spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Dakwah Bil Qolam; Salah Satu Kewajiban Kader Mubalig di Era Revolusi Industri 4.0

Oleh: Ust. Zulkifli, S.Pd.I., M.Pd.(Motivator, Mubaligh, Penulis dan Akademisi)

Di era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai oleh pengembangan sistem informasi berbasis digitalalisasi, sehingga para kader mubalig telah mendapatkan tantangan yang cukup besar untuk terus melakukan inovasi atau terobosan baru, sekaligus harus mampu bersikap adaptif (menyesuaikan diri), hal ini diharapkan agar dapat tampil sebagai kader da’i atau mubalig yang kreatif, inovatif, inspiratif, konstruktif dan profesional.

Seorang Mubalig merupakan sosok juru dakwah yang memiliki peluang dan potensi dalam mengembangkan strategi dakwah bil qolam (dakwah melalui tulisan). Seorang mubalig tidak hanya sebatas berdakwah dari mimbar ke mimbar, dari masjid ke masjid, namun harus dapat berinovasi dalam menyampaikan misi dakwah Islam, salah satunya harus mampu memosisikan diri sebagai seorang jurnalis, setidaknya memiliki kemampuan menyajikan tulisan/pesan dengan diksi (pilihan kata) yang tepat agar mudah diterima atau dicerna oleh masyarakat.

Mengapa demikian? Karena mubalig laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama atau lazim disebutkan dengan kalimat “warasatul ambiyaa”, yakni pewaris bagi para nabi.
Setidaknya ada lima peran mubalig di tengah-tengah masyarakat (umat), khususnya dalam menyikapi sejumlah tantangan dalam dunia dakwah, khususnya di era revolusi industri 4.0:

Muaddib, yaitu sebagai pendidik atau edukator, mubalig memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari prilaku menyimpang dari syariat Islam, sekaligus pesan yang disampaikan harus memiliki edukasi (mendidik).

Mushadiq, yaitu sebagai pembenar sekaligus pelurus informasi dari berita Hoaks (berita bohong). Setidaknya ada dua hal yang harus diluruskan dan dibenarkan. Pertama, informasi tentang risalah Islam.

Kedua, upaya dalam mengatasi informasi yang bersifat memutarbalikan fakta (distorsi), manipulatif (rekayasa) untuk memojokkan Islam sebagai bagian propaganda dunia yang anti Islam.

Mujaddid, yaitu sebagai pembaharu atau lazim diistilahkan inovator. Seorang kader mubalig memiliki kewajiban sebagai penyebar atau juru bicara (Jubir) bagi para Ulama atau Cendikiawan Muslim dalam menyampaikan isi dan kandungan al-Quran dan sunnah dari segala aspek kehidupan mulai dari aspek ibadah, pendidikan, ekonomi, sosial dan politik.

Muwahid, yaitu sebagai pemersatu umat, kader mubalig harus dapat menjembatani sekaligus mempersatukan masyarakat. Seorang mubalig wajib memiliki intergritas yang tinggi sekaligus harus memiliki sikap implartiality atau tidak memihak pada golongan tertentu, sekaligus harus mampu menyampaikan dua sisi dari setiap informasi yang ia peroleh atau lazim dikenal dengan istilah “both side information”.

Mujahid, yaitu sebagai pejuang pembela Islam. Melalui dakwah bil Qolam (berdakwah melalui tulisan) harus mampu dan berjuang membentuk dan meyakinkan umat (masyarakat) untuk menegakkan nilai-nilai Islam, menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, salah satunya dapat menyajikan tulisan berupa buku biografi sejumlah tokoh pendidik atau politikus yang memiliki kapabilitas, integritas di masyarakat.

Namun yang menjadi tantangan bagi para kader mubalig, khususnya di era informasi sekarang ini adalah rendahnya minat menulis. Para mubalig lebih cenderung membaca teks-teks yang singkat di berbagai media sosial kemudian sangat sigap membagikan informasi keberbagai WAG (WhatsApp Grup) yang belum tentu memiliki akurasi data (valid). Akibatnya, hanya menjadi konsumen yang berujung pada informasi yang menyesatkan.

Sementara yang sedang kita hadapi adalah gencarnya informasi yang berupaya memanipulasi atau merekayasa pemberitaan tentang agama dan politik, dengan tujuan memojokkan posisi Islam dan memecah belah persatuan bangsa. Terlebih lagi, media asing amat gencar menyosialisasikan nilai-nilai, pemikiran, dan budaya mereka ke dunia Islam, agar pola pikir dan gaya hidup generasi Islam cenderung menciplak gaya hidup Barat dari pada mengikuti aturan Islam.

Tidak heran jika sejumlah paham muncul seperti materialisme, sekularisme, hedonisme yang sedang mewabah di kalangan umat Islam. Paham materialisme adalah paham yang mengedepankan aspek materi, sedangkan paham hedonisme merupakan pandangan atau paham yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup, adapun istilah sekularisme ialah paham yang memiliki pendirian bahwa agama tidak dapat dicampurbaurkan dengan urusan politik, negara, atau instansi publik.

Celakanya, banyak umat Islam yang kerap terpancing untuk memperdebatkan masalah agama yang tidak memiliki kaitan dengan soal politik, mereka tidak ingin mencampurbaurkan antara agama dengan politik.

Akhir-akhir ini, khususnya di era digitalisasi, umat Islam sedang mengalami yang disebut “Invasi pemikiran dan budaya Barat” atau lazim diistilahkan dalam bahasa Arab “ghazwul fikr”. Dunia Islam nyaris tidak berdaya dalam menghadapi serangan pers Barat, yang memiliki misi untuk memecah belah umat Islam, salah satunya mereka mampu menyajikan sejumlah opini umum (public opinion) atau kesan yang buruk tentang dunia Islam.
Dilihat dari konteks nasional hingga internasional. Menurut Eli Abel, 90% akses informasi dunia telah dikuasai oleh Barat.

Agen-agen berita seperti UPI (AS), REUTERS (London), AFP (Prancis), merekalah yang telah menguasai informasi dunia. Merekalah yang sedang memegang supremasi (kekuasaan tertinggi) yang tidak saja dalam bidang politik-militer dunia, tetapi juga bidang arus informasi dunia (media massa). Inilah salah satu sebab Amerika serikat (AS) dalam pertarungan politiknya kerap melemparkan sejumlah isu tentang “Islam Radikal” (Islam sebagai agama yang keras bahkan Islam syarat dengan Terorisme), sebaliknya AS dan negara Barat lainnya melalui media yang dimilikinya mereka dapat mencitrakan dirinya sebagai negara penyelamat dunia, pusat peradaban, dan pembela hak asasi manusia. Hingga hari, ini umat Islam hanya dapat marah dan protes, namun tidak dapat berbuat banyak.

Menyikapi problematika tersebut, maka Dakwah bil Qolam menjadi salah satu alternatif yang sangat strategis untuk terus ditumbuh kembangkan budaya literasi bagi generasi muda Islam, khususnya pada kader mubalig. Maka salah satu tugas bagi para kader mubalig adalah harus mampu menjunjung tinggi kode etik yang berkaitan dengan tulis menulis (etika jurnalistik) yang sesuai dengan tuntunan zaman yang memiliki landasan sesuai dengan ajaran Islam, sebagai berikut:

a. Kemampuan untuk menyaring informasi yang keliru (Hoaks). Saat ini informasi begitu mudah untuk disebarluaskan, sehingga kader mubalig harus dapat menyampaikan informasi yang valid dan akurat. Sebagaimana yang disebutkan Qs. al-Hajj; 30. “… dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”.

b. Kemampuan dalam memahami psikologi dakwah, agar masyarakat dapat mudah memahami materi yang disampaikan, hal ini telah disebutkan dalam Qs. an-Nahl; 125. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

c. Kemampuan menganalisis atau mengidentifikasi masalah, hal ini ada kaitannya dengan kemampuan seorang mubalig dalam memahami metodologi. Untuk mendapatkan data atau informasi yang valid (shahih), maka sangat diperlukan proses pengamatan dan penelitian, khususnya dalam meneliti
kebenaran suatu berita/fakta sebelum dipublikasi ke masyarakat, paling tidak lebih awal harus melakukan klarifikasi (chek and recheck). Telah ditegaskan dalam Qs. al-Hujurat; 6. “Hai orangorang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

d. Kemampuan mengendalikan diri (self control), seorang mubalig harus mampu mengendalikan dirinya dari berbagai situasi. Akhir-akhir ini, telah banyak kita saksikan disejumlah media utamanya di Youtube dan WhatsAspp, hal ini bukan lagi masyarakat awam yang saling celah-mencelah, saling olong mengolok, saling menjatuhkan, saling membalas tudingan secara terang-terangan. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dalam mengendalikan diri yang hanya berujung permusuhan dan kebencian. Padahal telah ditegaskan di dalam Qs. al-Hujurat; 11 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.

Melihat berbagai sudut padang permasalahan di negeri ini, maka saatnya para kader mubalig umumnya masyarakat muslim untuk semakin kritis dan cerdas dalam menyerap berbagai sumber informasi, sekaligus jangan mudah terprovokasi dengan sumber berita yang tidak valid, bahkan hampir tiap hari dan tiap saat menerpa mata, telinga kita. Kini, salah satu jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi oleh umat Islam adalah menumbuhkembangkan budaya literasi (budaya membaca dan menulis) atau mendirikan lembaga jurnalistik Islami sebagai upaya membela kepentingan Islam dan umatnya, sekaligus sebagai upaya dalam menyosialisasikan nilai-nilai Islam sekaligus sebagai filterisasi atau penyaring derasnya informasi yang dapat memecah belah umat atau kesatuan negara republik Indonesia (NKRI).

Pendidikan Kader Jurnalistik Islami memiliki peran dalam mengembangkan misi “amar ma’ruf nahyi mungkar” sebagaimana ungkapan Qs. al-Imran; 104 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”, sehingga pendidikan kader jurnalistik tersebut memiliki ciri khas dan tugas dalam menyebarluaskan informasi tentang ajaran-ajaran Islam. Untuk mewujudkan hal tersebut setidaknya ada empat kunci sukses;

1) Harus memiliki SDM yang kompeten, 2) Harus memiliki manajemen atau tata kelola yang transparan, 3) Harus memiliki sarana dan prasarana yang baik dan strategis, 4) Harus mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah setempat (Walikota/Bupati). Wallahu’alam bi sawwab….. (*)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti