BONTANG – Mesti kasus tahun ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2020, namun kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih cukup tinggi di Bontang. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Bontang terus melakukan terobosan terkait langkah pencegahan maupun penanganan kasus ini.
Sarifah Nurul Hidayati, Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah (Setda) Pemkot Bontang menyampaikan, berbagai sosialisasi telah dilakukan sebagai upaya pencegahan. Seperti sosialisasi pencegahan perkawinan anak, perlindungan bagi anak penyandang disabilitas, pencegahan anak putus sekolah, hingga kampanye hari anti kekerasan di berbagai lokasi dengan melibatkan mitra kerja (stakeholder) terkait.
Selain itu, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi tenaga pendamping di lembaga layanan juga dilakukan. Peningkatan ini melibatkan petugas lembaga layanan, forum RT di seluruh kelurahan, kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), penyuluh Keluarga Berencana (KB), komunitas masyarakat, dan kelompok anak.
Sedangkan upaya penanganan terhadap korban perempuan dan anak, DPPKB juga telah membentuk tim Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak (tim PPPA) beserta Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Berdiri sejak 28 Oktober 2021, Kantor UPTD PPA berlokasi di Jalan P Suryanata (eks Sendawar) samping TK Cedrawasih. Selain itu, DPPKB juga telah menjalin kerja sama dengan Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (Dissos-PM) untuk penanganan bersama.
“Kolaborasi berkaitan dengan proses rehabilitasi melibatkan unsur kelurahan korban berdomisili, penentuan tempat pengasuhan alternatif sementara. Seperti panti asuhan atau panti sosial anak yang ada di Pemprov (Kaltim, Red.),” jelas Sarifah saat menjadi pemateri acara rapat koordinasi dan kerja sama lintas sektor pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta tindak pidana perdagangan orang yang digelar di Auditorium Taman Tiga Dimensi, Rabu (1/12/2021).
Tim PPPA, sambung Sarifah, juga turut mendampingi korban kekerasan perempuan dan anak. Pendampingan, dilakukan berdasarkan rujukan dari kepolisian, kejaksaan, maupun di pengadilan negeri. Dalam beberapa kasus, kata dia, korban meminta didampingi disebabkan ketidaktahuan tahapan yang akan dilalui selama proses hukum berjalan.
“Pendampingan juga dilakukan di dua rumah sakit dan enam puskesmas yang telah memiliki SK (Surat Keputusan, Red.) sebagai rumah sakit dan puskesmas ramah anak,” tandasnya. (bms)