spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dinkes Kaltim Sebut Prevalensi Gizi Makro dan Mikro Masih Tinggi

SAMARINDA – Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kaltim dr Jaya Mualimin menegaskan, status gizi masyarakat merupakan salah satu penentu keberhasilan memperoleh SDM yang berkualitas di masa yang akan datang. Padahal,  perkembangan masalah gizi (stunting, gizi kurang, dan gizi lebih) di beberapa daerah masih belum menunjukan hasil yang menggembirakan.

“Prevalensi masalah gizi makro dan gizi mikro masih tinggi dari standar. Faktor kekurangan gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), pengetahuan tentang gizi di masyarakat, pola asuh dan ekonomi masyarakat merupakan faktor utama penyebab masalah gizi, terutama stunting,” jelasnya.

Dijelaskannya, sasaran dan target upaya peningkatan status gizi masyarakat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, adalah yakni prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita menurun dari 24,1persen menjadi 14,0 persen, kedua yakni prevalensi wasting (kurus dan sangat kurus) pada balita menurun dari 8,1 persen menjadi 7persen, ketiga jumlah balita yang mendapat suplementasi gizi mikro meningkat dari 90.000 balita menjadi 290.000 balita.

Keempat yakni persentase ibu hamil kurang energi kronis (KEK)  menurun dari 16 persen menjadi 10 persen, kelima persentase kabupaten/kota yang melaksanakan surveilans  gizi meningkat dari 51 persen menjadi 100 persen, keenam persentase bayi usia kurang dari 6 bulan mendapat ASI Eksklusif meningkat dari 40 persen menjadi 60 persen dan ketujuh persentase balita yang dipantau pertumbuhan dan perkembangannya meningkat dari 60 persen menjadi 80 persen.

Menurutnya, saat ini Kaltim masih menghadapi beban gizi ganda (double burden) yaitu masalah kekurangan gizi (undernutrition) dan masalah kelebihan gizi (overnutrition). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 Provinsi Kaltim menunjukan tren atau kecenderungan perbaikan status gizi pada balita,  kurang gizi sebesar 16,6 persen turun menjadi 14,7 persen pada tahun 2018, yang kurus 11,6 persen turun menjadi 7,57 persen pada tahun 2018, demikian juga yang gemuk, yaitu 12,6 persen  turun menjadi 9,43 persen pada tahun 2018. Sedangkan anak balita stunting pada tahun 2019 prevalensinya 28,3 persen turun menjadi 22,8 persen pada tahun 2021, sementara anemia pada anak usia 5-14 tahun sebesar 26,8 persen dan usia 15-24 sebesar 32 persen. Hal ini berarti masih ada 3 dari 10 anak di Indonesia menderita anemia.

“Upaya mengatasi masalah gizi memerlukan aksi lintas sektoral, karena disebabkan oleh faktor multi dimensi. Penyebab langsung adalah asupan makan yang tidak memadai dan penyakit infeksi yang berulang. Semua faktor ini dipengaruhi oleh faktor tidak langsung seperti salah satunya adalah rendahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan tentang  gizi seimbang di masyarakat. Sehingga  penanggulangan masalah gizi harus didukung bersama-sama,” pungkasnya.(Adv)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti