Beranda OPINI Duka Dibalik Kenaikan Kelas

Duka Dibalik Kenaikan Kelas

0

Bagian 8, Novel Bocah Bintan, Mengguggah Harapan dan Jiwa

Bulan Juni tahun 1988, menjadi hari yang penting bagi kami semua, sebab bertepatan dengan pengumuman kenaikan kelas. Sebagaimana lazimnya para orangtua kami semuanya di undang oleh wali kelas untuk mengambil rapor anaknya masing-masing.

Suasana hati kami kian tak sabar ingin melihat isi rapor kenaikan kelas. Saat menunggu pertemuan orang tua kami bersama bu Asma, sebagian kami menantinya sambil duduk santai di bawah pohon cemara. Tampak Paito berharap-harap cemas apakah dirinya akan naik ke kelas 6, tak ingin dirinya tinggal kelas lagi seperti tahun lalu.

Pastinya sebentar lagi mendapat status kelas paling tinggi di SD ada perasaan bagaimana begitu, yang jelas ada kebahagiaan tersendiri dalam perasaan kami menjadi paling senior dari seluruh kelas. Apalagi Sumihar teman kami yang memang sudah berangan-angan ingin betul memukul lonceng sekolah yang memang hanya boleh dilakukan oleh pelajar kelas 6 saja, dia sudah lama memimpikan bisa menjadi pemukul lonceng.

Orang tua kami bergiliran datang menuju ruangan kelas dan menerima Rapor dari Ibu Asma, tentunya sambil kami berharap-harap cemas ingin segera melihat isi rapor tersebut, tampak beberapa wajah orang tua kami ada yang tersenyum sumringah, namun tak jarang ada yang sedikit miris mungkin melihat hasil nilai pelajaran anak mereka selama di kelas 5.

Sesekali tampak nasihat bu Asma kepada orang tua kami sebelum menyerahkan rapor kami dan dari kejauhan beberapa orang tua kami hanya menunjukkan anggukan kepala saja.

Seluruh orang tua dan wali murid bisa datang memenuhi undangan wali kelas kami ibu Asma , kecuali orang tuanya Paito sepertinya tidak ada yang mewakilinya. Akhirnya bu Asma secara khusus memanggil Paito setelah orang tua kami meninggalkan sekolah, beberapa di antaranya langsung memperlihatkan isi rapornya kepada kami semua yang menunggu di luar, tak jarang suara gembira keluar dari teman-temanku yang nilainya baik, namun disudut sana tampak Anto sedang di pelototin ibunya yang datang mengambil rapornya, sepertinya wajah marah ibunya jelas menggambarkan isi rapornya.

Anhar tampak tenang dan sudah pasti tempatnya sebagai juara kelas tak tergeser oleh siapapun, Bambang hanya mengurut dadanya, seraya mungkin berguman dalam hatinya kapan yah aku bisa mengalahkan si Anhar, kali ini rangkingnya melorot ke urutan tiga dan Nur dewi mampu menyalipnya di posisi rangking dua.

Sedangkan aku, Agus dan Riko teman sebangku adalah golongan pertengahan, setidaknya itu yang di utarakan oleh Riko, yah pokoknya nilainya dibilang cukup. “Angka boleh pertengahan katanya, namun cita-cita harus yang paling atas”, yah mungkin ungkapan Riko bagiku itu adalah cara untuk menghibur diri, agar tidak terlalu dibuat pusing dengan angka-angka dalam rapor tersebut, tapi yang jelas untuk nilai pelajarannya ibu Syaf, nilai kami bertiga seperti paduan suara, sama-sama dapat 6. “ Wah ini tinggal kita balik cara melihatnya, jadi angka 9 kan ?”, Agus bercanda kepadaku dan Riko.

****

“Kenapa ibumu tak datang, To !”, ungkap bu Asma mengawali pembicaraan kepada Paito, bu Asma mengetahui ayahnya tak mungkin ke Sekolah karena sakit yang dialaminya.

“Anu bu,,,Ibu saya lagi berjualan bu “, jawab Paito agak gugup, kendati paito anak yang keras, namun penghormatannya kepada guru tetaplah tinggi.
“Tapi tadi ibu janji akan usahakan bisa datang ke sekolah bu, untuk mengambilkan rapor saya bu “, lanjut Paito.

“ Tak apalah, ibu tak mungkin memaksamu dengan kondisi ibumu yang juga berjualan, sekarang ibu harap dengan langsung ibu berikan kepadamu rapor ini, engkau bisa dengar langsung dari ibu”, jawab bu Asma lembut.

“ Paito, semua nilai dalam bentuk angka dalam rapor ini mungkin penting jika hanya dilihat dari segi pengetahuan saja, angka ini adalah cara mengukur interaksimu dengan pelajaran, namun jauh lebih penting sebenarnya adalah apa yang ada dalam pikiran dan jiwamu, semua orang kedepan bisa menjadi jauh lebih baik bahkan melebihi cita-cita mereka, selama ada kemauan yang kuat maka akan selalu ada jiwa yang pandai, bukan Cuma akal yang pandai”. Tutur bu Asma kembali kepadanya.

“Ibu ucapkan selamat kepadamu, belajar yang lebih rajin lagi di kelas 6”.
“Alhamdulillah saya naik kelas yah bu….!”, ungkap Paito.
“ Terima kasih bu…”, Paito senang luar biasa, sambil dia melihat lembaran yang dibuka dalam rapor tersebut, kendati tetap dirinya memperlihatkan kerutan di dahinya.
Sebelum Paito berkata lagi, bu Asma kemudian langsung berkata kepadanya,

“Yang jelas angka merahmu sudah berkurang, itu sudah ada peningkatan namanya, khusus pelajarannya bu Syaf engka harus lebih giat lagi yah” , sambil bu Asma tersenyum kepadanya.

“ Paito, Ibu tak ingin engkau jadi pecundang !”, pesan bu Asma terakhir kepadanya, sebelum Paito pamit keluar dan mengekspresikan kegembiraannya. Andaikata ada ibunya sekarang, maka dia ingin melihatkannya langsung bahwa dia naik kelas akhirnya, kendati dia menempuh 2 tahun untuk di kelas 5.

*****

Depan kantor pos Kijang, tampak beberapa aktifitas orang lalu lalang di dalamnya untuk menggunakan jasa pos tersebut. Ibunya paito merasakan manfaat dari banyaknya orang tersebut hari itu, tak jarang mereka memesan gado-gado jualan ibunya setelah selesai urusan mereka di kantor Pos.

Kali itu tampak Ibunya sedikit tergesa-gesa berjualan melayani para pembeli, karena memang beliau sudah berjanji untuk datang ke sekolah dan akan mengambilkan rapornya Paito.

Tampak di hadapannya ada seorang pelanggan yang sudah menunggu bungkusan terakhirnya, setelah menyelesaikan bungkusan tersebut maka ibunya bergegas membereskan peralatan jualannya. Ibunya tak sabar ingin menunaikan janjinya kepada Paito, kendati sekarang menjadi tumpuan ekonomi keluarganya sejak suaminya sakit stroke, sehingga seringkali Paito merasa iba dengan ibunya yang berjualan gado-gado di kantor Pos, itulah yang membuat Paito juga bekerja sambilan menjadi buruh angkut barang di pelabuhan Kapal Kijang.

“ Mas,,,cepat antarkan ibu ke sekolahnya Paito !”, gegas ibunya Paito menyewa tukang ojek langganannya yang mangkal dekat dari kantor Pos.
“ seperti biasa tarifnya yah bu “, ujar bang Ujang si tukang ojek.
“ yah wis, yang penting segera antar sekarang, soalnya sudah terlambat “. Jawab Ibunya Paito dengan logat jawanya yang masih terasa.

Bang Ujang tak menunggu lagi, segera saja dia mengambil helem yang di gantung dan menaikki motornya untuk distarter, sedang ibunya Paito dengan mengendong bakul gado-gadonya di pinggang dan di bantu oleh pak ojek yang lain untuk meletakkan perlengkapannya agar nyaman duduk di jok belakang.

Sekejap saja motor meluncur mengantarkan ibunya menuju ke sekolah, memang jarak kantor Pos dengan sekolah kami tidak terlalu jauh, harus melewati bundaran depan Polsek Kijang kemudian belok kea rah kiri menuju jalan lurus dan lebar ke arah Sekolah, sekitar 3 kilometeran saja.

Sedang dari arah berlawanan sebelum bundaran depan Polsek Kijang, tampak mobil colt bak terbuka berwarna hitam dengan muatan penuh bahan bangunan dan semen di belakangnya sedang melaju cepat. Seorang supir dan kernetnya sepertinya sedang ingin mengantar material bangunan tersebut ke sebuah tempat.

Pada awalnya semua tampak berjalan baik, Bang Ujang yang sedang membonceng ibunya Paito lari dengan kecepatan 50 km/jam, kemudian ketika hampir sampai dekat bundaran depan Polsek, bundaran tersebut mempertemukan 4 jalan utama dari arah yang berlawanan . Tiba-tiba mobil colt tersebut lepas kendali dari arah atas karena memang posisinya jalan menurun , sedangkan Bang Ujang tak melihat arah mobil tersebut, posisi motor sudah memutar.

“Braaakkkkkkk……..!!!”, terdengar bunyi suara yang begitu keras, spontan bapak- bapak Polisi yang sedang santai di pos penjagaan berhamburan ke depan jalan, begitu juga dengan pengguna jalan lainnya mendadak meminggirkan kendaraannya. “Allahu Akbar,,,,tabrakan “, teriak orang di jalanan.

Kejadian tabrakan hebat itu menabrak motor bang Ujang dan ibunya paito. Mobil Colt itu setelah menabrak motor langsung juga menabrak trotoar jalan, bodi kanan depannya rangsek bekas hantaman dengan motornya bang Ujang, sedangkan tampak perlengkapan jualan ibunya Paito berhamburan di jalan, beberapa meter dari motor seorang ibu dengan berlumuran darah dikepalanya sedang terbaring tak sadarkan diri, bang Ujang tampak meringis menahan sakit yang amat sangat, dirinya masih jauh lebih untung terlempar dari motornya dan masih sadarkan diri.

Polisi yang kebetulan berada disitu segera mengamankan supir mobil tersebut ke Polsek dan segera menghentikan sebuah mobil untuk mengangkat bang Ujang dan Ibunya Paito yang masih tak sadarkan diri. Kebetulan bang Ujang masih bisa bicara, dia sempat sampaikan pesan kepada pak Polisi, bahwa Ibu yang diboncengnya ingin ke Sekolah untuk mengambil rapor anaknya, bang Ujang meminta agar Paito segera diberitahu dan segera menyusul ke Rumah Sakit.

******
Seperti biasa kami duduk bersama merayakan kebahagian saat menerima rapor kenaikan kelas di taman pemimpi, yah hamparan rumput hijau di bawah pohon cemara semakin membuat kami larut dalam kebahagiaan kenaikan kelas, tak penting rangking berapa kami saat itu, yang penting naik kelas titik, apalagi Paito sahabat kami yang pernah merasakan tinggal kelas.

“Selamat yah To !, akhirnya bisa bersama-sama kita di kelas 6”, Sumihar mengucapkan selamat kepadanya, walau sering Sumihar dibuat menangis saat main gebok oleh Paito. Anhar, Bambang, Agus, Riko, Aku, Arga, Roni, Herdi dan yang lainnya larut dalam kebahagiaan saat itu.

“ Aku pernah membaca petuah”, paito tiba-tiba berbicara.
“kalau ingin tahu nikmatnya setahun, maka tanyalah kepada mereka yang tinggal kelas, Kalau nak ingin tahu nikmatnya sebulan maka Tanya kepada ibu yang melahirkan prematur 8 bulan”, kami semua menyimak perkataannya.

“Karena aku sudah pernah merasakan dua kali tak naik kelas, itu sangat menyakitkan teman-teman, tapi hari ini aku bersyukurlah bisa naik kelas hari ini dan aku nak buktikkan kepada keluargaku bahwa aku ini bisa jugalah”, ungkap Paito dengan senyuman kemenangannya.

“Paito !, Paito ! “, dari kejauhan sana Dawam memanggilnya dan spontan kami semua melihat ke arahnya, tampak dawam memanggilnya dengan wajah yang penuh kecemasan, Setengah berlari dawam ke arah kami ditemani Ismail.

“Ayo ke ruangan guru sekarang, ada berita nak disampaikan kepada engkau”, ujar Ismail.
“Engkau jangan becandalah dengan aku ?”, balas Paito.
“Tak payahlah nak becanda dengan engkau To”, kali itu wajah Ismail bisa dipercaya.
Paito segera menuju ke ruangan guru dan spontan kami juga bangkit dan menyusul di belakangnya.

Seoroang petugas Polisi berada dalam ruangan guru, disana ada Ibu Syaf, Pak Basirun, Pak Arif dan bu Asma yang masih menyisakan bekas air matanya. Paito gugup dan kami juga penuh keheranan, ada urusan apa paito dengan pak Polisi. Kami hanya menyaksikan dari luar saja. Paito masuk dan duduk dihadapan pak Basirun,

“Paito,,,engkau sabar yah nak”, suara pak Basirun tampak berat. Perasaan Paito menjadi tidak enak, dia semakin tidak mengerti apa maksud pak Basirun.
“Baru saja pak Polsi sampaikan kabar, bahwa ibumu mengalami kecelakaan saat menuju ke Sekolahmu dan kini dilarikan ke rumah sakit”.

Seperti tersambar petir, Paito mematung dan tak mengeluarkan kata-kata, sorot matanya kosong ke arah pak basirun, napasnya terasa cepat dan sesak. Ibu Syaf menyeka air matanya dibalik kacamatanya dan bu Asma juga tak kuasa menahan air matanya kembali jatuh. Pak Arif bangkit menuju ke arahnya dan memegang pundaknya dari belakang uuntuk menenangkannya.
“ Ibuuuuuu…………!!!”, kemudian Paito berteriak dan tumpah air matanya.

*******

Ditemani pak Arif, Paito dibonceng dengan motornya menuju Rumah Sakit PT Antam. Ibu Syaf, bu Asma dan beberapa guru lainnya juga menyusul ke sana, sedangkan kami berhamburan menuju halaman parkir sepeda kami disamping warung mbah Sompret untuk mengambil sepeda dan segera menyusul juga ke sana.

Tak sampai 15 menit kami sampai di Rumah Sakit, tak ayal kami semua berlarian mencari ruangan gawat darurat Rumah Sakit tersebut. Begitu kami sampai di mulut pintu unit gawat darurat, tampak bu Asma sudah tak kuasa menahan tangisnya.

Aku dan teman-teman yang hadir saat itu melupakan semua kegembiraan yang baru saja kami alami hari itu.

Tak kuasa kami melihatnya, tampak Paito sedang memeluk jenasah ibunya. Pak Arif , bu Syaf dan lainnya juga tak kuasa menahan sedih di sisi jenasah ibunya. Kami semua tak bisa menahan tangis, betapa teman kami kehilangan ibunya, setelah kecelakaan tadi menyebabkan benturan kuat di kepala ibunya dan hanya beberapa menit sampai di Rumah Sakit, beliau sudah menghembuskan napas terakhirnya.

******

Sore itu langit Kijang tampak tertutup awan mendung, rintik-rintik hujan sudah mulai turun mengiringi kedukaan kami saat itu. Masyarakat disekitar rumah Paito dan kami temannya baru saja meninggalkan taman pemakaman Muslim di Kijang untuk mengantarkan almarhumah Ibunya Paito ke peristirahatan terkahirnya.

Kami dirundung sedih, betapa tidak Paito adalah teman kelas kami kini kehilangan Ibunya yang menjadi tumpuan ekonomi keluarganya sejak ayahnya yang sakit stroke dan lumpuh. Paito masih memiliki dua adik lag, Budi yang masih di kelas 3 dan Putri yang belum sekolah.

Entah kami tak tahu apa isi hati Paito sekarang, kini otomatis dirinya yang paling dihandalkan di keluarganya, kami tak tahu apakah Paito setelah peristiwa ini akan terus memiliki semangat untuk sekolah atau dia harus memilih bekerja, Duhai Allah beri kemudahan urusan teman kami Paito, setidaknya itu doa-doa kami saat itu untuknya. (**)

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version