spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Branding Sumenep: Sebagai Kota Keris (1)

  1. Sejarah Kabupaten Songenep

Nama Songènèb sendiri dalam arti etimologinya merupakan Bahasa Kawi/Jawa Kuno yang jika diterjemahkan mempunyai makna sebagai berikut: Kata “Sung” berarti sebuah relung/cekungan/lembah, dan kata “ènèb” yang berarti endapan yang tenang, maka jika diartikan lebih dalam lagi Songènèb / Songennep (dalam bahasa Madura) mempunyai arti “lembah/cekungan yang tenang”.

Dalam kitab Pararaton tentang penyebutan daerah “Sumenep” pada saat Raja Singhasari terakhir sang Prabu Kertanegara mendinohaken (menyingkirkan) Arya Wiraraja (penasehat kerajaan dalam bidang politik dan pemerintahan) ke Wilayah Sumenep, Madura Timur pada tahun 1269 M. “Hanata Wongira, babatangira buyuting Nangka, Aran Banyak Wide, Sinungan Pasenggahan Arya Wiraraja, Arupa tan kandel denira, dinohaksen, kinun adipati ring Sungeneb, anger ing Madura wetan”. Yang artinya: “Adalah seorang hambanya, keturunan orang ketua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan disuruh menjadi adipati di Sumenep. Bertempat tinggal di Madura timur.”

Apabila dikaji dari sisi politik (kepentingan), Prabu Kertanegara bukanlah menyingkirkan Arya Wiraraja namun justru memberikan kekuasaaan sebagai Adipati (Bupati) di Songenep yang wilayah kekuasaannya adalah seluruh Madura dan beberapa daerah kepulauan. Mengapa Madura dianggap penting oleh Prabu Kertanegara? Karena Madura selain memiliki bala tantara, memiliki orang yang ahli dalam membuat senjata, serta memiliki tingkat solidaritas tinggi (kesetiakawanan yang tinggi). Istilah rupa-rupanya tidak dipercaya yang tertulis dalam pararaton memiliki arti yang subyektif dari pandangan sempit penulisnya, karena bukan berasal dari fakta yang sebenarnya.

Dalam Kidung Harsawijaya menceritakan Jayakatwang menyimpan dendam karena leluhurnya (Kertajaya) dikalahkan Ken Arok pendiri Singhasari. Suatu hari ia menerima kedatangan Wirondaya putra Arya Wiraraja yang menyampaikan surat dari ayahnya sebagai balasan “formal” terhadap permintaan pertimbangan yang diajukan Jayakatwang sebelumnya, mengingat Arya Wiraraja adalah dianggap sesepuh Jayakatwang.

Dimana isi pertanyaan surat sebelumnnya mungkinkah Jayakatwang bisa melakukan balas dendam terhadap Kertanegara akibat kekuasaan Kadiri yang merupakan leluhur Jayakatwang telah ditaklukkan Singhasari leluhur dari Kertanegara, Atas pertanyaan ini Arya Wiraraja menyarankan supaya Jayakatwang jika telah terpikirkan secara matang segera melakukan penyerangan karena saat itu Singhasari sedang dalam keadaan kosong, ditinggal sebagian besar pasukannya ke luar Jawa. Pasukan Singhasari Sebagian besar di supply oleh Arya Wiraraja sendiri.

Adapun Arya Wiraraja adalah mantan pejabat Kerajaan Singhasari yang dimutasi ke Songenep karena dianggap sebagai penentang politik Kertanagara. Yang pada akhirnya di kemudian hari Arya Wiraraja menyayangkan dan sangat menyesali terhadap apa yang dilakukan oleh Jayakatwang. Ada rentang waktu sekitar 23 tahun, saat Arya Wiraraja dimutasikan ke Songenep adalah tahun 1269 sedangkan peristiwa Penyerbuan Jayakatwang ke Singhasari adalah tahun 1292. Jayakatwang sendiri akhirnya menasbihkan dirinya menjadi Raja Kediri menggantikan Singhasari.

Peranan Adipati Arya Wiraraja menjadi penting tatkala Prabu Kertanegara gugur akibat serangan mendadak dari Jayakatwang tersebut. Raden Wijaya yang menantu Prabu Kertanegara melarikan diri ke Songenep, minta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Apabila benar bahwa penyulut niatan Jayakatwang menyerbu Kerajaan Singhasari adalah Arya Wiraraja, maka dengan mudahnya ia menyingkirkan pula Raden Wijaya. Namun Arya Wiraraja justru menyarankan kepada Raden Wijaya agar memohon ampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya menurut, dan menyerahkan diri kepada Jayakatwang, namun malah diberi hadiah berupa hutan untuk perkampungan. Saat membuka hutan tersebut banyak ditemukan buah maja, ketika dimakan rasanya pahit lalu mereka berteriak “majapahit”, seketika desa tersebut dinamakan Majapahit.

Pada tahun 1293, pasukan Mongol tiba ditanah Jawa tepatnya di Pelabuhan Tuban, dengan maksud untuk menghukum Prabu Kertanegara karena telah berani menentang kekuasaan Mongol. Dua utusan Mongol yang datang ke Kerajaan Singhasari pada tahun 1289 telah diiris telinganya oleh Prabu Kertanegara. Tilik sandi Raden Wijaya segera memberitahukan kedatangan pasukan Mongol ke tanah Jawa tersebut. Raden Wijaya segera menyambut kedatangan pasukan Mongol yang akan menghukum Raja Jawa (sebutan untuk Prabu Kertanegara), dan siap untuk membantu menyerang Raja Jawa tersebut.

Pada saatnya tiba, pasukan Mongol yang dibantu oleh Raden Wijaya menyerang Prabu Jayakatwang (yang dikira adalah Prabu Kertanegara). Serangan tersebut mengakibatkan ribuan pasukan Kediri gugur, sedangkan Prabu Jayakatwang menjadi tawanan Mongol, konon ia meninggal di dalam tahanan penjara Hujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman

Raden Wijaya pun mendirikan kerajaan Majapahit dengan gelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293. Atas jasa Arya Wiraraja, kemudian memberikan kekuasaan sebagai Adipati Lumajang (versi lain adalah Kerajaan Lamajang Tigang Juru) yang kelak di Jawa Timur disebut budaya Pandalungan. (Bersambung)

Ditulis oleh:
Begawan Ciptaning Mintaraga, Bidang Edukasi Senapati Nusantara
(Anggota Dewan Pembina Panji Beber Kota Bontang)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti