MAHULU – Hamsir dengan sigap membuka ikatan pada karung putih berkapasitas 50 kg. Lelaki kelahiran Masamba, Sulawesi Selatan, 48 tahun lalu itu tanpa ragu menunjukkan pasokan biji kakao yang telah siap kirim. Di rumahnya di RT 5, Long Bagun Ulu, Long Bagun, Mahakam Ulu, tak kurang dari 7 karung penuh dengan kakao yang telah siap untuk dikapalkan ke Samarinda.
Hamsir memang dikenal para petani di sekitar Kecamatan Long Bagun sebagai pengepul kakao kering. Aktivitas itu sebenarnya bagian kecil dari usaha jual-beli beragam kebutuhan pokok. Mulai dari BBM, material bangunan, bahan makanan, hingga ragam kebutuhan rumah tangga, disediakan Hamsir. Bahkan penjualannya juga menjangkau beberapa kecamatan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.
RT 5 Long Bagun Ulu, posisinya berada di sebelah kanan arah hilir Sungai Mahakam. Berada satu hamparan dengan Kampung Batu Majang, yang masih masuk wilayah Kecamatan Long Bagun. Jalur logging yang dipakai PT Sumalindo Lestari Jaya, dan beberapa perusahaan HPH lainnya, adalah alasan kenapa ada jalur ekonomi dari Mahakam Ulu menuju Malinau. Dari situ pula, distribusi barang ke lokasi yang belum terjangkau jalur darat dari pusat pemerintahan Malinau, membuat warga di Kecamatan Kayan Hulu dan Kecamatan Sungai Boh mendapat suplai berbagai kebutuhan hidup dari Long Bagun.
Tak hanya mengirimkan barang ke lokasi-lokasi yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu, Hamsir juga menerima berbagai hasil bumi. Di antaranya adalah kakao dan lada. Selain ia menampung pula kakao hasil panen petani di Mahulu.“Ini jalan dua tahun. Awalnya karena beberapa petani tanya tentang pasar kakao di Samarinda. Karena saya sering belanja di Samarinda, sekalian cari pasar untuk jual kakao dari Mahulu,” ungkapnya.
Perlahan, nama Hamsir mulai dikenal petani kakao sebagai pengepul. Masyarakat mendapat kemudahan karena berapa pun stok yang dibawa petani, selalu diterima olehnya. Beberapa di antaranya bahkan ada yang menjual hanya setengah kilogram. “Saya memang tidak membatasi berapa berat minimal bisa saya terima. Pernah ada penjual yang hanya bawa setengah kilo, tetap saya terima,” ungkap bapak dua anak itu.
Ketekunan Hamsir mengumpulkan kakao, ternyata disambut baik pasar di Samarinda. Harga jual kakao di Samarinda cukup variatif. Tergantung kualitas biji kakao kering yang dikirimkannya. Harga minimal Rp 25 ribu untuk kualitas nomor 3.
“Ada perbedaan kualitas (kakao kering) dari petani, mungkin karena belum sempurna dalam hal pengeringannya. Mungkin kalau pengeringan pakai mesin, kualitas kakao bisa sama,” tutur pria yang telah bermukim di Long Bagun sejak 2000 itu. Meski demikian, rata-rata Hamsir dalam sebulan bisa mengapalkan 1 ton kakao kering ke Samarinda.
Tanaman kakao menjadi komoditas perkebunan rakyat unggulan asal Mahakam Ulu. Luas areal tanamnya meningkat setiap tahun. Di 2018 tercatat seluas 857 hektare dan meningkat menjadi 1.692 hektare di tahun 2020. Lahan seluas itu dikelola sedikitnya 224 petani yang tersebar di beberapa hampir seluruh kecamatan di Mahulu. Beberapa kecamatan menjadi sentra produksi di antaranya Long Pahangai dengan produksi 10.2 ton per bulan, Long Apari 8 ton per bulan, Laham 5 ton per bulan. “Total produksi kakao di Mahulu mencapai 30 ton per bulan atau 360 ton per tahun,” ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Mahulu Saparuddin di kantornya akhir September 2020 kepada kontributor media kaltim.
Biji kakao yang diproduksi petani Mahakam Ulu memiliki banyak keunggulan kualitas. Pertama, ditanam dengan perlakukan organik tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimiawi. “Mutunya di grade A sampai A plus. A kualitas nomor 1 sedangkan A plus kualitas super layak di pasar internasional,” ujar Saparuddin menceritakan hasil pengujian kualitas biji kakao Mahulu di sebuah laboratorium di Samarinda.
Walaupun memiliki kualitas kelas wahid dan super banyak petani masih menemui kendala. Di antaranya rendahnya produksi karena pola tanam yang terlalu rapat. Begitu juga serangan seperti monyet dan tupai yang kerap menyerbu kebun warga ketika musim panen tiba. Hal ini berpengaruh pada kestabilan pasokan biji kakao sehingga menyulitkan untuk kerjasama dengan distributor.
Selain didampingi penyuluh pertanian dari DKPP Mahulu, para petani juga mendapat pendampingan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat maupun program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan segala keterbatan itu, perputaran uang dari bisnis kakao kering di petani Mahulu tak bisa dipandang sebelah mata. Dengan produksi 360 ton per tahun dan harga jual rata-rata mencapai Rp 25 ribu per kilogram, artinya terjadi perputaran uang Rp 9 miliar per tahun atau Rp 750 juta per bulan di kantong petani.
Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu juga telah berupaya meningkatkan nilai lebih biji kakao. Salah satu caranya dengan memberi pelatihan dan bantuan mesin sederhana mengolah biji kakao menjadi bubuk coklat untuk minuman dan lemak kakao untuk bahan baku kecantikan. Bahan turunan ini dibuat oleh Kelompok Tani Menguyun Urip IV bekerja sama dengan BUMK Kampung Long Isun.
Produksi terbesar yang pernah dicapai sebanyak 11 kilogram bubuk olahan. Sementara masih diedarkan di sekitar kabupaten. Setiap ons bubuk coklat dihargai Rp 15 ribu atau Rp 150 ribu per kilogram. Sementara lemak kakao dijual Rp 30 ribu per ons atau Rp 300 ribu per kilogram.
“Kita coba mengubah pola pikir budidaya agar hasilnya semakin baik dan konsisten supaya dilirik distributor. Harapannya Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) bisa berpartisipasi,” tandasnya. (*/kk/red)