPU 13/2014 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum. Pasal tersebut berbunyi, “Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pasal 17 meliputi kegiatan: (a) mencermati kembali data atau dokumen sebagaimana rekomendasi Bawaslu sesuai dengan tingkatannya, dan/atau (b) menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak untuk kelengkapan dan kejelasan pemahaman laporan pelanggaran administrasi pemilu.”
“Berdasarkan sejumlah ketentuan, KPU Kukar berwenang memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi pemilihan sebagai tindak lanjut rekomendasi Bawaslu dengan mencermati kembali data atau dokumen serta menggali, mencari, dan menerima masukan dari berbagai pihak,” tulis KPU Kukar dalam keterangan resminya.
Pleno KPU Kukar menyimpulkan, tak terjadi pelanggaran administrasi pemilihan. Edi Damansyah pun tidak dikenai sanksi pembatalan sebagai calon bupati Kukar. Ia akan tetap maju berpasangan dengan Rendi Solihin melawan kolom kosong di Kukar.
Delegitimasi Peran Bawaslu
Kutai Kartanegara sebenarnya adalah daerah ketujuh dengan peserta pilkada yang terkena rekomendasi diskualifikasi. Namun demikian, dari ketujuh daerah tersebut, tidak satu pun pasangan kandidat yang benar-benar dibatalkan pencalonannya.
Sama halnya dengan Kukar, tindak lanjut KPU di sejumlah daerah adalah tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu. Daerah tersebut di antaranya Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara; Kabupaten Gorontalo, Gorontalo; Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua; dan Kabupaten Kaur, Bengkulu. Sementara di dua daerah, KPU mendiskualifikasi pasangan calon pilkada yaitu Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, dan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Di Kabupaten Ogan Ilir, keputusan KPU menganulir calon petahana dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan di Banggai, Pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan putusan KPU setempat.
Akademikus dari Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, memberikan catatan penting dari fakta-fakta tersebut. Di Kukar, jelasnya, keputusan KPU sudah bisa diprediksi sebelumnya sehingga tidak mengherankan. Sedari awal, KPU seperti tidak berniat menjalankan rekomendasi Bawaslu.
“Pertama, KPU menafsirkan frasa “menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu” sebatas respons, bukan menjalankan isi rekomendasi secara absolut. Tafsir keliru ini juga sempat disampaikan terbuka oleh komisioner KPU saat menyampaikan rilis tempo hari,” terang Castro, panggilan pendeknya.
Padahal, dalam keputusan KPU itu, tidak menggunakan ketentuan Pasal 10 huruf b1 UU 10/2016. Pasal ini, urai Castro, dengan tegas menyebut KPU wajib melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi pemilihan. Frasa “wajib melaksanakan dengan segera” sudah sangat jelas dan tidak perlu ditafsirkan lagi.
Kedua, KPU juga memeriksa ulang aspek materil pelanggaran calon. Padahal, KPU sesunguhnya hanya sebatas memeriksa aspek formilnya. Hal ini menjadi preseden buruk karena rekomendasi Bawaslu dengan mudahnya diabaikan KPU. Dengan demikian, KPU sama halnya dengan mendelegitimasi Bawaslu sebagai wasit dalam proses pilkada.
“Implikasinya, kredibilitas Bawaslu sebagai wasit menjadi taruhannya. Publik akan menilai, jangan-jangan rekomendasi Bawaslu memang diputuskan tanpa dasar yang cukup dan memadai,” sambung Castro. Dari sejumlah tindak lanjut KPU yang tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu, Castro menilai peran Bawaslu telah diambil alih KPU. Di samping itu, penyelenggara pilkada seolah tidak mengakui eksistensi Bawaslu secara kelembagaan. Padahal, kewenangan Bawaslu adalah atribusi langsung undang-undang.
“Karena itu, rekomendasi sebagai bentuk pengejawantahan kewenangan, seharusnya ditaati semua pihak,” tegasnya.
Bawaslu juga sepatutnya bersikap. Jika kondisinya seperti sekarang, publik akan memberikan dua penilaian. “KPU membangkang hukum karena menolak menjalankan rekomendasi Bawaslu sebagaimana perintah undang-undang; atau justru Bawaslu tidak bekerja dengan cermat dan hati-hati dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi pemilihan,” tutup Castro. (kk)