Oleh: Sunarto Sastrowardojo
Direktur Eksekutif Rusa Foundation Indonesia
INDONESIA sudah berumur 77 tahun, tapi bukan negeri Nobel. Penghargaan Nobel dianugerahkan setiap tahun kepada mereka yang telah melakukan penelitian yang luar biasa, menemukan teknik atau peralatan yang baru, atau telah melakukan kontribusi luar biasa ke manusia.
Sejak tahun 1902, penghargaan ini secara formal dianugrahkan oleh Raja Swedia. Awalnya, Raja Oscar II tidak menyetujui pemberian penghargaan kepada orang asing, namun kemudian dia mengubah sikapnya, setelah menyadari nilai publisitas penghargaan tersebut terhadap negara Swedia.
Yuk kita ulik perjalanan bangsa Indonesia. Tragedi PKI di Indonesia tidak diklarifikasi. Omnibus Law dipakai oleh orang rang yang mampu mencari celah dengan ekspansi tenaga kerja yang agaknya tidak berpihak kepada anak anak Indonesia yang ungkir balik, jibaku menempuh Pendidikan formal pun.
Omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu, 20 Oktober 2019. Perjalanan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja yang melahirkan konflik baru, ya baru benar benar baru karena pekerja lokal atau anak anak Indonesia harus bersaing dengan buruh kasar China secara sah. Bahkan berantem.
Republik ini pelopor demokrasi, terbuka yang melakukan pemilihan umum, presiden secara langsung pertama di bumi, tapi belakangan Freedome House katanya menurunkan level demokrasi menjadi setengah bebas.
Indonesia merupakan negara yang memiliki area hutan lindung terluas kedua di dunia. Berdasarkan laporan Global Forest Resources Assessment 2020 yang dirilis Food and Agriculture Organization (FAO), luas kawasan hutan lindung di Indonesia mencapai 51,7 juta hektare. Belakangan omnibus law membabati hutan Papua, Kalimantan dengan cara yang satirisme dengen kepentingan masyarakat banyak.
Demokrasi pun pola penumpasannya hingga ke kampus. Bahkan konsep Pendidikan Indonesia yang mencoba menghilangkan didikan budi pekerti di sekolah sekolah. Bahkan pesantren dijamin hidupnya tapi ndakboleh ngomong dan mengkritik pemerintah, jadi basis radikalisme.
Di negeri demokrasi bebas berbicara, tapi makan mencari sendiri sedangkan di negeri komunis tidak boleh atau tidak bebas omong, tapi makan dijamin negara. Terakhir wacana kelanjutan masa jabatan tiga kali atau penundaan pemilu yang hampir terlaksana, catatannya.
Kembali ke Nobel. Nobel Prize pada bidang sastra 2022 tahun ini jatuh kepada Annie Arnaux. Penulis asal Perancis. Mengapa bukan pekarya sastra Indonesia, padahal Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan dan karyanya mendunia.
Dewi Lestari, dilahirkan di Bandung, 20 Januari 1976. Supernova adalah novelnya pertama yang direncanakan sebagai suatu novel serial dengan spirit penelusuran terhadap spiritualitas dan sains. Novel ini mampu mencapai 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar. Supernova berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books (2001). Buku ini juga berhasil menembus pasar internasional dan diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Hingga saat ini Dee Lestari telah menulis lebih dari 10 judul buku.
Lalu Nurhayati Srihardini lahir 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Di usia 9 tahun sudah
Menulis buku Merdeka dan Merah Putih. Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda.
N.H Dini menulis banyak puisi, novel, dan buku terjemahan. Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internasionale (1987).
NH Dini juga menerima Penghargaan Sepanjang Masa atau Lifetime Achievement Award dalam malam pembukaan Ubud Writers and Readers Festival 2017. Lalu Leila S. Chudori. Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di kelas V SD, ia telah mempublikasikan karyanya di majalah. Cerpen pertamanya yang berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung (1973).
Sejak itulah, ia memulai karier menulisnya dan melahirkan karya-karyanya. Setelah kuliah, ia mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan, serta majalah Zaman dan Matra. Perempuan kelahiran 12 Desember 1962 ini adalah seorang wartawan. Ia berhasil menyabet penghargaan South East Asia Write Award pada tahun 2020 atas novelnya, Laut Bercerita. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tujuh karya yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, dan lain-lain.
Djenar Maesa Ayu, Nai memulai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri. Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen “Lintah” (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas.
Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet! (2004). Buku itu telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003.
Mereka melakukan olahnalar membentuk dunia dan manusianya untuk lebih sempurna. Sama seperti yang dilakukan oleh Annie Ernaux yang menerima Nobel Saastra tahun ini. Bahkan karyanya Passion simple pada tahun 1991 ruhnya mirip Supernova nya Dewi Lestari.
Indonesia tidak berhasil memboyong Nobel Sastra, bukan karena sastrawan, seniman, budayawan dan pemikirnya tidak mengajari warga negara menjadi lebih sempurna, toh. Tapi karena mereka yang tidak paham ilmu marketing politik seperti Raja Swedia itu. (**)