spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dikembangkan dengan Baik, Kopi Luwak Prangat Bisa Kalahkan Batu Bara

Sudah hampir senja tatkala Rindoni, 52 tahun, akhirnya bisa bersantai di beranda rumahnya. Seharian itu, ia disibukkan dengan menyemai kopi jenis liberika di samping kediamannya di jalan poros Samarinda-Bontang, Desa Prangat Baru, Marangkayu, Kutai Kartanegara. Di sela-sela istirahat berteman singkong goreng, Rindoni kemudian bercerita panjang kepada reporter kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com yang mengikutinya sejak tengah hari.

Pada Sabtu 4 Desember 2021, Rindoni memulai cerita dengan menjelaskan asalnya. Ia adalah transmigran asal Lamongan, Jawa Timur, yang merantau ke Prangat Baru pada 2 Maret 1989. Usianya 20 tahun dan baru saja menikah waktu itu.

Setelah sewindu bertani, Rindoni kebetulan mendapat bibit kopi gratis dari Pulau Jawa pada 1997. Jenisnya kopi liberika. Sebagaimana namanya, kopi ini berasal dari wilayah Liberia, Afrika Barat, yang dibawa ke Indonesia pada abad ke-19. Rindoni lantas mencoba menanamnya. Rupanya, pokok kopi tumbuh dengan baik. Hasilnya juga bagus. Perlahan tapi pasti, Rindoni menekuni tanaman kopi.

Dua dekade kemudian, pada 2020, Rindoni telah memiliki kebun kopi seluas 2 hektare. Lahan tersebut terdiri dari 1.000 tanaman kopi luwak berjenis liberika. Tak semuanya tumbuh bersamaan. Hanya 600 pohon yang dapat dipanen. Hasilnya sekitar 10-15 kilogram biji kopi setiap panen.

Rindoni mengolah biji kopi secara tradisional. Biji kopi itu dimakan luwak yang hidup liar di kebunnya. Dari luwak tersebut, diperoleh biji kopi yang terbaik. Setelah itu, biji kopi dicuci, dijemur, dan dipisahkan dari cangkangnya. Rindoni kemudian menyangrai biji kopi di atas wajan tradisional. Barulah kopi bisa diseduh.

BACA JUGA :  Deputi IKN Kok Baru Satu?

“Kopi luwak itu paling simple dan tidak ngerepotin. Paling enak, pokoknya,” kata dia.
Sampai Juli 2020, Rindoni mengaku, kopi dari kebunnya hanya dijual secara lokal sekaligus untuk menjamu tamu. Ia juga menyeduhkan secangkir kopi untuk kaltimkece.id. Rasanya khas kopi luwak. Aromanya sedap. Disajikan pahit atau manis, kopi ini tetap membuat lidah berkecap.

Rindoni melanjutkan ceritanya. Sebagian tamu yang pernah berkunjung ke rumah lantas memberitahunya. Kopi tersebut dicari di pasar global. Rindoni mengeceknya dan benar. Permintaan kopi luwak jenis liberika cukup besar. Harganya di pasar dunia bisa Rp 6 juta per kilogram.

Pasar lokal pun menjanjikan. Rindoni mengaku, sebuah hotel berbintang di Samarinda telah memesan biji kopi darinya dengan harga Rp 2 juta per kilogram. Sebuah perusahaan migas memesan dengan harga lebih tinggi, Rp 3 juta per kilogram. Rindoni bisa memanen 10-15 kilogram dari 2 hektare kebunnya. Ia bisa meraup omzet hingga Rp 45 juta saban kali panen.

“Sangat menggiurkan. Tambang (batu bara) saja bisa kalah kalau kopi ini dikembangkan dengan baik,” kata Rindoni seraya memperlihatkan nota pemesan kopi dari dua instansi tadi.

BACA JUGA :  Mengulur Naga dan Belimbur Jadi Puncak Pesta Erau Adat Kutai

Warga Prangat Baru lekas menyadari potensi ekonomi tersebut. Mereka mendirikan Kelompok Tani Kampung Kopi Luwak, Desa Prangat Baru. Rindoni ketuanya. Kelompok tani ini punya 34 anggota. Mereka menyiapkan 60 hektare kebun yang akan ditanami 34 ribu biji kopi. Bibit-bibit itulah yang disemai di sebelah rumah Rindoni.

“Setiap anggota dapat seribu bibit gratis. Sekali lagi, gratis,” tutur Rindoni. Ia menjelaskan, seluruh bibit itu jika harus dibeli bisa mencapai Rp 1,2 miliar dengan asumsi harga per bibit Rp 30 ribu.

Kelompok tani juga berencana membudidayakan luwak. Selama ini, hewan tersebut hanya hidup liar di Prangat Baru. Rindoni dan kolega akan mempertahankan ekosistem luwak. Langkah-langkah tersebut diambil demi keberlangsungan usaha tani setempat. Kebun kopi dan lingkungan yang terjaga pun bisa dijadikan tempat wisata edukasi.

“Faktanya, lokasi wisata tersebut belum berdiri, sudah dua ribu orang yang pernah berkunjung ke sini untuk mencari kopi luwak,” sambung Rindoni yang mengaku tengah mengurus beberapa perizinan dan legalitas produk kopinya.

POTENSI BESAR
Memakai asumsi harga dan hasil panen yang sama dengan kebun milik Rindoni, potensi kopi luwak yang dikembangkan kelompok tani di Desa Prangat Baru amat besar. Jika 60 hektare kebun yang sedang dikembangkan, potensi panennya menembus 450 kilogram. Apabila harga rata-rata biji kopi Rp 2,5 juta per kilogram saja, potensi omzet desa ini mencapai Rp 1,1 miliar per sekali panen.

BACA JUGA :  Amankan Mudik Lebaran, Tim Gabungan Kukar Siapkan 162 Personel

Akademikus dari Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, Penny Pujowati, membenarkan bahwa Kaltim memiliki potensi kopi yang besar. Akan tetapi, provinsi ini belum memiliki industri kopi yang digarap dengan serius. Masyarakat atau petani rakyat saja yang mengembangkannya. Padahal jika dikelola dengan baik, industri kopi bisa menjadi sumber ekonomi baru di Kaltim.

Di antara tiga jenis kopi di dunia yaitu robusta, arabika, dan liberika, Penny menguraikan, liberika paling cocok ditanam di Kaltim. Kopi jenis ini bisa tumbuh di daerah dengan ketinggian di bawah 500 meter dari permukaan laut. “Sebagian besar daerah di Kaltim berupa dataran rendah,” terangnya.

Penny menjelaskan bahwa kopi liberika sebenarnya berkualitas rendah. Akan tetapi, keberadaan luwak di daerah Prangat menyebabkan kualitasnya meningkat. Begitu pula harganya. Itulah alasan kopi dari Prangat Baru sangat potensial. Luwak memilih buah terbaik dengan tingkat kematangan yang pas. “Saya kira, perlu dikembangkan dan diteliti potensi kopi di Prangat Baru tersebut,” saran dia.

Penny sekali lagi mengingatkan bahwa faktor kehadiran luwak di Prangat Baru sangat penting bagi petani kopi. Menurutnya, luwak betah hidup di lokasi dengan lingkungan alam yang terjaga. Itu sebabnya, perkebunan kopi di Prangat Baru harus ramah lingkungan. (kk)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img