Beranda OPINI Buku dan Penghapus Terbang

Buku dan Penghapus Terbang

0

(Bagian 4, Novel Bocah Bintan, Mengguggah Harapan dan Jiwa

Selasa adalah salah satu hari neraka untuk sebagian besar siswa di kelas itu. Dua jam pelajaran Matematika diawal jam belajar hari itu bisa membuat suasana pagi nan sejuk  berubah seperti “ neraka”, betapa tidak suasana hening kelas menyambut kedatangan sang guru seperti dalam suasana para terdakwa  menunggu waktu  untuk dieksekusi oleh seorang hakim pengadilan. Tiada suara canda dan ribut kelas kami, semua menjadi anak manis diatas kursi dan meja belajar, yang terdengar hanyalah degupan jantung yang semakin kencang.

Begitulah yang selalu terjadi jika kami menunggu jam pelajaran ibu Syafariah, seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan. Kerumunan uban yang banyak tumbuh dirambut depannya sering keluar dibalik kerudungnya yang melingkar, sesekali sering disapunya kembali tertutup kerudungnya. Perawakannya yang besar dan sorot mata yang tajam dibalik kacamatanya yang tebal membuat tak satupun kami dari siswanya yang berani menatap langsung wajahnya jika sedang mengajar.

Status guru “killer” disandangnya sejak mengajar di sekolah ini,  Ibu Syaf demikian kami memanggil namanya. Bagi sebagian besar murid saat itu, khsususnya paito menganggap pelajaran Matematika dengan  ibu Syaf seperti dua sisi mata uang yang sama,  memisahkan ibu syaf dari Matematika , seperti memisahkan  rasa dingin dari salju dan rasa panas dari apinya, sehingga kami sulit membedakan  takut dengan pelajaran matematika atau takut dengan sosok ibu syaf yang mengajarkannya.

Anhar sebagai ketua kelas tidak perlu lagi untuk mengintip dilubang pengintai, karena dalam sejarah dunia ajar mengajar para guru di SDN 006 beliau  adalah orang yang paling disiplin, maklum beliau tumbuh dalam dunia pendidikan di jaman Belanda yang keras, itu yang selalu beliau sampaikan kepada kami di kelas. Baginya mengajar bukan lagi kewajiban, namun dia adalah napas kehidupannya, sepertinya beliau terlahirkan untuk mengajar. Pernah suatu saat beliau masuk rawat inap di rumah sakit karena sakit tipes yang dialaminya, pada saat hari jadual  mengajarnyapun beliau nekat datang untuk memberikan pelajaran matematikanya, didampingi petugas rumah sakit PT Antam beliau tetap ngotot ke sekolah untuk  mengajar meskipun hanya beberapa saat dengan masih mengenakan baju pasien rumah sakit. kapan dan dimanapun beliau adalah orang yang disiplin, pernah saat Sekolah kami menjadi penyelenggara upacara  bendera setiap hari senin, dimana seluruh sekolah bergabung upacara bersama, ibu Syaf menjadi Pembina Upacaranya, beliau tak segan-segan menegur siswa sekolah lain  yang main-main saat berbaris dalam pelaksanaan upacara,

Saat diawal minggu aku masuk di kelas ini sebagai murid baru, Riko dan Agus teman sebangkuku sudah mengatakan kepadaku. “Qi…, nanti bila bu Syaf yang ngajar, engkau jangan nak coba-coba  pandang wajah beliau  lama-lama, engkau bisa disuruhnya kedepan pula nanti jawab soal-soal”, dengan logat melayunya yang kental Riko bicara kepadaku. “Tapi jangan pula mata engkau kesana kemari, engkau arahkan liat ke papan tulis sajalah”, ungkap Agus setengah berbisik menimpali perkataan Riko yang duduk disamping kananku. “Jika engkau macam-macam, ada penghapus terbang nanti melayang !!”. Aku hanya diam menyimak apa yang disampaikan Agus dan Riko, sambil tatapan mataku tetap menghadap ke depan.

Suara  ayunan langkah kaki semakin jelas terdengar, bunyi  hak sepatu bu Syaf kian terdengar di telinga kami, “keletok…..keletok….keletok”, pelan tapi pasti suara itu semkin mengeras  kearah pintu  kelas kami. Wajah itu akhirnya muncul di mulut pintu kelas , tanpa ekspresi dan   senyuman seperti guru yang lain,  langsung saja Ibu syaf masuk ke dalam ruangan kelas, jalannya melambat ditangan kanannya mengapit ke pinggangnya setumpuk buku tulis dan tas hitam besarnya tergantung di bahu kirinya. Segera saja beliau meletakkan tumpukkan buku disisi kanan meja dan meletakkan tasnya di atas gantungan sudut kursi, kemudian duduk.

Aku bisa merasakan suara detakan jantungku semakin kencang dan akupun tahu  35 siswa kelas 5 seluruhnya sedang merasakan hal yang sama, hormon adrenalin kami meningkat. Anhar  yang duduknya di deretan terdepan memberikan aba-aba kepada kami semua, “Siaaap,,,,,beri saalam !”, dengan suara tenornya yang khas. “Assalamu ‘alikum warahmatullah wabarakatuh”, serentak kami ucapkan bersama salam kepada beliau. Aku hanya melihat mulutnya bergerak menjawab salam kami, suaranya nyaris hanya terdengar di barisan depan saja, matanya tetap memandang buku induk absensi guru yang sudah ada dihadapan beliau.

Setelah itu, beliau mengambil tumpukkan  buku tugas matematika yang tadi beliau letakkan disudut meja, kemudian diambilnya satu persatu dekat kehapannya , sambil  merubah posisi kacamatanya sedikit ke atas ubun-ubun rambutnya yang tertutupi kerudungnya. Tiba-tiba aku terkejut, “Roni..!, ambil buku engkau ! “,  bu Syaf sedikit berteriak, aku melihat buku itu terbang dan jatuh dilantai kelas, ibu syaf membuangnya. “Syafruddin..!”, buku itu kembali terbang dengan tangan kanannya, bu syaf membuang ke lantai lagi dengan keras nyaris sampai di depan pintu kelas, tergopoh-gopoh Syafruddin dari bangku belakang untuk mengambilnya.

Kurang lebih sepuluhan buku berturut-turut dilempar dan saat buku tulisnya Paito di bagikan, “Paitoooo……!”, voleme suara ibu Syaf kemudian meninggi, beliau  melemparnya dan beberapa lembar  halaman terlepas seperti layangan limbung dari bukunya. Aku hanya diam terpana memandangnya dan  menahan napas, sambil berbisik ke Agus, “Gus….kenapa buku itu dilempar”. “Sssssstttttt,,nanti engkau tahu sendirilah”, pelan-pelan dia menjawabku, kepalanya tetap menghadap kedepan.

Ketika giliran bu syaf menyebut nama Anhar, volume suara bu Syaf menurun sambil ia memperbaiki letak kacamatanya, kemudian meletakkan buku tugasnya Anhar di atas meja, lantas Anhar mengambilnya dengan  penuh percaya diri  diatas meja,  demikian pula saat bu syaf menyebut nama Bambang, Syamsul, Wicaksono,  Saimah, Nur, Tri dan sedikit saja tidak sampai sepuluh buku aku hitung yang diletakkan diatas meja. Sebagai murid baru, pemandangan itu membuat aku menjadi ciut, sungguh  entah apa alasan mengapa beliau melakukan cara seperti itu.

Pada akhirnya aku tahu dan maklum mengapa bu Syaf melakukan hal itu, ternyata semua murid yang  mendapatkan nilai dibawah  angka 6 dalam setiap tugasnya, pasti akan mengambil bukunya dengan cara membungkuk  memungutnya di lantai, pokoknya semakin  rendah nilainya maka lemparannya semakin keras. Itulah sebabnya Paito sering mengganti buku tugas matematikanya, entah sudah berapa kali dia ganti karena sering terlepas sampulnya ketika dilempar ibu Syaf.

Aku bisa merasakan bagaimana suasana isi perasaan ketika membungkuk dan mengambilnya dilantai,  sungguh seperti orang hina, perasaan malu dihadapan teman-teman. Pada akhirnya aku pernah merasakannya langsung, bahkan mungkin terbilang  langganan mengambilnya dilantai, yah mengambil buku sendiri dengan membungkuk. Hal itu pula yang kami sadari tujuan beliau melakukannya untuk membangkitkan kepada kami untuk lebih giat belajar, hingga suatu saat kami akan mengambilnya secara terhormat didepan mejanya langsung.

“Ibu tak ingin kalian jadi anak yang bodoh karena malas belajar, camkan baik-baik maksud ibu, siapa yang sungguh-sungguh belajar dia yang bisa. Ini hanya pelajaran pecahan dan  desimal yang gampang, tapi teeetaap saja kalian tak paham-paham  !!!”, suara bu Syaf memecah keheningan kelas. “jangan jadi budak-budak manja, nilai  itu bukan untuk ibu, bukan pula untuk orang tua kalian semua , tapi untuk kalian sendiri !!”. Tiba-tiba penghapus papan tulis terbang ke arah bangku bagian belakang, “Arga….!, kau dengar ta’, apa yang ibu cakapkan tadi !!,  tengok pandangan  kau tuh, seperti telur mata sapi, kosong !”. Lemparan bu syaf persis mendarat di meja Arga dan memantul ke pelan ke hidungnya. Sambil membersihkan serbuk kapur putih di hidungnya, Arga gugup mengatakan, “Saya dengar….bu”.  “Apa yang ibu cakapkan tadi….!”,  ujar bu Syaf tegas. “Iya bu, jangan seperti telur mata sapi bu..”, jawab Arga gugup, namun jawabannya nyaris meledakkan tawa kecil kami, namun bisa kami tahan karena takut bu syaf tambah marah keapada kami semua.”Dasar murid bebal…!”, Ibu Syaf menimpali jawaban Arga, mungkin jika  masih ada penghapus di mejanya, bu syaf  pasti akan melemparkan ke arahnya lagi.

Buku dan penghapus terbang menjadi bagian keunikan dalam jam pelajaran Matematika bu Syaf, belum lagi jurus hukuman bu Syaf yang lainnya yang pernah dirasakan oleh kami, cubitan maut di pinggang, hukuman meletakkan kepala di bawah papan tulis selama ia mengajar, tarikan kecil ujung rambut dekat telinga khususnya murid laki-laki yang bebal dalam pelajarannya. Saat itu aku baru benar-benar merasakan kebenaran tulisan di papan nama sekolahku, mungkin harus dinikmati sebagaimana pesan moral dalam tulisan senior tersebut. (***)

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version