SAMARINDA – Memasuki awal tahun 2025, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalimantan Timur meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi lonjakan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), terutama di tengah musim hujan.
Kepala Dinkes Kaltim, Jaya Mualimin, mengungkapkan pihaknya telah mengambil berbagai langkah antisipasi untuk mengendalikan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti ini.
“Januari adalah awal perhitungan kasus mingguan, dan kami terus memantau laporan dari fasilitas kesehatan setiap hari. Pemantauan meliputi jumlah kasus, pasien rawat inap, hingga angka kematian, agar langkah pencegahan dapat dilakukan secara efektif,” ungkap Jaya di Samarinda, Selasa (7/1/2025).
Dinkes Kaltim menyoroti pentingnya kebersihan lingkungan sebagai langkah utama mencegah DBD. “Kami terus mendorong gerakan satu rumah satu pemantau jentik. Setiap keluarga harus aktif memeriksa lingkungan rumahnya, terutama tempat-tempat yang berpotensi menjadi genangan air,” ujar Jaya.
Ia menambahkan, program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) telah diperkuat dengan pendekatan berbasis komunitas. “Kami mengajak masyarakat untuk rutin membersihkan lingkungan, membuang genangan air, dan mengelola sampah dengan baik. Dengan cara ini, kita bisa mencegah nyamuk berkembang biak,” jelasnya.
Pada tahun 2024, Kalimantan Timur mencatat hampir 10.000 kasus DBD, meskipun angka kematian berhasil ditekan hingga 0,21 persen. “Angka ini jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Namun, kita tidak boleh lengah karena jumlah kasus tetap tinggi,” kata Jaya.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai potensi Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD yang biasanya terjadi di awal tahun. “Bulan Januari-Februari adalah periode kritis. Dengan himbauan ini, kami berharap masyarakat segera bergerak melakukan bersih-bersih lingkungan,” tambahnya.
Selain upaya pencegahan berbasis kebersihan, Dinkes Kaltim juga mengintegrasikan program vaksinasi DBD dan teknologi Wolbachia untuk pengendalian jangka panjang.
“Vaksinasi memberikan kekebalan dalam waktu singkat, sedangkan teknologi Wolbachia membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti,” jelas Jaya.
Saat ini, teknologi Wolbachia sudah diujicobakan di Kutai Kartanegara, dan tahun ini akan diperluas ke Balikpapan. “Kami mendukung penuh program ini karena efektivitasnya telah terbukti di beberapa daerah. Kami siap mengalokasikan anggaran tambahan jika diperlukan,” ujarnya.
Meski begitu, vaksinasi DBD belum menjadi program nasional sehingga masyarakat perlu membayar jika ingin mendapatkan layanan ini. “Kalau dari kami gratis, tetapi di fasilitas kesehatan lain kemungkinan ada biaya,” tambahnya.
Jaya mengingatkan masyarakat untuk segera memeriksakan diri jika mengalami gejala DBD seperti demam tinggi mendadak, nyeri otot, mual, atau pendarahan ringan.”Semakin cepat diagnosis dilakukan, semakin besar peluang pasien untuk pulih tanpa komplikasi,” tegasnya.
Ia juga meminta masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan informasi dari pemerintah terkait pencegahan dan penanganan DBD. “Kami akan terus merilis informasi terbaru agar masyarakat tetap waspada dan tidak lengah menghadapi musim hujan ini,” tutupnya.
Penulis: Hanafi
Editor: Nicha R