spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dipicu Pandemi, 2.446 Pasutri Kukar Memilih Bercerai

TENGGARONG – Jumlah kasus perceraian di Kutai Kartanegara tahun ini sudah hampir menyamai tahun-tahun sebelumnya. Faktor ekonomi ditengarai menjadi penyebab utama terganggunya keharmonisan rumah tangga. Ada pula suami meninggalkan istri tanpa alasan. Pasangan kekasih diingatkan untuk mematangkan persiapan sebelum masuk jenjang pernikahan.

Berdasarkan data Pengadilan Agama Kelas 1B Tenggarong, pada 2019, ditemukan 1.210 kasus perceraian. Dari jumlah tersebut, perempuan paling banyak menggugat cerai yakni 885 kasus, sedangkan laki-laki yang melakukan talak hanya 325 kasus. Tahun berikutnya, kasus perceraian meningkat menjadi 1.251 kasus dengan gugat cerai dari perempuan sebanyak 965 permohonan dan talak sebanyak 286 permohonan.

Sementara sejak Januari sampai November 2021, sudah ada 1.195 kasus perceraian. Jumlah tersebut diyakini bisa bertambah mengingat tahun ini masih menyisahkan sebulan lebih. Jika jumlah perceraian pada 2021 ditambahkan dengan jumlah pada 2020, maka ada 2.446 kasus perceraian selama pandemi.

“Jumlah gugatan cerai dan talak pada 2021 belum diketahui karena belum direkap,” kata panitera Pengadilan Agama Tenggarong, Muhammad Yusuf, kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com, Selasa, 16 November 2021.

BACA JUGA :  Perlu Kerja Bareng Dinsos Hingga Camat, Validasi dan Verifikasi DTKS

Pengadilan Agama Tenggarong mencatat, perceraian terjadi di pasangan berusia 25 hingga 40 tahun. Warga dari tiga kecamatan yakni Tenggarong, Loa Janan, dan Kota Bangun, yang paling sering mengajukan cerai. Ada banyak alasan terjadinya perceraian. Paling umumnya disebabkan tidak ada rasa tanggung jawab dari kedua pasangan dan faktor ekonomi lemah. Selain itu karena cekcok, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT.

“Pernah ditemui kasus suami yang meninggalkan istri. Suaminya mengaku mencari nafkah di luar daerah namun tak ada kabar berita dan tak memberikan nafkah bagi anak dan istrinya. Akhirnya, digugat cerai,” beber Muhammad Yusuf.

Sebagai upaya mencegah perceraian, Pengadilan Agama Tenggarong mengupayakan mediasi. Dalam upaya ini, pengadilan memberi waktu dua minggu untuk pasangan suami-istri memikirkan matang-matang keputusannya. “Tentu kami berharap, mereka bisa rujuk kembali,” ujar Muhammad Yusuf.

Psikolog sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Mulawarman, Samarinda, Lisda Sofia, memberikan pandangan mengenai kasus perceraian. Biasanya, kata dia, perceraian terjadi dari pernikahan berusia di bawah lima tahun. Usia tersebut sebenarnya adalah masa adaptasi hubungan pernikahan. Pada masa ini pula, hukum alam bekerja.

BACA JUGA :  Setahun Tutup, Museum Mulawarman Padat Lagi

“Mereka yang tak mampu beradaptasi akan lebih sering menemui konflik dalam berumah tangga,” terang Lisda. Oleh karena itu, ia menyarankan, para pasangan sebaiknya mematangkan persiapan pernikahan sebelum memutuskan melanjutkan hubungan yang lebih serius.

Berdasarkan buku panduan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Negara, sebut Lisda, ada 10 aspek yang harus dipersiapkan dalam kehidupan berumah tangga. Ke-10 aspek adalah, kesiapan usia, ekonomi, fisik, mental, emosi, sosial, moral, interpersonal, keterampilan hidup, dan tingkat intelektual.

“Persiapan fisik, mengontrol emosi, dan kebutuhan ekonomi, adalah hal dasar yang harus dipenuhi pasangan yang ingin menjalani kehidupan rumah tangga,” terangnya.

Kepala Program Studi Psikologi Unmul itu juga mengimbau, para calon pengantin sebaiknya memikirkan matang-matang untuk menikah. Menurutnya, pernikahan bukan sekadar atas  suka sama suka. Ada yang jauh lebih penting dari itu. Mewujudkan sakinah, mawadah, dan warahma, tentu mesti dicapai. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img