Beranda BONTANG Biar Aku yang Antre Minyak Goreng, Mak

Biar Aku yang Antre Minyak Goreng, Mak

0

Cerpen: Muthi’ Masfu’ah

“Di sini beli minyak goreng, bolehnya satu! Tahu nggak?!” teriak emak berbaju orange sangar, kepada salah satu pengunjung supermaket siang itu.

“Ini bukan untukku semua, aku ngambilkan temanku!” balas emak, lawan bicaranya tak kalah nyaringnya.

“Huuuuuuu.!!” teriak pengunjung supermaket lainnya, di tengah kerumunan, berebut minyak goreng siang panas itu. Entah ini sudah minggu atau bulan keberapa suasana panas, antrean minyak goreng dimana-mana. Tak hanya di pasar, di supermaket, di toko-toko. Semua antre beli minyak goreng.

Aku menyeka peluh, ikutan antre minyak goreng di supermaket itu. Yap, kelangkaan minyak goreng saat ini masih terasa di sejumlah wilayah Indonesia. Bahkan, untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga Rp 14.000 yang telah ditetapkan pemerintah warga pun harus rela mengantre berjam-jam. Untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga murah pun, tidaklah mudah bagi warga. Sebab, mereka harus saling berebutan. Bahkan, di beberapa tempat ada yang mewajibkan syarat untuk membeli minyak goreng seperti membawa kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK).

Ada juga yang meminta untuk mencelupkan jarinya ke tinta menandakan bahwa warga telah membeli minyak goreng di tempat tersebut. Bak pemilu saja, membeli minyak goreng harus menyelupkan jari ke botol tinta.

Bahkan mataku menyapu antrean panjang para emak, yang rela antre berjam-jam sambil gendong anaknya. Mungkin ia harus  rela mengantre tiga jam untuk mendapatkan minyak goreng. Bahkan bisa jadi harus menutup usahanya dan datang lebih awal agar mendapat minyak goreng dengan harga Rp 14.000 per liter.

“Kemarin saya disuruh mencelupkan jari ke tinta. Saya beli 2 liter minyak goreng seharga Rp 27.000,” kata seorang emak berjilbab kelabu dengan peluh membasahi pipinya.  Ya, memang di beberapa tempat, pembeli  diminta untuk mencelupkan jarinya ke tinta saat akan membeli minyak goreng di salah satu swalayan.

Walau beragam pendapat, tapi kebanyakan para emak mengaku tidak mempermasalahkan harus mencelupkan jari ke tinta saat akan membeli minyak goreng di swalayan tersebut. “Tidak masalah bagus juga kaya ini. Saya beli minyak goreng dengan ukuran 2 liter dengan harga Rp 28.000. Asal dengan minyak itu saya bisa jualan donat lagi,” kata emak berjilbab putih lusuh bercampur peluh.

“Biasanya juga bawa KTP dan KK untuk bisa dapatkan 5 liter di tiap RT, tapi ya tetap antre juga,” emak lain menimpali.

Aku bermandi peluh, aku pun sudah 2 jam  berdiri mengantre untuk masuk ke swalayan, membeli minyak goreng. Untuk meringankan emakku, daripada emak yang harus mengantre. Sebenarnya cukup saja hanya 2 liter berhemat memakainya. Tapi emakku membutuhkan minyak goreng untuk berjualan.

Yap, sudah bertahun-tahun emak berjualan gorengan depan rumah untuk menyambung hidup kami, juga biaya sekolah kami. Kami bertiga saudara masih sekolah semua. Dan emak adalah orangtua satu-satunya kami yang mencarikan rezeki, semenjak 3 tahun ayah wafat.

Siapapun tak akan tega bila harus emak yang mengantre beli minyak goreng. Biarlah aku yang berjam-jam berdiri disini. Entah sampai kapan keadaan ini. Tak pernah aku membayangkan Indonesia bisa seperti ini.  Mengantre minyak goreng.

*

Belum usai himpitan ekonomi akibat pandemi yang panjang, beban masyarakat semakin bertambah dengan naiknya kebutuhan pokok, yang terakhir malah minyak goreng yang tiba-tiba langka sulit didapatkan. Kelangkaan minyak goreng hingga hari ini, di beberapa daerah melalui berita televisi nasional, diinformasikan bahwa bukan hanya minyak goreng yang langka dan  harganya naik tetapi juga cabai, bawang, telur dan gas elpiji. Aku yang baru duduk di bangku SMA kelas 3, dengan sederhana pikiranku. Kenapa pihak pemerintah cenderung mengatakan bahwa stok cukup? Kalau benar, artinya ada masalah di distribusi. Indonesia ini luas, terpencar-pencar sampai ke pulau-pulau kecil dan jauh. Mudah sekali terhambat oleh jalur distribusi.

Kalau distribusi dari sentra-sentra industri yang umumnya di Jawa, maka Pemerintah Daerah harus berani dong, mengkondisikan agar daerahnya berdaulat di bidang pangan. Tidak seperti saat ini.

Juga Kaltim, menurutku, bukankah termasuk daerah penghasil kelapa sawit terbesar tapi minyak goreng sebagai bagian hulu industri sawit ternyata juga dilanda kelangkaan. Kok bisa?

Apakah kelangkaan itu karena harga ekspor lebih tinggi, hingga pemerintah lebih tertarik mengekspor minyak ketimbang memenuhi kebutuhan rakyatnya?  Atau karena terhambat di distribusi ke daerah? Mungkin karena faktor itu kah?

Mungkin kelangkaan minyak karena ada yang menyimpannya ‘dibawah bantal’  dan melepasnya sembunyi-sembunyi  dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga pembelian rakyat biasa?

Entahlah.

Kalau penyebab kelangkaan minyak goreng ini karena ada unsur kesengajaan untuk menyusahkan rakyat seperti kami dan untuk kepentingan pribadi, maka sungguh rugilah usaha mereka di dunia dan minyak goreng yang mereka timbun itu akan menjadi minyak yang menggoreng tubuh mereka di hari kiamat nanti. Karena melalaikan tanggungjawab dan hanya mementingkan diri sendiri.

Aku mengusap peluh, entah kesekian kalinya. Hari ini aku masih mengantre minyak goreng untuk jualan emakku besok. Masih panjang antrean di belakangku. Panas matahari terus menyengat. Menyengat hati-hati kami… Entah sampai berapa hari, minggu atau bulan lagi. Kami mengantre di sini.

*) Penulis adalah Direktur Pelaksana Harian Yayasan RK Salsabila, Ketua Komunitas Guru Kreatif Suka Menulis, Kampung Dongeng Bontang dan Ketua Abi Literasi Kaltim

TIDAK ADA KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Exit mobile version