spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Bontang Lebih Parah, Kutim Naik Pesat

DATA Simfoni PPA pada 12 Desember 2021 menyebut Bontang berada di posisi kedua kasus kekerasan terbanyak di Kaltim setelah Samarinda. Yaitu sebanyak 67 kasus. Sementara menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Bontang, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tercatat 128 kasus. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2020 ada 167 kasus  dan 2019 ada 77 kasus.

Dari angka tersebut, kekerasan terhadap anak didominasi kasus pelecehan seksual, yaitu sebanyak 33 persen. Disusul kasus kekerasan anak sebagai pelaku sebanyak 22 persen dan kasus penelantaran anak 21 persen. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak adalah kasus kekerasan fisik dalam rumah tangga (KDRT), yaitu sebanyak 48 persen (selengkapnya lihat infografis).

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Bontang Marlina mengatakan, dari data kasus tersebut sebagian besar berlanjut hingga ke kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Dia mencontohkan, kasus kekerasan perempuan, umumnya disebabkan karena sang suami yang suka meminum minuman keras, mengonsumsi narkoba, termasuk terlibat dalam perselingkuhan.

Sedangkan kasus kekerasan anak, umumnya terjadi lantaran tidak berjalannya fungsi keluarga, berlebihan dan terlalu bebas dalam mengakses internet pada handphone, kurangnya edukasi seksual, hingga masih belum maksimalnya sarana pusat kreativitas yang dapat mengakomodasi dan menyalurkan bakat anak. “Wilayah dengan kasus terbanyak terjadi di Kecamatan Bontang Utara,” tambahnya.

Dia mengatakan, berbagai upaya dilakukan DPPKB dalam meminimalisasi kasus kekerasan di antaranya, gencar menyosialisasikan keberadaan UPTD hingga ke tingkat RT dan wilayah pesisir. Lewat sarana tersebut, diharapkan masyarakat tidak takut lagi untuk melapor, tidak lagi mengadu di media sosial (medsos), serta menjadi wadah dalam berkoordinasi dengan berbagai lintas sektoral di Kota Taman.

Selain itu, pendampingan terhadap korban juga dilakukan agar tidak menimbulkan trauma berkepanjangan, termasuk pendampingan melalui proses hukum. “Kami juga bekerja sama dengan Kemenag (Kementerian Agama) untuk memberikan edukasi dalam kegiatan bimbingan kepada calon pengantin. Sebab usia pernikahan dini masih rentan terjadi kekerasan,” bebernya.

BEDA DATA

Kasus kekerasan di Kutai Timur juga tercatat lebih banyak dari data Simfoni PPA. Data Simfoni PPA hanya mencatat 14 kasus. Sementara data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan  Anak (DP3A) Kutim mencapat sampai November 2021 terjadi 76 kasus kekerasan. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2019 di Kutim ada 62 kasus dan pada 2020 ada 47 kasus.

“Kasus pada 2021 memang jauh meningkat dibanding 2020,” ungkap Kepala DP3A Kutim, dr Aisyah saat ditemui Media Kaltim, Jumat (10/12/2021). Namun dia belum menganalisa penyebab kasus tahun ini mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Bisa jadi katanya, karena warga mulai sadar bahwa mereka berhak dilindungi, sehingga mereka berani melapor atau menyampaikan aduan kepada pihak berwenang.

Dari angka itu, kasus kekerasan terhadap perempuan ada sebanyak 37 kasus, sedangkan kekerasan terhadap anak sebanyak 39 kasus. Aisyah mengatakan, jenis kekerasan terhadap perempuan beragam, mulai fisik hingga psikis. Seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga penelantaran.  “Sementara kasus kekerasan pada anak didominasi  kasus kekerasan seksual,” jelasnya.

Dia mencontohkan, anak berusia 13 tahun yang dirudapaksa 4 temannya baru-baru ini di Kutim.  Menurutnya yang terjadi pada anak-anak, terutama kekerasan yang dialami mereka, akibat kurangnya komunikasi antara anak dan orangtua. “Kasus anak yang dirudapaksa temannya akibat kurang perhatian dan pengawasan dari orangtua.  Tidak ditanyakan kegiatan sehari-hari dan tak dipantau keberadaan si anak,” ungkapnya.

Untuk itu, kata Aisyah, instansinya telah membentuk tim untuk melakukan sosialisasi melalui majelis taklim dan sekolah tentang parenting, sehingga anak-anak tahu atau minimal bisa melindungi dirinya sendiri. “Kami juga sudah membentuk Pusat Konsultasi Keluarga (Puspaga), sebagai tempat konsultasi, ibu, bapak maupun anak. Kami berharap permasalahan, seperti minimnya komunikasi antara anak dan orang tua dapat teratasi.,” ujar Aisyah.

DP3A, lanjut Aisyah, juga membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Fungsinya pencegahan secara dini yang sudah didukung masyarakat sekitar. “Kalau ada gelagat yang tidak bagus, masyarakat ikut peduli dan memberi nasihat.  Terkadang permasalahan antara anak dan orangtua adalah kurangnya komunikasi,” ujarnya. Dengan 3 program ini, ia berharap kekerasan anak dapat diminimalisasi. (bms/ref)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti