Patroli Sudarmadi dan Maryanto, petugas keamanan PT Multi Harapan Utama (MHU), hampir selesai ketika mereka mendengar suara yang mencurigakan. Insting sebagai sekuriti membawa kedua petugas tersebut ke tepi hutan di Desa Margahayu, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Benar saja, mereka melihat sebuah alat berat sedang menggali tanah di situ.
Pada Jumat (17/9/2021, kejadian tersebut dilaporkan kepada manajemen perusahaan yang diteruskan kepada kepolisian setempat. Humas PT MHU, Samsir menyatakan, aktivitas tersebut diduga penambangan batu bara tanpa izin di wilayah konsesi perusahaan. Sehari kemudian, kepolisian tiba di lokasi. Tiga orang sedang bekerja. Pohon-pohon digusur ekskavator. Tanah mulai digali. Sebagian besar lahan sudah rata dengan tanah.
“Kepada petugas, para pekerja ini mengakui menambang tanpa izin,” terang Kepala Kepolisian Sektor Loa Kulu, Ajun Komisaris Gandha Syah Hidayat, kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Selasa, 21 September 2021.
Ketiga lelaki itu dibawa Markas Polsek Loa Kulu untuk dimintai keterangan. Dari penyelidikan, polisi menetapkan dua orang berinisial HS, 47 tahun, dan ES, 38 tahun, sebagai tersangka. HS berperan sebagai penanggung jawab kegiatan sementara ES adalah pencari lahan. Satu orang lagi adalah operator ekskavator. Ia dibebaskan karena hanya pekerja.
AKP Gandasyah melanjutkan, kegiatan penambangan tanpa izin di konsesi PT MHU dimulai sejak awal September 2021. “Belum ada batu bara yang diambil, baru penggalian sedalam 10 meter dan batu bara sudah terlihat,” paparnya. Kepolisian juga mengamankan satu ekskavator PC 200 merek Caterpillar tipe 320D.
Kedua tersangka kini dijerat Pasal 158 Undang-Undang 3/2020 tentang Mineral dan Batu Bara. Ancaman pidananya paling lama tahun penjara. Kepolisian menegaskan, penyelidikan tetap dilanjutkan untuk menemukan tersangka yang lain.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, menilai bahwa masyarakat sangat menanti penindakan hukum dari aktivitas pertambangan ilegal. Penindakan aktivitas tambang ilegal di Kukar maupun di seluruh Kaltim dianggap masih lamban dan tebang pilih. Kinerja aparat dianggap jauh dari harapan. Padahal, dasar hukum dan kewenangan untuk menindak aktivitas yang merugikan banyak pihak ini sudah jelas.
Rupang membandingkan kinerja penegak hukum pada 2010 ketika Kepolisian Daerah Kaltim dipimpin Irjen Pol Mathius Salempang. Kapolda saat itu disebut berani menindak penambang ilegal. Puluhan kasus berhasil dituntaskan. “Sementara saat ini, prestasinya bukan lagi di bawah standar tapi cenderung buruk,” tegasnya.
Jatam juga menyatakan, penegakan hukum di Loa Kulu menegaskan bahwasanya kepolisian di seluruh Kaltim bisa menindak tambang ilegal di wilayah hukum masing-masing. Polda Kaltim turut didesak agar membongkar kejahatan lingkungan yang diduga terorganisasi. Kepolisian diminta tidak hanya terpaku kepada laporan atau aduan perusahaan maupun masyarakat.
“Bukan tidak mungkin, maraknya tambang ilegal saat ini karena ada oknum dari lembaga penegak hukum yang turut serta,” duga Rupang. (kk)