SAMARINDA — Bunyi klakson bersahutan dari satu pengendara ke pengendara lainnya. Kota Samarinda selalu sibuk pada jam-jam pulang kerja, ketika kami mengikuti kegiatan susur kota.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Muhammad Alfi Irsyandi, yang mengajak kami mengitari jalan-jalan di Samarinda, kota yang kini dipenuhi plang “Hati-Hati, Sedang Ada Pengerjaan Proyek.”
Mengendarai motor Honda PCX berwarna merah, Alfi—sapaan akrabnya—perlahan menancap gas menuju Jalan Slamet Riyadi, tepat di depan Kantor Polresta Samarinda. Langit kota kala senja, menemani putaran roda motor kami.
“Sekarang Samarinda sering macet,” katanya sambil memperbaiki helm yang agak longgar.
Ia mengajak kami merasakan kemacetan. Belakangan ini, masyarakat Samarinda mulai mengeluhkan pengerjaan drainase di jalan-jalan utama. Bagi Alfi, kemacetan yang ditimbulkan proyek tersebut sangat mengganggu.
“Kita tidak diberi tahu kapan ini selesai, tapi kalau dibiarkan, kemacetan seperti ini bisa sangat mengganggu masyarakat,” lanjutnya sambil berusaha menyalip kendaraan di jalan yang terasa sempit.
Dari penelusuran Media Kaltim, proyek yang diinisiasi Wali Kota Samarinda, Andi Harun, ditargetkan selesai sebelum akhir tahun. Sayangnya, pengerjaannya seakan tidak digenjot. Sore itu, kami tidak melihat adanya pekerja di lokasi.
Sejengkal demi sejengkal, kami berhasil maju ke depan. Klakson akrab di telinga, dan para pengendara sibuk mencari celah. Akhirnya, kami berhasil keluar dari kemacetan.
Kami melanjutkan perjalanan ke Jalan Pasundan. Di sana, Alfi menunjukkan jalanan yang mulai berlubang, padahal pengerjaannya baru selesai kurang dari setahun.
“Cukup disayangkan, seharusnya pemerintah kota meninjau hasil pengerjaan. Karena ini bisa membahayakan pengendara. Siapa yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu?” jelasnya.
Perjalanan tidak berhenti di situ. Kami diajak melihat pengerjaan di Jalan K.S Tubun yang kondisinya cukup memprihatinkan.
“Lihat, ada lubang besar tapi tidak ada tanda peringatan. Harusnya diberi penghalang,” tunjuknya ke salah satu lubang yang cukup dalam.
Langit Samarinda semakin gelap, tapi perjalanan belum usai. Kesibukan sore berganti menjadi kesibukan malam. Jalan K.S Tubun tidak semacet sebelumnya, namun kami terpaku pada lubang menganga yang berpotensi membahayakan pengendara.
Alfi berhenti, mengajak kami mengamati lubang tersebut. Kami kira kedalamannya sekitar 1,5 meter. Tidak ada penghalang, hanya tiang kayu yang tertancap sebagai penanda.
“Samarinda, kota peradaban ini, kini berubah menjadi kota proyek dan kemacetan,” ucapnya sambil tertawa, bercanda.
Perjalanan berlanjut, Alfi mengajak kami menelusuri jalan lain yang juga terganggu oleh pengerjaan proyek.
“Kita lihat, mobil akan kesulitan melewati jalan ini karena sudah terpotong dua,” katanya.
Menurut Alfi, Andi Harun pastinya sudah memiliki perhitungan terkait pengerjaan jalan kota. Namun, ia berharap agar pemerintah juga memperhitungkan jalur alternatif dan keselamatan pengendara.
“Sebenarnya ini bagus, tapi semakin lama prosesnya, masyarakat yang akan dirugikan. Belum lagi jika pengerjaan akhirnya tidak maksimal,” terang Alfi.
Kami juga diajak ke Jalan K.H. Agus Salim, di mana hanya ada satu jalur yang bisa dilewati karena jalur lainnya sedang dikerjakan.
Melihat situasi ini, Alfi berpendapat bahwa pemerintah kota harus memberikan kepastian kepada masyarakat mengenai waktu penyelesaian proyek, atau setidaknya mempertimbangkan dampak kemacetan yang ditimbulkan.
“Pastinya ada dampak dari kemacetan ini, seperti bagi UMKM yang terkena dampak atau waktu perjalanan yang tersendat,” tambahnya.
Kegiatan susur kota ini, menurut Alfi, adalah wujud keprihatinan terhadap kondisi kota yang dipenuhi proyek jalan. Masyarakat perlu memantau perkembangan proyek karena merekalah yang akan merasakan dampaknya.
Belakangan, netizen ramai-ramai memprotes dampak proyek tersebut. Berdasarkan hal itulah, Alfi mengajak kami mengikuti kegiatan susur kota. Kegiatan ini mungkin akan terus dilakukan untuk menelusuri problematika kota yang “katanya” adalah kota peradaban. (Rul)
Pewarta: K. Irul Umam
Editor: Agus S